Dalam Sejarah, Fiqih dan Seni Tidak Terpisahkan

Ahad, 27/09/2015 09:49






[image: Dalam Sejarah, Fiqih dan Seni Tidak Terpisahkan]






Surabaya, *NU Online*
Pengurus Wilayah Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama
(Lesbumi NU) Jawa Timur melangsungkan sarasehan sastra dan budaya bertema
"Fikih, Seni dan Sastra" di kantor PWNU Jawa Timur, Surabaya, Jumat (25/9),
dengan menghadirkan KH Abdurrahman Nafis dan Muhammad Al-Fayyadl sebagai
narasumber dan Riadi Ngasiran sebagai moderator.


KH Abdurrahman Nafis, mengemukakan bahwa dalam sejarahnya, sastra sering
menjadi bagian tidak terpisahkan bagi awal dikenalkannya Islam. "Dan Nabi
Muhammad dengan mukjizat yang diterimanya berupa al-Qur'an, telah mampu
mengalahkan karya sastra masyarakat Arab saat itu," katanya.


Para pemimpin Quraisy saat itu, yakni Umar bin Khattab serta Amr bin Hisyam
dibuat tidak berdaya dengan kandungan ayat Al-Qur'an. "Bahkan, Umar bin
Khattab bisa terenyuh saat putrinya, Siti Hafshah membaca ayat al-Qur'an,
sehinggga berkenan menjadi muslim," kata Wakil Ketua PWNU Jatim ini.




Kiai Nafis, sapaan akrabnya, kemudian menggambarkan bagaimana awal mula
islamisasi di Indonesia yang lebih menggunakan cara damai, termasuk dengan
menggunakan seni sebagai media dakwahnya.


"Para Wali Songo telah berhasil mengislamkan khususnya masyarakat Jawa
lewat pendekatan seni," terangnya. Lahirnya seni wayang, tembang dan syair
dengan tema agama sebagai bukti bahwa seni demikian menjadi media yang
sangat efektif untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat, lanjutnya.


Sebelumnya, masih menurut Direktur PW Aswaja NU Center Jatim ini, para
ulama pengarang kitab telah menemukan disiplin ilmu yang membahas tentang
kaidah sastra lewat ilmu balaghah, arudh, dengan berbagai varian yang
dimiliki.


Pertemuan antara fikih dan sastra akhirnya melahirkan definisi dan batasan
yang menjelaskan tentang seni islami. "Ada 4 batasan yang telah digariskan
para fuqaha terhadap seni," kata Kiai Nafis yang juga dosen UIN Sunan Ampel
Surabaya ini.


Pertama adalah, seni yang dilahirkan tidak memgandung kemusyrikan. "Yang
kedua, seni islami adalah yang tidak mengandung maksiat," katanya.
Sedangkan ketiga adalah jangan sampai menimbulkan fitnah, dan terakhir
yakni seni harus mengandung amar makruf nahi munkar, imbuhnya.


*Sering Terjadi Ketegangan*


Muhammad Al-Fayyadl justru mencatat akhir-akhir ini sering terjadi
ketegangan di akar rumput antara santrawan dan para fuqaha. "Bahkan pernah
saya saksikan, pagelaran seni di salah satu kampung justru dihentikan
lantaran dianggap tidak islami," kata alumnus Master "Philosophie et
Critiques Contemporaines de la culture" Université Paris VIII, Prancis
tersebut.


Padahal di awal Muktamar NU, para kiai sangat terbuka dengan masalah
kesenian. "Ini mengisyaratkan bahwa hubungan antara kesenian dan agama
menduduki porsi terpenting dalam perhatian ulama," kata Gus Fayyadl, sapaan
akrabnya.


Dalam perjalanannya, kendati persoalan kesenian kontemporer kemudian kerap
menjadi bahasan dalam forum bahtsul masail NU, tapi dalam pandangan dosen
UGM ini, rumusannya secara konseptual masih jauh dari komprehensif dan
meyakinkan.



Kedua narasumber sepakat bahwa harus selalu dilakukan dialog terbuka antara
para pegiat seni dengan aktifis bahtsul masail agar ditemukan titik temu

bagi sejumlah permasalahan seni mutaakhir yang tentunya sarat dengan
dinamika dan inovasi. *(Ibnu Nawawi/Mahbib)*






Sumber:


http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62463-lang,id-c,nasional-t,Dalam+Sejarah++Fiqih+dan+Seni+Tidak+Terpisahkan-.phpx






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke