Hijrah dan Agenda Transformasi Bangsa

Oleh: Munawir Aziz






Peristiwa Tahun Baru Hijriyah menjadi renungan bagi umat Islam di seluruh
dunia. Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW pada 622 M menjadi titik tolak
untuk melakukan refleksi betapa kemanusiaan dan keagamaan menjadi bagian
integral dari Islam.




Peristiwa hijrah pada abad ke-7 Masehi itulah yang menjadi penanda hadirnya
Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Kisah kerja sama dan persaudaraan
antara kaum Anshar dan Muhajirin merupakan pintu bagi kita semua untuk
belajar berbagi, menghormati, dan menyayangi.




Lalu, bagaimana kita memaknai Tahun Baru Hijriyah di tengah selebrasi
koruptor dan kisruh permusuhan umat antarumat beragama? Perlu ada langkah
konkret dari pemimpin bangsa untuk menyelesaikan permasalahan di negeri ini.




Umat Islam perlu menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai pintu gerbang untuk
memberantas akar-akar korupsi dan mendukung gerakan pembongkaran jaringan
koruptor. Bencana asap sudah menjadi bencana yang mengerikan, yang
melumpuhkan aktivitas pendidikan serta ekonomi di kawasan Riau dan
kota-kota lainnya yang dikepung asap.




Di pihak lain, kekerasan antarumat beragama dan etnis menjadi wajah lain
warga Indonesia, dengan narasi kisah yang terjadi di Tolikara, Papua. Di
tingkat ini, perlu ada kesepahaman bersama untuk mengampanyekan agama yang
penuh rahmat, mempraktikkan Islam yang rahmatan lil 'alamin.




Pemahaman ini perlu dilandasi dengan visi pemaknaan sebagai media untuk
mencapai ridha Tuhan. Dengan demikian, beragama dalam hidup menjadi sarana
untuk menyerap sepenuhnya ajaran-ajaran Allah SWT. Ruang publik keagamaan
di Indonesia perlu diimbangi dengan politik kehadiran dari umat agama yang
memiliki visi kemanusiaan.




Politik kehadiran, dalam pikiran Asef Bayat (2007), penting sebagai penanda
strategi ormas keagamaan dalam transformasi ruang publik. Politik kehadiran
sebagai seni kehadiran (the art of presence) untuk menggumuli ruang publik
keagamaan dengan wacana, ide, dan aksi moderat yang menunjukkan wajah
keislaman dan keagamaan di negeri ini.




Dengan demikian, ruang publik keagamaan menjadi dinamis dengan kontestasi
wacana dan ideologi yang sehat. Pada titik ini penting untuk menyuarakan
keberagamaan sebagai pintu masuk toleransi dan harmoni. Pembelajaran damai
perlu mengakomodasi liyan (the other), tapi juga --dalam pikiran Geir Afdal
(2010: 614); "to understand what is in between". Kedewasaan untuk
mengakomodasi semua pihak dalam kerangka ruang publik keagamaan yang
harmonis penting dilakukan agar tak ada lagi kekerasan dan penghakiman
dengan menggunakan jubah agama.




Lalu, di tengah krisis negara, pemimpin hendaknya bertanggung jawab dalam
mengawal kesejahteraan warga. Bukan sekadar membuat kebijakan, membuat
undang-undang, sistem pajak, dan aturan teknis lainnya.




Butuh ketegasan dan keteladanan dari para penguasa negara untuk turun
langsung di wilayah akar rumput. Dengan turun langsung ke bawah, penguasa
akan tahu secara konkret bahwa nasib warganya ternyata belum tersentuh
secara maksimal.




Di samping itu, warga juga akan mendapatkan motivasi yang tinggi melihat
pemimpinnya begitu peduli dengan warga kecil yang serbasusah. Terjadilah
sinergi yang kukuh dalam mewujudkan terciptanya bangsa yang makmur,
sejahtera, adil, dan sentosa (good governance). Dalam bahasa agama dimaknai
sebagai baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.




Melihat kondisi yang demikian, perlu kiranya merancang gagasan kritis dan
strategis bagaimana tanggung jawab negara terhadap kondisi kemiskinan
masyarakat? Dalam kaidah fikih dikenal kaidah menarik, yakni "tashorrufu
al-imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah". Bahwa kebijakan imam
(penguasa/pemerintah) terhadap rakyat harus selalu mengedepankan
kemaslahatan rakyat. Dalam kemiskinan, aspek kemaslahatan rakyat harus
menjadi target dan strategi utama dalam setiap kebijakan yang diambil.




Tentu tak mengesampingkan lima prinsip agung (kulliyat al-khamsah) yang
harus dipenuhi; jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan
kesewenang-wenangan (hifdz an-nafs), perlindungan terhadap kebebasan
pendapat secara rasional (hifdz al-aql), perlindungan atas harta benda
sebagai milik (hifdz al-mal), jaminan atas kepercayaan dan agama yang
diyakini (hifdz al-din), dan jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi
(hifdz an-nasl wal-'irdl). Prinsip ini menjadi benteng peneguhan gerakan
keagamaan.




Peringatan Tahun Baru Hijriyah hendaknya perlu diimbangi dengan hijrah
ruhaniah dan transformasi kebangsaan untuk menggapai kesejahteraan,
penegasan kedisiplinan dan pembenahan moralitas bangsa serta bebas dari
pelbagai kasus yang menjerat bangsa ini. Sudah satu tahun, duet Joko
Widodo-Jusuf Kalla memimpin bangsa ini.




Krisis asap, kekerasan di kawasan tambang, hingga kasus-kasus kekerasan
bernuansa etnis dan agama harus segera diselesaikan dengan tindakan efektif
dari negara. Hijrah untuk transformasi kebangsaan inilah yang menjadi
tantangan bagi pemimpin bangsa ini. Semoga. []






REPUBLIKA, 13 Oktober 2015


Munawir Aziz | Koordinator Teraju Indonesia, Pengurus Lajnah Ta'lif
wan-Nasyr PBNU






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke