ISIS dan Islam Madani

Oleh: Fariz Alniezar






Mengamati berita tentang bergabungnya warga Negara Indonesia ke ISIS
(Negara Islam Iraq dan Syiria) pada saat tur di Turki beberapa hari lalu
menarik untuk dikemukanan bahwa faktor utama dari akar
radikalismebelakangan ini adalahberasal dari pendangkalan pemahaman agama
serta fanatisme idiologis tertentu. Superfisialisme dan juga fanatisme
agama tersebut pada gilirannya berperan sebagai yang
pemantikyangmbumbonigerakan radikalisme.






Pada titik itu kita kembali dihadapkan pada apa yang diistilahkan oleh
Roxanne L. Ebune (2000) sebagai gejala superfisialisme (pendangkalan) dalam
memahami agama yang sangat akut dan akan gawat jika kita biarkan tumbuh
tanpa pernah berusaha kita pangkas keberlangsungannya. Dalam bahasa Ebune,
superfisialisme agama yang mengejawantah menjadi radikalisme gerakan
beragama itu diibaratkan sebagai musuh dalam cermin (enemy in the mirror).






Musuh yang bersemayam dalam cermin tersebut bisa dibayangkan betapa
susahnya untuk memeranginya. Karena bagi musuh dalam cermin tak ada jalan
lain bagi kita untuk memeranginya kecuali memerangi diri sendiri yang
berselimut kebodohan serta dangkalannya pemahaman keagamaan.


Islam, Substansi Nilai






Pemahaman yang mendalam bahwa Islam adalah sebuah substansi nilai dan
seperangkat metodologi yang bisa saja ia memiliki kesamaan atau juga
pertemuan dengan substansi nilai yang berasal muasal dari agama, ilmu atau
bahkan tradisi lain di luarnya sama sekali belum nampak menjadi sebuah ilmu
yang menancap di benak kita umat Islam Indonesia.






Pemaknaan mayoritas kita terhadap Islam adalah lebih kepada sebatas ritus,
serta ibadah an sich yang hal itu sebetulnya merupakan bagian sepotong dari
Islam itu sendiri. Ringkasnya cara pandang kita terhadap keislaman
seseroang kita kerdilkan hanya berkisar sebatas seberapa lamakah  dia
bergaul dengan masjid, seberapa intenskah dia salat jama’ah bahkah seberapa
rajinkan seorang muslim puasa itu saja tidak lebih.






Padahal, jika kita mau reflektif maka sesungguhnya Islam itu adalah Islam.
Islam tidak sama dengan paham-paham yang ada sekarang ini. Islam bukan
sunni, bukan syi’i bukan juga muhammady (muhammadiyah), kesemuanya adalah
hanya sebatas pandangan-pandangan dalam rangka mendekati sejatinya Islam
itu sendiri.






Maka tidak elok bahkantidak benar mengatakan bahwa Islam maksimalis adalah
berislam secara NU, sebaliknya berislam yang minimalis adalah berislam
secara Muhammadiyah atau bisa juga Islam abal-abal adalah Syiah, sama
sekali itu tak benar dipandang dari sisi pandang manapun.






Islam itu adalah kesatuan dua dinamika dari kahidupan Muhammad yakni di
Makkah dan juga di Madinah. Betapapun jika kita maknai dengan seksama bahwa
Islam yang kita anut dan kita pahami saat ini adalah Islam model Makkah
yang ibadah sentris, sedangkan jika kita cocokkan tentu pluralitas negara
kita sangatlah menuntut kita untuk menerapkan Islam model madinah di mana
Islam dimaknai sebagai agama peradaban, penjaga gawang terhadap
kemungkinan-kemungkinan tindak kejahanan tak manusiawi.






Islam Madinah, Islam Peradaban






Islam Madinah inilah yang harus kita hadirkan di negara kita, pemahaman
Islam yang benar-benar progressif yang meletakkan agama bukan hanya
berhenti sebatas ritus tapi lebih dari itu agama sebagai way of life
penjaga harmoni, rel kemajuan ekonomi serta pembela hak azazi.






Sebetulnya modal terbesar yang kita punyai adalah dengan diresmikannya
Surabaya pada 2012 sebagai kota berjuluk serambi Madinah (Caknun.com).
Mengingat pluralitas penduduk, kemajemukan ragam budaya serta keterbukaan
alam informasinya maka kota ini pantas untuk disemati gelar serambi
Madinah. Jika Aceh ketat dengan syariat-Islamnya itu karena lebih ia
dijuluki serambi Makkah, di mana model berislamnya juga ala Makkah yang
cenderung sangat ketat dan kaku, maka Surabaya menjadi kutub seberang
dengan berislam yang lebih toleransi dan terbuka terhadap
kemungkinan-kemungkinan perbedaan baik dari dalam agama itu sendiri bahkan
dari luar agama tersebut.






Tak pelak tugas berat yang kita pikul dalam memerangi radikalisme dalam
beragama adalah mensosialisasikan model Islam Madinah yang terekam sangat
berperadaban yang produk konstitusinya sebagaimana dikatakan oleh Robert N.
Bellah (1990) dalam Beyond Believe-nya yang menjadi satu-satunya produk
konsensus tertua dan paling maju pada zamannya, piagam Madinah adalah
rekaman sejarah yang menunjukan bahwa Islam mampu merangkul semua golongan
bahkan di luar Islam itu sendiri.






Solusi paling masuk akal dan mudah untuk kita realisasikan antara lain
adalah dengan bahu membahu mensosialisakian medel berislam ala Madinah yang
ramah lingkungan tersebut, yaitu bisa kita tempuh dari skala terkecil
sesuai yang kita jangkau, Dimulai dari diri kita, keluarga kita juga
masyarakat kita bahkan ormas-ormas keagamaan wajib hukumnya untuk

merumuskan kembali bagaimana cara mengkader anggotanya agar mereka “bunyi”
dan hadir dengan wajah Islam yang ramah di “ladang”nya masing-masing.






Selain itu, penting dan layak untuk diapresiasi langkah PBNU yang mengambil
tema Islam nusantara dalam perhelatan Mukatamar ke-33 yang akan digelar di
Jombang 1-5 Agustus 2015 mendatang. Sebab bagaimanapun juga
mengaktualisasikan Islam nusantara sebagai cara pandang dan laku hidup
berislam adalah hal yang darurat untuk dilakukan saat ini.wallahu a’lam bis
showab. []






*) Fariz Alniezar, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
(STAINU) Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke