Gus Dur Mengabdi





SEPULANG belajar di Timur Tengah dan pengembaraannya di Eropa akhir tahun
1970-an, Gus Dur lebih banyak bergelut di pesantren Tebuireng: mengajar dan
menulis. Meski tinggal jauh dari Jakarta, tapi khalayak luas mulai
mengenalnya. Tiada lain lewat tulisan-tulisannya yang cemerlang di berbagai
media massa.




Sebuah lembaga penelitian di Jakarta LP3ES mulai memenfaatkan pemikirannya
guna mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan itu. Kemudian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga banyak menggunakan jasanya
untuk melaksanakan berbagai riset unggulan. Tidak hanya itu, Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) tak mau ketinggalan, mengangkatnya sebagai ketua.






Ketika NU sedang mengalami  berbagai kemerosotan, membutuhkan pemimpin muda
yang bisa membawa penyegaran, maka pilihan para ulama jatuh ke tangan
Abdurrahman Wahid. Saat menjadi ketua umum PBNU 1984, pekerjaan Gus Dur
sebagai peneliti, kolumnis dan dunia kesenian tetap dijalankan seperti
biasa.




Namanya yang semakin melangit, juga tidak mengubah gaya hidupnya. Ia
menempuh cara hidup yang biasa pula, serba informal, santai, akrab dan
bersahabat dengan siapa saja. Seolah tak ada yang berubah darinya waluapun
jabatan pimpinan tertinggi organisasi ulama itu diembannya.




Jika Gus Dur butuh mengomunikasikan berbagai idenya pada para kiai dan
sejawat lainnya di berbagai tempat, dijalaninya sendiri. Misalnya ketika
menemui Gus Mus di Pesantren Rembang, Gus Dur ke sana sendiri dengan
menggunakan bus umum.




Sewaktu Gus Dur diundangan lokakarya di sebuah pesantren di Cilacap, juga
menggunakan bus saja. Setelah di terminal, lalu ia menyambung dengan angkot

dan kemudian dilanjutkan dengan naik becak. Dia datang dengan membawa
segepok map berisi makalah dan foto kopi kliping sebagai bahan ceramahnya.




Itu masih mending. Suatau hari, di tahun 1985, Gus Dur mengunjungi
sahabatnya, KH Muhammad Jinan di Gunung Balak Lampung. Setelah naik bus
Jakarta-Lampung, lalu naik angkot, ia meneruskan dengan berjalan kaki
sepanjang empat kilo meter. Jalan menuju pesantren memang hanya setapak.
Coba bayangkan, Gus Dur jalan kaki dengan badan tambun, kacamata tebal,
sementara jalan berbatu. Tapi Gus Dur menjalaninya dengan enteng, bahkan
ceria.




Banyak orang terbelalak melihat kebersahajaan pemimpinnya itu. Gus Dur
memang memosisikan dirinya sebagai pemimpin. Pemimpin yang memberi contoh.
Pemimpin yang menaungi siapa saja. Pemimpin yang rame ing gawe, sepi ing
pamrih. Pemimpin yang berempati.




Gus Dur tidak menempatkan diri sebagai pembesar yang harus disanjung dan
dihormati. Gus Dur tidak melengkapi dirinya dengan fasilitas lengkap dan
nyaman.




Gus Dur memang memilih untuk mengabdi, sehingga lebih banyak memberi dari
pada menuntut pelayanan.




Semua itu dilakukan oleh Gus Dur dengan penuh semangat. Pasalanya, Gus Dur
didorong oleh ide-ide besar dan dibakar oleh semangat juang yang
berapi-api, sehingga hal-hal kecil yang bersifat duniawi itu diabaikan
begitu saja.




Gus Dur menilai segala macam pernik-pernik keduniawian itu tidak berarti
dibanding dengan tantangan besar menghadapi rezim otoriter dan represif.
Gus Dur melawan budaya takut dan rasa rendah diri yang berkembang di
masyarakat. Gus Dur datang untuk memberikan rasa kesamaan, damai tanpa
ketakutan pada semua orang.




Hingga akhir hayatnya, Gus Dur terus mengabdi pada semua orang, memberikan
perlindungan, memberikan harapan. Gus Dur percaya, tidak pernah ada
persoalan yang tidak bisa diatasi, tidak ada konflik yang tidak bisa
dilerai.




Semuanaya dilakukan Gus Dur untuk membela dan mengangkat derajat dan
martabat bangsa ini. Semua orang merasa tertolong oleh Gus Dur, sehingga
mereka meras berhutang budi. Ketika Gus Dur meninggal semua meratapi, siapa
bapak bangsa dan guru bangsa yang bisa mengganti, untuk mengawal perdamaian
di negeri ini.




Jasa Gus Dur dikenang semua orang, tidak pandang asal-usul etnis dan
agamanya. Itulah buah dari ketulusan pengabdiannya. []






(Abdul Mun’im DZ)






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke