Semangat Juang Mbah Kiai Syafa’at untuk NKRI





[image: Semangat Juang Mbah Kiai Syafa’at untuk NKRI]






Judul Buku        : Mbah Kiai Syafat: Bapak Patriot dan Imam Ghazalinya
Tanah Jawa


Penulis             : Muhammad Fauzinuddin Faiz


Penerbit            : CV. Pustaka Ilmu Group, Yogyakarta


Cetakan            : Maret, 2015


Tebal                : xlii+ 170 halaman


Peresensi          : Anwar Kurniawan, *mahasiswa Ushuluddin STAI Sunan
Pandanaran, Yogyakarta*






Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa ini tak lepas dari
berbagai peran para ulama (baca: kiai). Selain meneruskan misi Nabi
Muhammad untuk membangun sebuah kehidupan yang harmoni bernafaskan
Islam *rahmatan
lil ‘alamin*, para ulama di Nusantara juga mempunyai tanggung jawab moral
untuk menjaga keamanan dan mempertahankan tanah air dari gangguan para
koloni.




Tercatat dalam arsip kolonial bahwa antara tahun 1800-1900 M telah terjadi
usaha pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dilakukan
rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali. (Muhammad
Fauzinuddin Faiz: 2015, hal. 85). Hal ini jelas menunjukkan bahwa tidak
sedikit peran para kiai dengan semangat nasionalismenya turut berjuang
melawan para penjajah.




Yang krusial adalah, terjadinya distorsi yang kemudian mengesampingkan para
kiai—terutama dari kalangan pesantren— dari panggung sejarah negeri ini.
Sehingga generasi muda kali ini, pada jatahnya tidak banyak yang mengenal
sosok-sosok dari kalangan pesantren yang sejatinya mempunyai sumbangsih
besar atas tegaknya NKRI.




Sebagai seorang pewaris muda tanah air, Muhammad Fauzinudin Faiz merasa
terpanggil secara ilmiah untuk turut mengusung tokoh pesantren yang
berandil besar dalam membela Nusantara dari serangan penjajah, dengan
mengangkat sosok KH Muchtar Syafa’at.




Karyanya yang berjudul “Mbah Kiai Syafa’at: Bapak Patriot dan Imam
Ghazalinya Tanah Jawa” menggambarkan perjuangan sosok mbah kiai Syafa’at
sebagai representasi “santri” di Banyuwangi yang turut andil melawan
penjajah pra kemerdekaan dan representasi kiai daerah Banyuwangi yang
berjuang pasca kemerdekaan.




Dinyatakan oleh KH Hasyim Muzadi dalam pengantarnya bahwa, Mbah Syafa’at
adalah seorang kiai besar dari Banyuwangi. Kiai Muchtar Syafa’at dikenal
sebagai kiai pengamal tarekat. Namun demikian, kiprah yang beliau lakukan
tidak hanya dalam bidang tasawuf semata. Beliau telah berjuang semenjak
zaman penjajahan Belanda. Beliau memanggul senjata sebagaimana para pejuang
yang lainnya.




Nyata dalam perjuangannya, Kiai Syafa’at ketika muda menjadi lokomotif para
santri di daerah Banyuwangi untuk menggerakkan semangat juang dalam
mengusir Belanda dari bumi Blambangan.




Kiai Syafa’at ketika muda oleh beberapa kiai sepuh memang ditunjuk menjadi
pemimpin para santri saat itu. Hal demikian karena Kiai Syafa’at memiliki
pengalaman dalam membantu gurunya, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari
saat menolak aturan-aturan dan kebijakan kolonial yang cenderung merugikan
kaum pribumi Jombang. Selama kurang lebih enam tahun di Tebuireng, Syafa’at
muda bersama-sama santri lain aktif dalam mengusir penjajah hingga akhirnya
pengembaraan mencari ilmu diteruskan di Jalen, Banyuwangi. (hal. 82)




Selain itu dalam buku ini, juga menghadirkan Mbah Kiai Syafa’at sebagai
pengamal tasawuf yang erat kaitannya dengan sosok Imam Ghazali. Pasalnya,
beliau sangat mengikuti dan berpegang teguh dalam mengamalkan ajaran
tasawuf, utamanya yang diajarkan *hujjatul Islam* Imam Al-Ghazali yang
tertera dalam kitab *Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn* dan *Fâtihatul ‘Ulûm.*




Tidak cukup hanya disitu, kitab *Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn* karya Imam Ghazali
merupakan kajian wajib dalam pesantrennya Kiai Syafa’at di Blokagung,
Banyuwangi. Hingga hari ini kitab tersebut masih menjadi kitab yang wajib
dimiliki oleh setiap santri yang belajar di sana.




Dalam buku ini, Faiz juga menghadirkan sosok Kiai Syafa’at sebagai ulama
yang spiritualis, sosialis dan *khoriqul* ‘*adah*. Dimana selain mengasuh
pesantren, beliau juga memiliki kepedulian terhadap bidang sosial
keagamaan, tarekat, dakwah, ilmiah intelektual hingga persoalan masyarakat
sehari-hari. Luasnya cakupan perhatian beliau tersebut menjadikan Kiai
Mukhtar Syafa’at sebagai kiai yang cukup disegani.




Namun, nampaknya dalam hal pemberian judul, buku ini kurang pas jika
menggunakan redaksi Imam Ghazalinya “Tanah Jawa”. Pasalnya, Kiai Syafa’at
adalah ulama yang berafiliasi atau lebih *concern *di daerah Banyuwangi
sementara ke barat sedikit kita mengetahui adanya sosok Syekh Ihsan Jampes
di Kediri yang juga pengamal tasawuf bahkan mempunyai karya sebuah kitab
berjudul *“Sirojut Tholibin”* yang merupakan kitab syarah (penjelas) dari
kitab *“Minhajul ‘Abidin” *karya Imam Ghazali. Sementara di daerah Magelang
Jawa Tengah juga terdapat Kiai Dalhar Watucongol yang juga ulama tasawuf,
yang sudaah barang tentu tak lepas dari sosok Imam Ghazali, dan lain
sebagainya.




Kendati demikian, sosok Kiai Syafa’at yang dihadirkan melalui buku ini
tentulah diperlukan. Mengingat kondisi masyarakat dewasa ini dinilai
lumayan merosot terutama dari segi akhlak. Krisis keteladanan dari pemuka
agama ditunjuk sebagai salah satu penyebab utama kondisi tersebut.




Melalui buku ini kiranya penulisan biografi tokoh teladan seperti Kiai
Mukhtar Syafa’at pendiri Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi sungguh
penting dan diperlukan sehingga kesadaran nasionalisme yang berimbang
dengan keteguhan spiritualitas perlulah ditumbuhkan bagi bangsa ini untuk
mengangkat dan menjaga martabat NKRI sebagaimana yang telah dicerminkan
oleh Mbah Kiai Mukhtar Syafa’at. []






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke