Muasal Kebijakan Pendidikan Agama di Sekolah Umum





Sampai saat ini, sejatinya pendidikan Agama Islam di sekolah umum (negeri),
bisa dikatakan minim. Maksimal empat jam saja setiap minggunya para siswa
mendapatkan materi pendidikan agama, sedangkan minimal sekolah menyediakan
jadwal satu jam. Selebihnya, siswa mesti menambah pengetahuan keagamaan
mereka, entah di madrasah diniyah atau TPQ, syukur kalau di sekolah mereka
ada ekstrakurikuler keagamaan.




Kalau kita menilik sejarah bagaimana perjuangan agar pendidikan agama
secara resmi masuk ke sekolah umum, maka keadaan sekarang tak jauh beda
dengan kondisi pada awal perjuangan tersebut.




Berdasar pada fakta sejarah, kebijakan yang ditetapkan pemerintah masa
kolonial Belanda membuat pendidikan agama tidak dapat masuk di sekolah umum
atau hanya boleh diajarkan di luar jam sekolah. Berbeda dengan sekolah
swasta yang sedikit diperbolehkan, dengan beberapa syarat.




Oleh para tokoh bangsa Indonesia saat itu, penolakan terhadap kebijakan ini
kemudian sering dilontarkan dalam sidang-sidang Volksraad, namun selalu
mentah. Baru, setelah setahun Indonesia merdeka, kebijakan ini baru dapat
dirubah. Tepatnya ketika diperjuangkan di masa Menteri Agama, Prof. K.H.R.
Fathurrahman Kafrawi.




Fathurrahman, dari perwakilan NU, kala itu tengah menjabat sebagai Menteri
Agama, bersama Ki Hajar Dewantara (Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan) membuat sebuah peraturan bersama No. 1142/BHGA (Pengajaran)
tanggal 2 Desember 1946 dan 1285/KJ9 Agama tanggal 12 Desember 1946.
Keputusan yang baru diberlakukan tanggal 1 Januari 1947 itu, mengharuskan
pendidikan agama diberikan di sekolah umum.




Pribadi Sederhana nan Moderat




Prof. K.H.R. Fathurrahman Kafrawi, pernah menjabat sebagai Menag selama
kurang lebih sepuluh bulan (2 Oktober 1946 - 26 Juli 1947). Jabatan
tersebut diembannya dalam Kabinet Syahrir III, dimana ia menggantikan Menag
sebelumnya, H.M Rasjidi.




Meskipun cukup singkat, namun Fathurrahman dapat membenahi struktur
organisasi di kementerian yang ia pimpin. Selain itu, ia juga memperbaiki
peraturan-peraturan yang terkait dengan Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(NTR) yang ditetapkan dalam UU. No. 22 Tahun 1946. Di dalam peraturan
tersebut, menertibkan posisi penghulu, modin, dan sebagainya.




Selain pernah menjabat sebagai Menag, Fathurrahman yang lahir di Tuban
(Jawa Timur) pada 10 Desember 1901, juga pernah menjadi Wakil Ketua
Konstituante (1957-1959) dan anggota MPRS sebagai wakil Karya Ulama.
Karirnya yang bagus di bidang politik itu diimbangi dengan karirnya yang
beragam, seperti pendidikan dan sosial masyarakat.




Keragaman itu mungkin didapat dari latarbelakang kehidupan Fathurrahman
yang juga penuh dengan warna. Meskipun lahir dari kalangan NU, yakni dari
pasangan Kiai Kafrawi dan Aisyah, dirinya tak sungkan bergaul dengan teman
dari aliran lain. Bahkan istrinya, Buchainah, berasal dari kalangan
Muhammadiyah, meskipun setelah menikah dengannya kemudian bergabung menjadi
pengurus Muslimat Yogyakarta.




Di kota Gudeg ini, namanya diabadikan sebagai salah satu nama gedung di
sebuah kampus Islam swasta ternama. Ia dianggap telah berjasa merintis
berdirinya kampus tersebut bersama tokoh NU lain, Prof. K.H.R. Muhammad
Adnan. Di kurun waktu itu pula, ia berhasil merintis lahirnya Perpustakaan
Islam dan Poliklinik NU di Yogyakarta.




Dalam mengenyam pendidikan, Fathurrahman selain pernah nyantri di Jamsaren
Solo, juga pernah merasakan pendidikan di Makah dan Mesir (sepuluh tahun).
Sewaktu di Al-Azhar Mesir, ia aktif dalam berbagai kelompok mahasiswa
Indonesia di Mesir, di antaranya adalah Jamaah al-Khairiyah al-Talabiyah
al-Azhariyah al-Jawiyah. Di organisasi itu ia pernah menjadi ketua.




Usai belajar di Mesir, dia melanjutkan pendidikan di Leiden Belanda.
Kemudian, selama satu tahun ia belajar di Prancis dan Inggris. Maka tak
heran, kalau Fathurrahman dikenal menguasai berbagai macam bahasa asing.




Namun, dari ketinggian derajat pendidikan yang ia dapatkan tak membuat ia
menjadi besar hati. Dia dikenal sebagai figur yang sederhana dan dekat
dengan rakyat kecil. Di samping itu ia juga dikenal sebagai pribadi yang
menghargai perbedaan pendapat, bahkan dari berbeda agama sekalipun. Menurut
salah seorang putranya, seringkali seorang pastor datang ke rumahnya untuk
membicarakan masalah sosial keagamaan.




Fathurrahman Kafrawi, menghembuskan nafas terakhirnya 2 September 1969,
pada usia 68 tahun. Ia dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta. []




Disarikan dari buku: Akh. Minhaji dan M. Atho Mudzhar, Prof. K.H.
Fathurrahman Kafrawi; Pengajaran Agama di Sekolah Umum






Sumber: NU Online






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke