*Mewaspadai Ekstremisme Lewat TPQ*

Oleh: M. Iqbal Syauqi






--Siapa tidak mengenal TPQ? Mungkin di tiap daerah punya sebutan
sendiri-sendiri. Taman Pendidikan Al-Qur’an (biasa disingkat TPQ atau TPA)
adalah suatu tempat pendidikan dini bagi anak-anak untuk mulai mengenal dan
meningkatkan kemampuan bacaan Al-Qur’an serta menanamkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.






Menarik kita lihat bagaimana perkembangan TPQ dewasa ini. Beberapa sudah
menggunakan sistem klasikal, dan para murid dikelompokkan ke dalam beberapa
kelas sesuai kemampuan bacaannya atau sebanyak apa jumlah ayat yang mereka
baca. Beberapa sistem pengajaran juga memudahkan untuk menggolongkan mereka
ke dalam kelas, kita mengenal sistem Baghdadi, Qira’aati, Tartiila, Iqra’,
Yanbuu’a, dan banyak lainnya untuk memudahkan mengenal dan membaca ayat
Al-Qur’an.






Selain itu dalam sistem klasikal itu selain membaca Al-Qur’an sering
ditambah dengan pelajaran Bahasa Arab dasar, Fiqih Ibadah, Akhlaq dan Etika
sehari-hari tergantung dari sisi mana kecocokan intelektual tersebut untuk
menerima muatan materi. Di sisi lain masih banyak juga TPQ tanpa sistem
klasikal, dan para murid dibimbing oleh guru yang lebih sedikit. Dari sini
guru dituntut sabar mendidik murid dari segala tingkatan kemampuan membaca.






Kita bisa melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem. Dalam
sistem klasikal, dibutuhkan guru yang lebih banyak untuk mendidik di
kelas-kelas yang berbeda. Sebaliknya, dalam sitem tradisional, guru akan
kesulitan untuk mengajar jika banyak jumlah muridnya.






TPQ yang "Sehat"






Penulis turut menyayangkan keadaan banyak TPQ saat ini. Di balik makin
baiknya infrastruktur masjid-masjid kita, TPQ-TPQ yang dulu dikembangkan
mulai berkurang animo muridnya. Anak-anak SD saat ini di sore hari lebih
banyak yang pergi ke lokasi les privat ataupun lelah setelah bersekolah
sampai sore. Namun syukurlah, masih banyak orang tua yang dengan berat hati
memaksa anak-anaknya untuk pergi mengaji dengan ikhlas.






Hal yang juga turut diperhatikan adalah masalah pendidik yang berada di TPQ
tersebut. Pergerakan kaum fundamentalis, dalam hal ini yang membawa
ajaran-ajaran yang dapat disebut ekstrem, telah banyak menghinggapi
masjid-masjid kita. Sedikit banyak kegiatan-kegiatan masjid diperbarui,
kemudian pos pengajar-pengajar TPQ mulai diisi oleh anggota kaum tersebut
yang memang sekilas amat islami dari segi pakaian dan perilaku. Bacaan Al
Qur’an mereka juga fasih, dan sejauh hanya dalam batas-batas tersebut,
rasanya itu adalah hal yang baik, dan para murid pun menjadi lebih baik
ajaran Al Qur’annya.






Namun yang perlu diwaspadai adalah jika mereka menanamkan nilai-nilai
ekstremisme mulai dari hal-hal terkecil, seperti dalam akhlaq berpakaian,
akhlaq dengan teman, akhlaq dengan kedua orang tua, sampai pada titik
tertentu menanamkan permusuhan dengan kelompok lainnya, bahkan
ajakan-ajakan untuk berani berdakwah dan berjihad. Murid TPQ yang
kebanyakan adalah anak-anak, tentunya akan tertarik dengan ajakan semacam
itu.






Para pendiri TPQ tentu berusaha menanamkan nilai-nilai Qur’ani tanpa
pretensi apapun. Mereka dengan ikhlas mendidik murid-muridnya yang masih
kecil, dan begitu sang murid sudah besar kerap kali pengajar TPQ yang mulai
menua terlupakan begitu saja. Dalam keadaan tua semacam itu, tentu saja
mereka membutuhkan pengganti yang akan meneruskan jejak TPQ itu. Bagaimana
jika ternyata para penerus yang menawarkan diri untuk mengembangkan TPQ
adalah kaum-kaum yang bersikap ekstrem dalam beragama? Maka amat
disayangkan jika generasi muda kita berkembang dalam sikap menolak dengan
budaya yang telah mapan di masyarakat.






Sistem pengkaderan agaknya perlu diperhatikan dalam membina TPQ. Seperti
kita ketahui, bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mampu
melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Sebagaimana pesantren, TPQ berkembang
dari dengan pijakan budaya setempat. Selayaknya para pembina TPQ yang baru
ini adalah warga kampung itu sendiri, yang memahami bagaimana keadaan
kampung tersebut. Dibutuhkan putra-putri kampung yang mau turun tangan,
kembali mengabdi untuk meneruskan estafet pendidikan Al Qur’an di sana.
Jangan mudah mempercayakan pendidikan agama anak-anak kepada orang luar
yang sangat mungkin mempunyai misi tertentu.






Pendidikan pemuda kita sebenarnya telah mencapai tahap yang menggembirakan.
Banyak dibuka kampus-kampus yang membuka jurusan-jurusan pendidikan guru
agama. Selain itu, berbagai metode pengajaran telah dikembangkan oleh para
ahli. Namun terkadang metode-metode yang dibawa dari kampus-kampus adalah
hal-hal yang sulit diterjemahkan ke dalam masyarakat, dan terbentur dengan
realitas yang ada. Kecakapan seorang guru dan keikhlasan amat dibutuhkan.






Untuk membentuk TPQ yang sehat, diperlukan keyakinan yang lapang, pikiran
yang kreatif, dan jiwa yang tulus. Al Qur’an harus dibumikan dan terus
dilestarikan gemanya dalam masyarakat, dan terus terbuka untuk menerima
nilai-nilai kemasyarakatan yang luhur. Tingkatan awal usaha menghidupkan
dan menjaga keberadaannya adalah dengan mulai mempelajari cara membacanya.
Wallahu A’lam. []






M. Iqbal Syauqi, santri PP. Nurul Ulum Malang, anggota CSS MoRA (Community
of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Reply via email to