PENGUKUHAN GURU BESAR

Tasawuf, Pintu Kemajuan Umat Islam


Sabtu, 29/11/2014 14:00






[image: Tasawuf, Pintu Kemajuan Umat Islam]






Surabaya, *NU Online*
Tasawuf sangat dibutuhkan menjadi semangat era global dan modernisme yang
gersang dari nilai-nilai spiritualitas. Sejarah kejumudan dan kemunduran
umat Islam bukan disebabkan doktrin dan ajaran tasawuf, melainkan justru
akibat umat Islam meninggalkan nilai-nilai tasawuf dan terjebak dalam
kubangan fitnah duniawi.


Tasawuf yang dipraktikkan secara sebenarnya otomatis akan menjadi metode
efektif dan impresif untuk menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi,
apapun zamannya atau apapun bergejolaknya dunia akan dihadapi dengan
jernih, objektif dan ketenangan *(thuma’ninah).* Dalam ungkapan Imam
Al-Junaid, *Ash-shufi ibnu waqtihi *(seorang sufi adalah anak
zamannya).  *Ash-shufi
kal ma’i, la launa lahu, launuhu launu ‘inaih,* (seorang sufi bagikan air
tidak memiliki warna tertentu. Warnanya adalah warna tempatnya.)


“Justru kaum sufi yang terbiasa dengan kehidupan nyata, walau hatinya telah
melampaui kenyataan lahiriah, akan menempatkan dinamika kehidupan pada
tempat yang proporsional. Maka, dengan demikian tasawuf merupakan “revolusi
spiritual” *(ats-tsaurah ar-ruhiyyah)*,” kata Kiai Said Aqil Siroj dalam
pengukuhan guru besar Ilmu Tasawuf di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Ampel Surabaya, Sabtu (29/11).


Kenyataan ini tentunya sangatlah tidak ganjil mengingat adanya

proporsionalitas antara ilmu, amal dan kebersihan hati *(tashfiyatu
al-qalbi)*. Sebab, ilmu dan amal yang tidak disertai dengan kebersihan hati
yang diproses melalui pelatihan sufistik bagi kaum sufi dipandang sia-sia
belaka.


Seseorang yang telah tercerahkan melihat seluruh alam ini dengan hatinya.
Dia mempersembahkan hatinya sebagai tempat suci bagi ibadah kepada Allah di
tengah alam semesta. Dia melihat bukti-bukti kehadiran Allah, kapan saja

dan di mana saja. Namun, bagi orang yang awam dalam masalah spiritual,
tampak bahwa Allah lebih terasa hadir pada waktu dan tempat khusus dari
pada di tempat dan waktu yang lain.


Tujuan utama dari semua praktik kesufian adalah membangkitkan pengalaman
kepada kebenaran yang tidak terbatas yang sesungguhnya secara natural telah
terbentang dalam hati setiap manusia. Secercah cahaya yang memancar dari
dalam tidak terhitung dan tidak terbatas dalam kombinasi mereka yang
meliputi semua sifat dan kemudian hakikat adalah satu.


“Sufi yang sejati tidak akan berhenti sebelum mantap dalam pengetahuan
tentang hakikat itu, dan ketika hal itu terjadi, semua cahaya lain, semua
manifestasi dan sifat yang agung meluber dalam pancaran sinar dan
kebangkitan batin,” tandasnya.


Puncak kesufian terlukiskan dalam ungkapan, “’Kita’ ini sebenarnya ‘tidak
ada’. Tapi Kita ini di-ada-kan oleh yang ‘Ada’. Yang ‘Ada’ sebelum kata
‘ada’ itu ‘Ada’. Maka yang ‘Ada’ hanyalah yang ‘Ada’. Kita menggunakan kata
‘ada’ karena ada yang ‘Ada’. Dan kita menggunakan kata ‘tidak ada’ karena
ada yang ‘Ada’ yaitu Allah”.  Dalam pengungkapan kata ganti ‘aku’, ‘engkau’
dan ‘dia’ misalnya ‘aku Ahmad’, ‘engkau Husein’ dan ‘dia Hasan’, maka
ketika tiga orang tersebut sudah tidak ada, kembalinya ‘aku’, ‘engkau’ dan
‘dia’   hanyalah pada ‘Aku yang tidak pernah mati’, yaitu *la ilaha illa
ana* dan ‘Engkau yang selamanya ada ‘yaitu* la ilaha illa anta* serta ’Dia
yang selamanya hidup’, yaitu *la ilaha illa huwa*. Jadi hakikatnya ‘Aku,
Engkau dan Dia’ adalah Allah Swt.. Kita hanya mendapatkan ‘pinjaman’ sampai
batas usia tertentu.


Pada akhirnya menjadi semakin jelas bahwa sesungguhnya zaman modern ini
justru lebih membutuhkan tasawuf daripada zaman orang-orang terdahulu.
“Zaman modern ini mengundang banyak godaan dan tantangan yang bisa
menjerumuskan manusia pada tingkatan yang rendah di berbagai aspek. Sebab,
sejatinya manusia yang beradab adalah manusia yang hatinya berfungsi aktif
mulai dari bashirah hingga fuad.”


Indonesia, kata Kiai Said, sedang dalam era kepemimpinan baru yang tengah
bersemangat menggemakan ‘revolusi mental’ tentunya bisa menjadi harapan
baru bagi Indonesia yang lebih beradab. “Setelah sekian lama bangsa kita
merasakan pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, solidaritas yang
akarnya adalah kejatuhan mental, sehingga bangsa kita ini mudah dimasuki
oleh berbagai pengaruh khususnya pengaruh asing seperti kapitalisme,
liberalisme serta radikalisme dan terorisme. Maka dengan sangat jelas dan
urgen, ‘revolusi mental’ membutuhkan ‘amunisi’  yang lebih mendalam dan
mendasar dalam mendongkrak dan membangun mentalitas bangsa yang paripurna,
yaitu melalui ‘revolusi spiritual’ yang berbasiskan pada tasawuf.”






Para sufi telah merumuskan suatu pemahaman bathiniyah yang sangat
substantif-holistik dengan mengejawantahkan nilai-nilai esoteris keagamaan
dan kemanusiaan yang adiluhung. Mereka berangkat dari suatu pengalaman
sufistik yang begitu mendasar dan mendalam. Pemikiran universalis dalam
revolusi yang dirumuskan oleh para sufi ini merupakan estafeta pemikiran
yang telah berlangsung lama dalam ranah dunia kesufian. Suatu pengungkapan
yang secara otentik dan bersandar dari hasil penjelajahan intensif dalam
samudera keilmuan dan pengamalan jiwa-batini.


“Walhasil, kita perlu membangun bangsa ini melalui ‘revolusi spiritual’
berkultur sufisme.”* (mukafi niam) *






Sumber:


http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,56027-lang,id-c,nasional-t,Tasawuf++Pintu+Kemajuan+Umat+Islam-.phpx






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke