*Dzikir-Doa Bersama Setelah Shalat, Apakah Bid'ah?*


Pertanyaan:



Sejak dahulu kalau saya mengimami shalat pasti saya tutup dengan doa
bersama. Saya memang belum tahu hadits berkenaan dengan doa bersama setelah
shalat. Tetapi karena sedari dulu amaliyah orang NU ya seperti itu, maka
saya ikuti saja dan saya yakin itu benar. Belakangan amaliyah saya ini
dipermasalahkan. Kata mereka Nabi SAW tak pernah melakukan doa bersama
setiap selesai shalat fardlu. Mohon penjelasannya.


Jawaban:

Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt. Sebelum masuk pada
pembasan doa bersama, maka kami akan mengetengahkan secara singkat
mengenai dzikir bersama, dimana sebenarnya masalah ini sudah dibahas para
ulama terdahulu. Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa
dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat
berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan
keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ
قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ،
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ،
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم



“Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah
menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil
berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi
mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka,
dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya”
(H.R. Muslim)


Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud
berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir
dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada
masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:



عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ
يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم



“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir
ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi
saw” (H.R. Bukhari-Muslim)


Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya
anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:


ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ
غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري



“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara
berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak
mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada
Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari)



Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam
berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka
dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya
dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk
menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam
an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.



 وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى
اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ
الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ
تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ
ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى
إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ
هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ
وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار
الفكر، ج، 3، ص. 306



“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab)
mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan
memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir
itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang
shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam
berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan
yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu
bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa
mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk
melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya
kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu
al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)


Sedang mengenai doa bersama, yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah
setelah imam selesai shalat bersama-sama dengan makmum melakukan dzikir
kemudian imam melakukan doa yang diamini oleh makmunya. Hal ini jelas
diperbolehkan, dan di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits
berikut ini:



عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ
وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني



“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan
doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah
berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian
lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR.
al-Thabarani). []



Mahbub Ma’afi Ramdlan

Tim Bahtsul Masail NU


-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke