Agenda Strategis Fatayat NU

Oleh: Ai Maryati Solihah




Salah satu hasil rumusan komisi organisasi hasil Muktamar ke-33 Nahdlatul
Ulama (NU) adalah pengaturan usia yang tercantum dalam AD/ART NU.
Pengaturan usia Badan otonom (banom) terkait Usia terdapat dalam ART pasal
8 point 6, (b) menyatakan.. “Fatayat Nahdlatul Ulama disingkat Fatayat NU
untuk anggota perempuan muda Nahdlatul Ulama berusia maksimal 35 (tigapuluh
lima) tahun telah diganti menjadi 40 tahun. Hal ini akan menjadi titik
terang bagi polemik usia yang kerap mewarnai arena kongres Fatayat NU dari
waktu ke waktu.






Mungkin publik masih ingat ketika kongres Fatayat NU tahun 2005 yang
mengembalikan revisi usia calon ketua umum kepada kebijaksanaan NU yang
kemudian meloloskan usia 45 tahun kembali menjadi syarat pencalonan. Saat
itu, akhirnya kongres menyepakati bahwa  transisi usia pada 45 tahun
menjadi 40 tahun syarat ketua umum akan dimulai dengan penuh kesadaran.
Sebab pembatasan usia tersebut disinyalir telah menjawab problem
kepemimpinan di tubuh Fatayat selama ini. Sehingga untuk periode yang akan
datang, yakni pengurus tahun 2015-2020 Fatayat akan dipimpin oleh kader
muda perempuan NU dengan batas usia 40 tahun. Keputusan tersebut perlahan
mendapat angin segar dengan disetujuinya dalam arena Konferensi Besar
(Konbes Fatayat    pada tahu 2014) meski tetap sebelumnya menuai perdebatan.






Tulisan ini hendak mengingatkan berbagai pihak pada nilai krusial kongres
Fatayat di atas polemik usia yang kerap terjadi. Sebab sesungguhnya
tantangan Fatayat ke depan melebihi perdebatan kepentingan politik usia
yang biasanya hanya merefleksikan kepentingan calon yang akan maju.
Sehingga isu yang berkembang tidak hanya urusan batas usia kandidat,
melainkan persoalan strategis Fatayat ke depan yang membutuhkan
pemikiran-pemikiran dan urun rembuk dari seluruh peserta kongres.






Pertama adalah manivest Islam nusantara. Sebab terminology ini mungkin
masih belum begitu familiar dalam rangka membangun wawasan yang kemudian
mampu dikonseptualkan dalam perencanaan program Fatayat ke depan. Untuk itu
diperlukan pemahaman komprehensif secara   substansial dan prosedural agar
mampu menjadi ruh perjuangan peran progresiv Fatayat dalam mengembangkan
nilai keIslaman melalui kiprah Fatayat.






Pergulatan Islam dan globalisasi telah menjadi isu lama dalam perjalanan
Fatayat selama ini, namun tetap menjadi tantangan tersendiri .Oleh sebab
itu, gerakan keagamaan dan keIslaman Fatayat hendaknya berinfiltrasi secara
strategis dengan keIslaman resources NU yang terus berkembang seiring
perkembangan zaman.






Masihkah kita memegang prinsip ke-NU-an dalam berbangsa dan bernegara
dengan mengimplementasikan Tawassuth, Tawazun, I’tidal dan Tasamuh agar
melandasi pola gerak Fatayat selama ini. Sudahkah melihat tawassuth atau
Wasathiyah kita, dalam meniscayakan untuk tidak ekstrem ke kanan atau pun
ke kiri. Bersikap bijak di tengah-tengah dua polar yang bertentangan.






Sudahkah kita tawazun yang meniscayakan untuk proporsional dalam berpikir,
bertindak dan berucap, menggunakan akal dan naql dalam porsi yang sama
besar dan menganggapnya sama terhormat. Kemudian sudahkah kita tetap
i’tidal atau adil dan tegak lurus yang meniscayakan untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan. Berani menyalahkan golongan yang terbukti salah,
siapa pun ia dan berani membela golongan yang terbukti benar, siapa pun ia.
Karena itu di dalam tubuh Aswaja tidak ada keraguan untuk saling mengkritik
dan membenahi bila dirasa ada yang menyimpang dari garis keadilan, sebab
kritik semacam itu memang bukan hal yang tabu.






Dan terakhir sudahkah kita tasamuh atau toleran. Tidak ada kelompok Islam
yang lebih toleran daripada yang menganut paham Aswaja karena Aswaja
sendiri adalah rumah besar dari ribuan tradisi dan perbedaan pendapat.







Jika saat ini Fatayat masih melihat agenda kearifan lokal yang bersumberi
dari nilai Islam masih menjadi benteng Islam nusantara dan bagian dari
manifestasinya, maka strategi gerakan ini harus mampu diwujudkan dalam peta
gerakan global di level dunia. Aktivitas keagamaan Fatayat seperti
pembacaan Barjanji (Dibaan) mengagungkan Nabi Muhammad SAW di beberapa
tempat yang digawangi majelis taklim Fatayat haruslah menjadi tauladan
bahkan role of model gerakan keIslaman yang mampu menumbuhkan persaudaraan,
keharmonisan antar masyarakat, desa, bahkan antar suku bangsa sehingga
dapat meminimalisir persoalan konflik, kerusuhan, dan perpecahan.






Kedua aktualisasi khittah NU ke 26 sebagaimana salah satu butirnya
membebaskan warga NU menyalurkan aspirasi nasbu al-imamah melalui partai
politik, menunjukkan adanya starting point (titik awal) bagi tumbuhnya
kesadaran berdemokrasi Pancasila secara lugas. Meskipun diakui, masih ada
kebingungan kecil di kalangan awam yang memang terbiasa mengikuti
panutannya, namun Khittah memproses tumbuhnya kesadaran berpoliitik secara
struktural mau pun kultural. Kemudian akan menyusul pula kesadaran
berbangsa dan bernegara secara dinamis dan plural (lihat tausiyah KH MA
Sahal Mahfudh, aktualisasi Khittah 1926 tahun 2004). Hal ini membuktikan
tantangan Fatayat adalah menjadi perekat bangsa di atas perbedaan pandangan
dan kendaraan politik yang sangat beragam. Sehingga menghindari dominasi
dan tirani minoritas bagi perbedaan politik di tubuh NU.






Politik Fatayat adalah membangun dan memproses sekaligus suplayer bagi
tumbuh kembangnya politik perempuan di Indonesia. Melalui NU, Fatayat mampu
menjadi labolatorium kaderisasi perempuan politik di seluruh partai politik
di Indonesia, serta mampu memiliki peta distribusi kader baik yang bergerak
di ranah eksekutif, legislative dan yudikatif serta berbagai Komisi dan
lembaga Negara yang membutuhkan kader-kader terbaik NU. Inilah yang disebut
sisi progresiv perempuan NU yang meletakkan peran politik Fatayat bukan
lagi mempertentangkan jubah partai politik tertentu di dalam organisasi
Fatayat, namun visi gerakan Fatayat dalam perempuan berpolitik haruslah
mengakomodir dan mengayomi realitas kepentingan politik perempuan melalui
design politik Fatayat. Sebab politik perempuan merupakan asset dan
strategi bagi gerakan perempuan untuk melalukan advokasi dan intervensi
system dalam membela keadilan dan martabat perempuan.






Ketiga adalah penataan organisasi berbasis manajerial. Tantangan
modernisasi organisasi sangat terasa manakala tuntutan pengembangan
organisasi ini tidak berbanding dengan apa yang mampu dilakukan. Secara
kuantitas kaderisasi dan formalisasi lembaga memiliki jenjang kaderisasi
secara mapan dengan jumlah 580 cabang se Indonesia. Namun hasil verifikasi,
system kaderisasi agak tersendat dan kurang memiliki control yang jelas
dalam melewati penjenjangannya. Demikian pula disusul oleh struktur
kepengurusan yang aktif saat ini Fatayat se Indonesia mungkin hanya tinggal

300 cabang di 33 provinsi.






Dengan demikian, program kerja Fatayat selama ini semestinya tetap
berpatokan pada kebutuhan fiscal organisasi di atas, yakni terbangunnya
kualitas kader sebagai upaya pengembangan  kuantitas kader. Dapat kita
bayangkan perempuan muda NU yang memiliki sumberdaya dan memiliki
progresifitas tinggi melakukan gerakan real di masyarakat sebagai bentuk
pengabdian NU selalu hadir untuk umat manusia.






Harapan penulis kongres kali ini berhentilah menghabiskan energy untuk
politisasi batas usia. Sudah lelah kita dipertentangkan oleh masalah yang
belum tentu menyentuh aspek keumatan. Sebab di luar sana agenda kemanusiaan
begitu gencar dengan mengatasnamakan rakyat, kaum lemah, terpinggirkan atau
termarginalkan. Mungkin mereka tidak salah menangani bangsa ini, namun
adakah yang lebih komprehenshif dari penangan yang dilakukan pemudi NU yang
kecerdasannya terbalut akhlak? Sebab sesungguhnya itulah agenda kita yang
paling mendesak yakni bagaimana membebaskan mereka kaum mustad'afiin untuk
hidup lebih baik (Qs An-Nisaa ayat 9). []






Ai Maryati Solihah, Koordinator Bidang dakwah PP Fatayat NU masa khidmat
2010-2015






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke