Penyair Kita, NU, dan Bareskim Oleh: Hamzah Sahal
Penyair kita ini NU-nya 24 karat. Asal usul keluarganya 'hijau' semua. Kakeknya pendiri pesantren besar dan bersentuhan langsung dengan para pendiri NU di jaman perjuangan kemerdekaan. Peran dan posisi ayahnya di NU tidak main-main, Rais Aam PBNU. Nama kakek dan bapaknya, masuk dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama. Dan karena tergolong manusia 'langka' di NU, juga pesantren, nama penyair kita ini masuk pula di Ensiklopedia Nahdlatul Ulama. Di buku tersebut, jika tak salah baca, hanya ada dua keluarga yang kakek, ayah hingga anak, masuk lema tersendiri. Keluarga Gus Dur dan keluarga penyair kita ini. Adalah Acep Zamzam Noor penyair kita ini. 'Penyair kita' ini sebutan pengganti jika nama Acep disebut-sebut dalam obrolan teman-teman NU. Ini semacam ekspresi kebanggaan dan 'kepemilikan' sekaligus pada putra Pesantren Cipasung tersebut. Itu tadi, mungkin karena makhluk seperti Acep ini langka di NU dan pesantren. Teman-teman itu, dan saya juga, jika Acep tampil di depan lantas mengeluarkan tanda-tanda kenahdliyinannya atau idom-idom pesantrennya, bangga sekali. Jika puisi atau lukisannya --Acep seorang pelukis juga-- berisi dunia 'aduhai', dan dianggap keluar dari tradisi pesantren dan tidak wajar di jagat NU, santri-santri muda yang seniman dan mirip seniman akan menilai begini, "Wah, itu puisi Kang Acep dalam sekali. Itu ekspresi kesufian, Kang. Sampeyan jangan kotor mikirnya." Jika ada sikap, tindakan dan pikiran dia yang 'menyeleweng' lebih jauh lagi, maka teman-teman akan bilang, "Sedang jadab dia" atau min khowariqul adah. Ini istilah-istilah untuk menenggang rasa cara pesantren untuk orang-orang 'khusus'. Pada maqom tertentu, untuk orang lebih khusus lagi, gelar 'wali' akan disematkan, oleh orang yang lebih khusus pula. *Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning* *Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri* *Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu* *Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental* *Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup* *Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu* Kalau Acep membacakan puisinya yang berjudul Cipasung, yang bait pertamanya saya kutipkan di atas, suasana mendadak khidmat, seperti almagfurlah Ajengan Ilyas merafal doa-doa. Di jagat NU dan dunia pesantren, Acep menjadi rujukan dan model bagi nahdliyin dan santri yang ingin mengasah dunia kepenyairannya. *** Acep memang tak bisa dipisahkan dari NU. Dia memang bangga pada NU. Misalnya dia sering berseloroh jika darahnya keluar pasti akan berwarna hijau. Dan ternyata, Acep punya nama saat bayi, yakni Abdul Wahid Ramadlan. Menurut sebuah sumber, nama ini tafa'ulan pada Kiai Abdul Wahid Hasyim, putra pendiri NU. Kakek Acep, Abah Ruhiat, memang dikenal dekat dengan bapaknya Gus Dur, Kiai Wahid. Jadi, penyair kita ini memang dari ujung ke ujung NU semua. Meski demikian, Acep tak segan-segan, bahkan gemar, melakukan otokritik pada NU dan aktivisnya, pada pesantren dan kiainya. Sekitar tahun 2008 di PBNU, Acep mengatakan kurang lebih begini, "Dosis NU saya ini pas, saya memakai cara nadoman pesantren dalam ber-NU." Tentu saja, itu sindiran sepoi-sepoi Acep buat para aktivis NU yang menabrak-nabrak tata nilai, srugal-srugul dan grusa-grusu. Dia juga tak ragu-ragu melancarkan kritik sarkastik dan sinikel untuk NU dan keluarga besarnya. Ekspresi wajahnya yang sering tampak dingin, membuat orang yang mendengarkan kritik Acep gemeteran. Dasarnya Acep Zamzam Noor adalah pendiam. Namun ia amat aktif dalam merespon perkembangan terkini, baik itu kehidupan keagamaan, situasi politik, hingga hukum. Teman-teman juga menyebut penyair kita ini seorang politisi. Karena orang-orang Tasikmalaya mengetahui Aceplah yang mendirikan partai bernama PNS (Partai Nurul Sembako), berbeda dengan ayahnya yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Di tengah kekerasan atas nama agama, dia membagikan kaos bertuliskan "Islam Tapi Mesra". Di dunia kesenian, gerakannya tak ada yang meragukan, laa royba fih. Kata seorang teman, Acep Zamzam Noor adalah Rais Aam dunia kesenian di Jawa Barat. Tanggal 28 Februari lalu dia ulang tahun yang ke-55. Saya menyapanya awal Maret lalu sekaligus ingin mengucapkan selamat ulang tahun, meski terlambat dan hanya di ruang obrolan facebook. *Halo.. Salam, Kang.. Apa kabar? Selamat ulang tahun..* * Salam.. Baik kabarku.. Terima kasih..* * Kang Acep, mengikuti Perkembangan NU tidak akhir-akhir ini?* * Kebetulan tidak ngikutin. Lagi konsen ke Bareskrim...* [] Tambun, 15 Maret 2015 -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."