Inklusivisme dalam Kesadaran Beragama di Indonesia

Oleh: Ahmad Rifqi Riva'i




Indonesia merupakan bangsa yang besar dan memiliki beragam agama. Terhitung
ada 6 agama yang disahkan oleh pemerintah Indonesia untuk hidup secara
berdampingan di negeri ini. Hal tersebut patut kita syukuri bersama, karena
sampai saat ini keyakinan yang dianut oleh masyarakat indonesia tidak
mempengaruhi kedamaian dalam bernegara. Yang sangat luar biasa mereka
bersatu padu dalam bingkai NKRI, bersatu padu dalam membangun negeri dan
peradaban Nusantara.  Dengan demikian perbedaan agama bukan hal utama yang
mesti dipermasalahkan.




Namun pada saat-saat ini sering kita jumpai kabar yang mengharukan
seantereo dunia tentang konflik agama. Sebut saja negara Myanmar yang
mayoritas masyarakatnya memeluk agama Budha telah tega membumi hanguskan
masyarakat Muslim di Rohingya sehingga mengharuskan mereka melarikan diri
dari kampung halamannya. Tidak jauh berbeda dengan kasus pembakaran rumah
ibadah orang Islam di Papua yang melibatkan kaum Nasrani. Palestina-Israel
yang bertikai, seolah-olah di negeri sana kericuhan antara Yahudi dan Islam
selalu menjadi pertengkaran yang tidak pernah usai. Dengan demikian secara
tidak langsung hal-hal yang demikian telah menggambarkan bahwa konflik yang
terjadi sangat erat keterkaitannya dengan hal-hal keagamaan.




Berkaca pada negara Indonesia sendiri, konflik-konflik yang mengatasnamakan
agama terus bergeliat dan merambah di negeri ini. Dengan alasan yang
berbeda-beda mereka berdalih bahwa ajaran mereka itu yang paling benar.
Faham ekslusif itulah yang akhirnya membawa mereka ke dalam ranah
perpecahan. Ini tidaklah dibenarkan, karena setiap agama itu mengajarkan
kebaikan. Tidak ada agama yang berhak mengklaim bahwa ajarannya yang paling
baik di masyarakat luas, terutama pada masyarakat Indonesia yang majemuk
yang setiap suku dan agama bercampur baur dalam kedamaian.




Lalu dengan demikian maka akan kita temukan masalah inti dan yang terbesar
adalah apakah setiap agama itu mengajarkan sikap intoleransi dan apakah
setiap agama itu menghendaki sebuah permusahan kepada yang bukan
golongannya? Tentu hal ini tidak bisa dibenarkan karena persepsi ajaran
agama tentang intoleransi itu tidak jauh berbeda. Semua agama sepakat bahwa
tiada agama yang tidak toleran. Sebut saja agama Kristiani yang mengajarkan
tentang kasih sayang, agama Konghucu dan Budha pun demikian. Terlebih
Islam, sebuah agama yang kitab sucinya itu sangat menerima perbedaan dan
toleransi. Maka sebuah kekeliruan apabila setiap agama yang ada di
Indonesia itu mengajarkan intoleransi, karena ini akan berbenturan dengan
ajaran penganut agama itu sendiri.




Sebagai orang Islam yang baik kita harus bijak dalam bertindak. Terutama
kepada hal-hal yang bersifat deskriminan. Toleransi harus dijunjung, karena
sikap toleransi ini adalah salah satu pemahaman yang diajarkan oleh
Al-Qur'an. Ada kurang lebih 300 ayat yang mengajarkan tentang toleransi dan
tercantum pada kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain
anjuran toleransi, penghargaan terhadap agama-agama lain juga terdapat
padanya. "Lakum Dienukum Waliadien" (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku)
itulah sedikit kutipan dalam surat Al-Kaafirun yang mengaskan bahwa Islam
sangat menghargai segala macam perbedaan termasuk perbedaan agama itu
sendiri.




Mungkin boleh-boleh saja seseorang mengklaim agama yang dianutnya adalah
agama yang paling benar. Tetapi hal itu lebih baik disampaikan pada umat
yang seagama dengannya. Jika tidak begitu dikhawatirkan akan menimbulkan
hal-hal yang tidak diinginkan. Terlebih setiap agama memiliki klaim yang
sama dalam membenarkan agamanya masing-masing. Sikap dan pandangan yang
mengarah kepada inklusivisme harus diperteguh kembali, namun sayangnya
inklusivisme pada umumnya hanya dianut oleh kelompok minoritas. Inilah yang
menjadi tugas besar umat manusia dimanapun berada. Jika inklusivisme ini
tidak bisa diteguhkan kembali maka dikhawatirkan pemahaman eklusivisme yang
telah meninggalkan jejak sejarah kelam yaitu berupa konflik dan peperangan
akan terus berlanjut. Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi, karena naluri
manusia adalah ingin hidup dalam kemerdekaan. Apabila konflik dan
peperangan terus berlanjut, maka hidup merdeka hanyalah sebuah kekosongan.




Tinjauan dasar terhadap pandangan inklusivitas ini sejalur dengan apa yang
terkandung dalam surat Ar-rum[30] : 30, "Tegakkan wajahmu keada agama
secara lapang dada, yaitu fitrah Tuhan yang difitrahkan kepada manusia.
Tidak ada perubahan pada ciptaan Tuhan. Itulah agama yang lurus, tapi
sebagaian besar dari manusia tidak mengetahuinya". dalam ayat tersebut
sudah sangat jelas bahwa pandangan inklusivisme ini menuju pada fitrah
dasar manusia yaitu suci dan benar. Dengan pemahaman yang mengarah kepada
sikap yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar akan menimbulkan
sebuah kesadaran beragama yang baik.




Janganlah agama ini menjadi sebuah konflik. Pada dasarnya semua agama
bertujuan sama, dan memiliki jalan sendiri untuk menebar kebaikan ke
seluruh umat manusia. Adapun ada yang mengatakan bahwa Islam itu teroris,
Yahudi itu biadab dan lainnya itu hanyalah sebuah tuduhan yang murahan.
Karena yang salah itu bukan ajarannya, melainkan oknum yang memahami agama
tidak benar.




Tentu di luar sana banyak sekali orang-orang yang menjadikan agama sebagai
sebuah batu loncatan untuk mencapai keinginannya. Dengan alasan sebuah
jabatan, nama baik, bahkan popularitas agama tega mereka lacurkan. Semua
agama pasti memiliki problem yang seperti itu. Tidak terbatas kepada
siapapun itu, agama selalu saja ada yang menjadikannya kambing hitam.
Padahal agama sendiri dengan mentah-mentah melarang perbuatan itu, karena
yang selama ini dipahami agama itu bukan alat politik atau dagangan yang
bisa saja diperjualbelikan, melainkan sebuah ajaran yang bijaksana.




Maka jawabannya adalah kesadaraan agama itu sendiri yang akan menuntun kita
menuju pemahaman yang benar, tingkah laku yang terpuji dan sikap toleransi
yang tinggi. Kesadaran beragama itulah yang akan menjadikan segalanya
indah, Islam akan tenang dengan segala aktivitas peribadahannya, Kristen
akan tentram bergaul dengan siapa saja, Konghucu akan terlindungi dari
marabahaya, dan lain sebagainya.




Kesadaran itu pula yang akan menjadi katalisator kedewasaan kita.
Kedewasaan dalam menghadapi setiap permasalahan, konflik dan memaknai
kehidupan itu sendiri. Jika kesadaran beragama itu sudah terbangun maka
tidak mungkin kita akan menemukan sebuah kericuhan. Oleh karenanya, bukan
agama yang bersalah dalam setiap problematika kemanusiaan, melainkan
manusia sendiri itulah yang salah dalam menyadari ajaran agama.




Sebuah harapan besar apabila kesadaran beragama ini akan dijadikan modal
pijakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan, sehingga Indonesia ini
menjadi kiblat perdamaian dunia. Bahkan menjadi pelopor dalam perdamaian.
Namun harapan ini perlu proses yang panjang dan lama. Keterlibatan kitalah
yang akan mengubah itu semua, tidak perlu menunggu orang lain yang memulai,
cukup kita dan diri kita saja yang mengawalinya. []




Penulis adalah kader PMII






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke