Makkah Al-Mukarramah (2)

Oleh: Azyumardi Azra




Mecca: The Sacred City (2014) karya Ziauddin Sardar adalah buku mutakhir
tentang Makkah. Buku yang cukup massif (xxxviii+408 halaman) dan
komprehensif mengungkapkan sejarah Makkah sejak masa paling awal sampai
tahun-tahun awal dasawarsa 2010-an.




Karena itu, pembaca dapat melihat berbagai peristiwa penting --apakah
menggembirakan maupun mengenaskan-- yang terjadi sepanjang sejarah Makkah,
khususnya Masjidil Haram dan lingkungannya.






Sardar, penulis produktif yang telah menghasilkan lebih 50 buku termasuk
Desperately Seeking Paradise, kini adalah direktur Pusat untuk Kajian
Post-Normal dan Masa Depan dan juga direktur Muslim Institute di London.
Bukunya Mecca: The Sacred City dapat dikatakan menampilkan semacam ‘sejarah
sosial keagamaan dan politik’ Makkah; karya ini bukanlah tentang sejarah
keulamaan dan pemikiran Islam yang berkembang di Makkah.




Kota suci Makkah dalam perjalanan historisnya tidak hanya menjadi pusat
ibadah --sejak masa Islam menjadi pusat ibadah haji-- tetapi juga menjadi
lokus kontestasi dan pertarungan politik di antara kuasa-kuasa politik
berbeda, dan juga kelompok aliran keagamaan yang berlainan paham. Sebab itu
pula, riwayat Makkah sebagai Kota Suci Islam tidak selalu menggembirakan.
Meski demikian, kecintaan kaum Muslimin tidak pernah berkurang --apalagi
pudar-- pada Kota Suci ini bersama dengan Madinah dengan Masjid Nabawi-nya.




Menurut riwayat, Ka’bah yang menjadi epicentrum (titik pusat) Makkah
didirikan Nabi Ibrahim pada tahun 1812-1637 SM (Sebelum Masehi). Kemudian
pada tahun 168-90 SM, adanya Ka’bah di Makkah sudah dicatat sejarawan
Yunani Diodorus Siculus dalam karyanya Bibliotheca Historica, dan disebut
warga Roma-Mesir Claudius Ptolemy dalam karyanya Geography.




Singkat riwayat, pada tahun 100-250 M, Makkah dikuasai kabilah Jurham
Yaman, dan pada tahun 250-380 M, Kota Suci ini dikuasai Kabilah Khuza. Baru
pada tahun 400 M kaum Quraysh berhasil menguasai Makkah yang kemudian pada
552 M gagal ditaklukkan Abrahah. Lahir pada 570 M, Muhammad SAW muda turut
membantu kaum Quraysh membangun ulang Ka’bah pada 605 M.




Sepanjang masa pasca Nabi Muhammad, Dinasti Umayyah sejak 661 M dan Dinasti
Abbasiyah pada tahun 747-750 dan 779-785 memperluas Masjidil Haram. Di
sela-sela masa pengembangan itu, pada 681-692 Ibn Zubayr yang memberontak
Dinasti Umayyah berhasil menguasai Makkah.




Salah satu malapetaka terburuk dalam sejarah Makkah adalah ketika kaum
Qarmatiyah yang ultrapuritan menyerbu Makkah pada 930. Kaum Qarmati yang
berasal dari Afrika Utara membunuh banyak jamaah haji, menjarah Ka’bah, dan
melarikan Hajar Aswad --yang berhasil dikembalikan setelah 30 tahun pada
950-951.




Sejak tahun 590, penguasa Makkah adalah Syarif yang berada di bawah kuasa
sultan-sultan Dinasti Mamluk di Mesir atau Suriah. Kemudian, sejak 1495,
Makkah berada di bawah kuasa Dinasti Usmani; dan pada 1520-1566, Sultan
Sulayman al-Qanuni memperbaiki dan memperluas Masjidil Haram.




Musibah terjadi pada 1629 ketika Ka’bah hanyut dibawa banjir bandang dan
dibangun ulang oleh Sultan Murad IV. Malapetaka kembali terulang
(1630-1631) ketika pasukan Usmani yang memberontak kekuasaan Istanbul
berhasil menduduki Makkah dan pada saat yang sama, lagi-lagi Ka’bah
dihancurkan banjir bandang yang kemudian segera dibangun kembali oleh
penguasa Dinasti Usmani.




Kuasa Arab Saudi sekarang ini --bermula sejak 1790 ketika pertikaian
merebak antara penguasa Makkah, Syarif Ghalib ibn Masaad dengan kaum Wahabi
di bawah pimpinan Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan Muhammad ibn Saud.
Pada 1803, Syarif Ghalib menyerahkan Kota Suci secara resmi kepada penguasa
Wahhabi, tetapi pihak terakhir ini mampu menguasai Makkah. Barulah setelah
mengepung kembali Makkah dengan pasukan besar sejak 1805, Makkah akhirnya
pada 1806 berhasil dikuasai kaum Wahhabi sepenuhnya.




Namun, penguasa Wahhabi tidak bisa bertahan lama. Pada 1813, Toulun, putra
Muhammad Ali, Pasha Mesir yang diangkat Sultan Dinasti Usmani, berhasil
mengalahkan kekuatan Wahhabi. Penaklukan ini dituntaskan Muhammad Ali Pasha
dengan memimpin sendiri pasukan yang memasuki Makkah pada 1815.




Tahap sejarah paling menentukan sejarah Makkah adalah ketika pemimpin
Wahhabi, ‘Abd Aziz ibn Saud pada 1926 mendeklarasikan diri sebagai Raja
Hijaz. Ia kemudian memperluas kekuasaannya dengan mendirikan Kerajaan Arab
Saudi pada 1932.




Pada tahun 1955-1964, Pemerintah Arab Saudi pertama kali memperluas
Masjidil Haram yang dilanjutkan tahap II pada 1982-1988; dan tahap III pada
1988-2005, dan terakhir sejak 2011 tahap IV yang bakal menambah kapasitas
Masjidil Haram untuk bisa menampung sedikitnya dua juta jamaah sekaligus.




Di tengah berbagai perubahan sepanjang sejarah, gejolak agama dan politik,
dan kian membanjirnya jumlah jamaah dari tahun ke tahun, Sardar menyatakan
bahwa Makkah berubah secara sangat cepat. Tetapi, Makkah juga membeku
ketika keragaman budaya; pluralitas keagamaan; pembangkangan politik;
pencapaian intelektual dan seni tidak eksis --karena tidak selaras dengan
ideologi politik-- keagamaan resmi Arab Saudi. []






REPUBLIKA, 15 Oktober 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah
dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke