Ihwal Independensi PMII

Oleh: Ahmad Halim






--“...Independensi itu merupakan bukti dinamisnya anak yang mestinya
diterima sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah secara
struktur, tetapi dia masih terikat dengan ajaran-ajaran ahlussunah wal
jama’ah.” (Mahbub Junaidi Ketua Umum PB PMII Pertama 1960-1967)






Dalam sidang komisi organisasi Musyawarah Nasional A’lim Ulama dan
Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) pada Sabtu, 1 November
2014 lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan perwakilan wilayah NU
dari seluruh Indonesia telah memutuskan bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) akan ditarik ke dalam “tubuh” NU, dan hal ini akan
diputuskan pada Muktamar NU 2015 nanti. Namun, Jika PMII bersihkukuh untuk
tetap mempertahankan independensi dan tidak mau di bawah “ketiak” NU, maka
PBNU mengancam akan membuat organisasi kemahasiswaan yang baru di bawah
naungannya.






Sesungguhnya wacana tersebut bukan hanya terjadi kali ini saja. Pada maret
2011 lalu, tepatnya di pesantren Krapyak, Yogyakarta. PBNU juga pernah
‘memaksa’ PMII untuk kembali secara struktural di bawah PBNU. Pertanyaanya,
mengapa PBNU sangat “bernafsu” memaksa PMII untuk kembali menjadi salah
satu badan otonom (Banom) NU? Padahal, NU sudah banyak banom yang bernaung
dibawahnya seperti GP. Ansor, IPNU-IPPNU dan sebagainya.






Salah satu argumentasi pembenaran yang sering dikemukakan oleh pengurus
PBNU mengapa PMII wajib kembali ke “rumah” NU adalah kondisi perpolitikan
saat ini sudah normal : tidak seperti zaman orde lama (Orla) dimana setiap
partai politik memiliki underbouw. NU yang dahulu partai politik saat ini
sudah kembali ke khittoh yaitu kembali sebagai organisasi massa. Oleh
karenanya alasan PMII Pada 14-16 Juli 1972 yang dahulu dan lebih dikenal
dengan “Deklarasi Murnajati” saat ini sudah kehilangan konteks. Jadi, tidak
ada alasan untuk menolak kembali dalam naungan PBNU.






Jika diamati secara “mentah” memang argumentasi tersebut sangatlah benar
PMII harus kembali menjadi banom NU. Namun, jika kita kaji bersama secara
mendalam arti ‘independensi’ menurut PMII bukan hanya melepaskan diri dari
NU. Akan tetapi, menurut Menurut Otong Abdurrahman yang dikutip Moh. Fajrul
Falakh (1988 : 11), bahwa Independensi PMII didorong oleh hal-hal sebagai
berikut : Pertama, independensi PMII merupakan proses rekayasa sosial PMII
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Kedua, mahasiswa sebagai insan akademis harus menentukan sikap, ukurannya
adalah obyektifitas dalam mengemukakan ilmu, cinta kebenaran dan keadilan.
Ketiga, PMII merasa canggung dalam menghadapi masalah-masalah nasional
karena harus selalu melihat dan memperhatikan kepentingan induknya.







Lalu yang terakhir,  Untuk mengembangkan ideologinya, PMII mencoba
memperjuangkan sendiri, sebab dengan perubahan AD/ART yang tidak lagi
dibatasi secara formal oleh mazhab yang empat. Dengan demikian diharapkan
PMII dapat berkembang diperguruan tinggi-perguruan tinggi umum,
terlebih-lebih di perguruan tinggi agama.






Sikap ‘independensi’ juga bukan berarti PMII keluar dari kultural NU yaitu
faham ahlussunah wal jama’ah (Aswaja). Keterpisahan PMII dari NU pada
perkembangan terakhir saat ini lebih tampak hanya secara organisatoris
formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background,
pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.






Oleh karena itu, independensi PMII sesungguhnya menguntungkan NU dalam
menyebarkan faham Aswaja . Jika, PMII kembali ke dalam badan NU, niscaya
ruang gerak PMII itu akan semakin sempit, sehingga tugas utama sebagai
kader ulil albab, ataupun Agent of Change akan sulit dapat diwujudkan.
Terutama  pada konteks mengkritisi pemerintah dan isu-isu politik lainnya.
Sebab, sebelum mengambil sikap PMII akan lebih dahulu meminta pendapat atau

restu kiyai-kiyai PBNU.






Independensi harga mati!






Penulis berpendapat, memilih melahirkan anak baru adalah langkah yang
salah. Seharusnya sebagai “ayah”, PBNU haruslah mengingatkan jika anaknya
dianggap “liar” dan keluar dari gerbang Aswaja, dengan cara tabayun dan
dialog/diskusi yang sehat.






Oleh karena itu, nampaknya kurang relevan jika PMII meniru organisasi lain
seperti halnya IMM yang menjadi underbouw ormas Muhammadiyah jika dalil
yang dipakai NU saat ini adalah sudah menjadi ormas bukan lagi menjadi
partai politik.






Implementasi interdependensi PMII-NU (1991) susungguhnya telah menegaskan
bahwa interdependensi bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk, pikiran, dan
kerjasama dalam berbagai bidang: pemikiran, pelatihan, pengembangan sumber
daya manusia, dan berbagai rintisan program.






Implementasi interdependensi tersebut didasari karena pertama PMII
menjadikan ulama NU sebagai panutan. Kedua, adanya ikatan kesejarahan.
Ketiga, persamaan paham keagamaan. Keempat, persamaan wawasan kebangsaan,
dan yang terakhir adalah kesamaan kelompok sasaran.






Oleh sebab itu, nilai-nilai ahlussunah wal jama’ah yang sama yang diajarkan
oleh kyai-kyai mereka di pesantren sesungguhnya menjadi perekat seluruh
kader-kader nahdliyin di bumi nusantara ini. Kalau boleh meminjam ucapan
sahabat almarhum Mahbub Junaidi, ”independensi merupakan kekuatan kokoh
yang mustahil dibongkar lagi. Kebiasaan hidup mandiri sudah merupakan hal
yang sulit diubah lagi.”






Terakhir, dalam artikel ini penulis ingin menegaskan bahwa Pengurus
Koordinator Cabang (PKC) PMII DKI Jakarta menolak keras! jika PMII kembali
menjadi banom NU, karena sesungguhnya independensi PMII adalah sebuah harga
mati bagi mereka yang tak hanya memahami sebuah sejarah Deklarasi
munarjati, akan tetapi juga memahami arti sebuah kata di balik
independensi. Akhirul kalam wallahul muwaffiq ila aqwamit thoriq. []






Ahmad Halim, Aktvis PKC PMII DKI Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke