Dilema Islam Publik
Oleh: Luthfi Assyaukanie

Teori sekularisasi yang mengatakan bahwa modernisasi akan menggiring
manusia menjadi orang-orang sekuler dan meninggalkan agamanya semakin tak
punya tempat. Para ilmuwan sosial seperti Peter Berger, Jose Casanova, dan
Rodney Stark kini semakin lantang berbicara tentang peran agama yang
semakin besar dalam ruang publik.






Agama tak harus bertentangan dengan modernitas. Seorang Katolik atau
seorang Muslim bisa dengan baik menerima konsep-konsep modern seperti
demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan kebebasan berpendapat.






Kajian Casanova baru-baru ini tentang etika Katolik dan etika Islam dan
upaya kedua agama ini untuk lebih berkiprah dalam ruang publik patut
diperhatikan. Menurutnya, tesis Max Weber yang mengaitkan kesejahteraan
ekonomi dan demokratisasi dengan dunia Protestan dan tesis Samuel
Huntington yang meletakkan Islam sebagai anomali demokrasi Barat semakin
tak bisa dipertanggungjawabkan.






Dunia Katolik dan Islam yang diselidiki Casanova justru membuktikan
kebalikannya. Dalam dua dasawarsa terakhir, gelombang demokratisasi justru
terjadi di dunia yang selalu dianggap “terbelakang” dalam urusan demokrasi
dan resepsi terhadap konsep-konsep modern itu (Civil society and religion,
2001).






Adaptasi. Salah satu sebab mengapa agama-agama semakin mampu menempatkan
dirinya di ruang publik –ruang di mana semua orang bisa berpartisipasi
secara demokratis—adalah karena kemampuan dirinya untuk berinteraksi dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan ruang itu.






Islam sebagai agama yang paling banyak bersentuhan dengan masalah-masalah
publik sudah pasti merupakan agama yang paling keras bereaksi terhadap
tesis sekularisme yang mensyaratkan privatisasi agama. Namun demikian,
bukanlah perkara mudah bagi Islam memperebutkan ruang ini, karena kondisi
dan semangat zaman tak lagi sama seperti sebelumnya.






Penaklukan ruang tak bisa lagi dilakukan dengan kekerasan dan paksaan
ideologi monolitis. Tapi sebaliknya, harus dengan cara-cara yang bisa
diterima oleh penghuni ruang tersebut secara sukarela.


Konsep ruang publik di dunia modern sedemikian kompleks sehingga ia tak
lagi bisa disamakan dengan konsep serupa di masa lalu Islam. Juergen

Habermas, filsuf yang mempopulerkan istilah itu, mengartikan ruang publik
sebagai tempat di mana perbedaan keyakinan dan pendapat dapat ditampung dan

dibicarakan secara bebas.






Ruang publik menurut filsuf Jerman ini, bukan hanya dapat mencairkan
berbagai perbedaan, tapi juga mampu menciptakan budaya egaliter dan
partisipasi setiap orang. Sebagai agama yang memiliki banyak doktrin
egalitarianisme (Q.S. 33:35; Q.S. 49:13; Q.S. 4:1), Islam seharusnya adalah
agama yang paling mampu beradaptasi dengan ruang publik.






Sikap menghormati dan toleransi yang diperlihatkan beberapa doktrinnya
memungkinkan agama ini menempatkan dirinya dalam ruang milik orang banyak
itu. Persoalannya adalah sejauh mana Islam bisa mengikuti “aturan main”
yang diterapkan dalam ruang ini. Di sinilah dilema Islam ketika ia harus
memutuskan untuk mendeprivatisasi dirinya.






Kasus-kasus yang selama ini terjadi di Indonesia bisa kita jadikan rujukan
betapa Islam publik harus berjuang memposisikan dirinya agar tetap bisa
diterima oleh semua orang. Soal ideologi negara yang sebelumnya menjadi isu
krusial, misalnya, sudah tak lagi menjadi isu penting sekarang ini.






Para politisi Islam tampaknya semakin meyakini bahwa pembelaan terhadap
“dasar negara Islam” sudah semakin kehilangan rasionalisasinya. Ketika
semakin banyak orang tak menghendaki “ideologi Islam,” para politisi Muslim
pun tak lagi ngotot membelanya.






Yang lebih ditekankan adalah bagaimana menghadirkan etika Islam dalam
berpolitik dan bukan lagi simbolisme keagamaan. Inilah yang ingin
diperjuangkan partai-partai berbasis Islam semacam PAN dan PKB.






Pilihan Sulit. Semangat untuk tetap menjaga Islam dalam ruang publik juga
terjadi karena adanya kesadaran terhadap majemuknya masyarakat Indonesia,
bukan saja kemajemukan antar-agama, tapi juga kemajemukan dalam komunitas
Islam sendiri.






Mempertahankan satu penafsiran Islam dan meletakkannya menjadi standar umum
hanya akan menjadi anomali bagi Islam publik yang berusaha membuka diri
untuk semua penafsiran dan keberagaman.






Karena itu, isu-isu seperti syariah dan piagam Jakarta dalam konteks ini
menjadi tak punya makna untuk diangkat kembali, karena selain akan
berbenturan dengan keyakinan dalam agama di luar Islam juga bertabrakan
dengan beragam pendapat tentang isu ini dalam komunitas Islam sendiri.
Singkatnya, Islam publik akan tetap berada di tempatnya hanya dan hanya
jika ia bisa tetap mentolerir dan mampu mengikuti “aturan main” yang
berlaku dalam ruang di mana ia berada.






Pilihan yang dihadapi Islam ketika harus menceburkan diri dalam ruang yang
telah didefinisikan dan dipersepsikan sedemikian rupa oleh dunia modern
sesungguhnya tidak menyisakan banyak tempat bagi Islam klasik.






Dengan kata lain, Islam yang hadir dalam ruang publik haruslah benar-benar
Islam dengan kandungan dan makna baru yang berbeda dari
penafsiran-penafsiran klasik yang cenderung bertentangan dengan semangat
dunia modern. Doktrin-doktrin yang di masa silam berlaku dalam “ruang
publik” masa silam harus ditolak atau ditafsirkan ulang agar bisa sesuai
dengan “ruang publik” masa sekarang.






Sukses tidaknya Islam publik akan sangat bergantung pada bagaimana kaum
Muslim mampu beradaptasi dengan tantangan-tantangan baru yang selalu hadir
dalam ruang milik orang ramai ini. Dengan kata lain, usaha adaptasi dan
antisipasi harus diiringi dengan pemahaman dan interpretasi terus-menerus
terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.




Kegagalan terhadap penyikapan ini akan menempatkan Islam pada dua pilihan
sulit: pertama, ia akan menjadi agama privat yang tak lagi memiliki peran
apa-apa di luar dunia individual; kedua, menjadi agama reaksioner yang
perannya tak pernah melebihi margin sejarah. []






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke