Meneguhkan Kekuatan Bangsa Melalui Hari Santri

Oleh: Ferial Farkhan Ibnu Akhmad






Tanggal 22 Oktober adalah tanggal yang bersejarah bagi bangsa Indonesia
khususnya bagi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan
(jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). Tanggal tersebut menjadi sebuah alasan
yang mendorong terjadinya peristiwa pertempuran Surabaya pada tanggal 10
November 1945. Peristiwa yang menyimpan makna sejarah yang tak terlupakan
bagi negara yang sudah merdeka 70 tahun ini. Sehingga setiap tanggal 10
November kita kenal sebagai Hari Pahlawan.




Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan terbebas dari
kolonialisme selama lebih dari tiga setengah abad, bangsa ini kembali harus
berhadapan dengan pasukan Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) mengatasnamakan blok sekutu dengan misi
mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda.




Sehingga peristiwa tersebut menuntut warga negara Indonesia untuk kembali
mengangkat senjata melawan penjajah demi mempertahankan kemerdekaan yang
telah diraih dengan jiwa dan raga. Runtutan peristiwa itulah yang
menginisiasi lahirnya fatwa Resolusi Jihad dari Hadlratussyaikh KH Hasyim
Asy’ari, pendiri NU. Fatwa tersebut yang berhasil membakar semangat para
ulama, santri, arek-arek Surabaya, seluruh rakyat Indonesia untuk berjihad
membela bangsa dan negara.




Saat ini Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Keppres Hari Santri
Nasional pada 15 Oktober 2015. Penetapan ini sebagai realisasi janji
Presiden Joko Widodo pada saat masa kampanye 1 tahun yang lalu. Proses
menentukan hari besar nasional tersebut sempat terjadi dinamika didalamnya.
Semula akan ditentukan setiap tanggal 1 Muharram, kemudian diganti tanggal
22 Oktober atas dasar masukan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan
ormas Islam lainnya. Sejarah perjuangan para ulama dan santri dalam
memberikan kontribusi kepada bangsa ini menjadi alasan utama PBNU
memberikan saran tanggal tersebut.




Hari Santri Nasional bukan hanya sebatas menggugurkan janji Presiden Jokowi
saja. Banyak hal yang perlu masyarakat refleksikan dari ditetapkannya hari
besar tersebut. Ini sebagai upaya membuka pemikiran seluruh warga negara
Indonesia bahwa para ulama dan santri mempunyai saham besar atas berdirinya
negara ini. Peran dan perjuangan kalangan pesantren dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia mulai dari sebelum kemerdekaan hingga sekarang
tidak bisa dikesampingkan apalagi dihapuskan. Saat ini banyak masyarakat
yang menilai bahwa ulama dan santri yang dikenal dengan kaum sarungan hanya
mengurusi masalah keagamaan saja. Hal ini dikarenakan adanya diskriminasi
pemerintah pada zaman Orde Baru yang sengaja menghapuskan peran ulama dan
santri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Perlakuan tidak adil ini
teraplikasikan dari minimnya catatan sejarah resmi yang menjelaskan bahwa
ulama dan santri telah berkontribusi besar dalam tegaknya Republik
Indonesia.




Dinamika Perjuangan Kalangan Pesantren




Pada zaman sebelum kemerdekaan para ulama berupaya untuk membebaskan bangsa
ini dari penjajah. Menurut Manfred Ziemek dalam buku hasil penelitiannya
Pesantren Dalam Perubahan dituliskan bahwa “Para pejuang kemerdekaan
melawan kaum penjajah adalah para kiai dan santri yang terpanggil
memprakarsai dan memimpin perlawanan”.




Rasa cinta para ulama dan santri terhadap negara sangatlah besar. Jika kita
melihat poin penting  dari isi fatwa Resolusi Jihad antara lain yaitu.
Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus wajib
dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan
yang sah harus dijaga dan ditolong. Ketiga, musuh Republik Indonesia yaitu
Belanda yang kembali ke Indonesia dangan bantuan sekutu Inggris pasti akan
menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.
Keempat, umat islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan
penjajah belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali.
Kelima, kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban
bagi setiap umat muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, sedangkan
mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk
material terhadap mereka yang berjuang.




Memahami isi dari fatwa dari pendiri NU ini, tentu ini bukan hanya sebatas
ajakan biasa untuk berjuang. Tapi fatwa tersebut adalah buah dari ijtihad
para ulama sebagai modal para santri dan arek-arek Surabaya untuk berjihad.
kita bisa merasakan betapa besarnya keinginan para ulama mempertahankan
kemerdekaan bangsa ini. Hasilnya pun bisa kita rasakan sampai sekarang.
Tapi sekali lagi sangat disayangkan, tidak banyak generasi saat ini yang
mengetahui peristiwa bersejarah tersebut.




Kontribusi yang diberikan oleh para ulama dan santri tidak sebatas pada
saat pra kemerdekaan saja. Sesudah merdeka pun ulama dan santri tidak hanya
berdiam diri dalam menjaga kedaulatan Republik ini. Salah satunya dalam
mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Ketika Pancasila
dipertentangkan oleh sebagian kelompok intoleran, para ulama NU-lah yang
menuntaskan penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal dalam kehidupan
bernegara. Bahkan salah satu ulama NU KH As’ad Syamsul Arifin menegaskan
bahwa sebagian kiai dan umat Islam Indonesia berpendapat bahwa menerima
Pancasila hukumnya wajib (Lihat Prof Dr Maksoem Machfoedz dalam bukunya
Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama). Diperkuat lagi dengan keputusan
Muktamar NU tentang pengukuhan dan pengesahan hasil Musyawarah Nasional
Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo. Poin ke lima dari Deklarasi tentang
hubungan Pancasila dan Islam dijelaskan “Nahdlatul Ulama berkewajiban
mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang
murni dan konseksuen oleh semua pihak.”




Tanggal 22 Oktober 2015 pertama kalinya pemerintah meresmikan “Hari Santri
Nasional” sudah sepatutnya para kalangan pesantren menyambut momen ini
dengan suka cita. Sudah saatnya para santri menjadi agen perubahan masa
depan bangsa ini. Ada beberapa upaya yang menurut penulis bisa dilakukan
para santri untuk hal tersebut, yaitu pertama, sudah saatnya santri
bersikap lebih progresif dalam menuntut ilmu. Tidak hanya mendalami ilmu
agama saja, akan tetapi juga mempelajari semua ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek). Selama ini para jebolan pesantren apalagi yang pesantren
salaf berjubel di jurusan Tarbiyah saja sehingga kebanyakan hanya menjadi
tenaga pendidik. Perlu adanya upaya menyebarkan santri di segala disiplin
ilmu. Baik ilmu sosial maupun teknologi. Sehingga diharapkan akan terlahir
para ilmuan dan teknorat yang berjiwa santri.




Kedua, perlu adanya metode pembelajaran baru yang diselenggakan di
pesantren. Kesan suasana pesantren yang tradisional dan klasik seakan
menjadi penghambat minat para anak-anak untuk mau belajar di pesantren.
Modifikasi cara belajar perlu dilakukan tanpa harus menghilangkan substansi
keilmuan yang akan disampaikan. Kemajuan teknologi yang semakin canggih
seharusnya dimanfaatkan untuk sarana transfer of knowladge para santri saat
ini. Sehingga istilah Gaptek (gagap teknologi) tidak dialami lagi oleh para
santri. Perlu diingat, bahwa sebagian besar generasi muda saat ini ketika
bertanya perihal agama cenderung lebih memilih bertanya melalui internet
daripada langsung bertanya kepada ustad atau kyai. Disinilah peran santri
sangat diperlukan untuk selalu membagi ilmunya melalui udara.




Ketiga, perlu adanya penyeimbangan antara ditetapkannya hari santri
nasional dengan perhatian pemerintah terhadap pesantren. Artinya supaya
pemerintah tidak terkesan hanya menetapkan hari tersebut tanpa adanya visi
masa depan. Tetapi benar-benar pemerintah bisa membantu menjadikan
pesantren sebagai produsen yang menciptakan insan-insan masa depan bermutu
yang bisa diandalkan untuk kemajuan bangsa ini. Saat ini perhatian
pemerintah lebih besar tertuju kepada lembaga pendidikan formal saja. Mulai
dari sarana dan prasarana pesantren hingga kesejahteraan pendidik haruslah
ditingkatkan. Sehingga paradigma masyarakat terhadap pesantren tidak lagi
dipandang sebelah mata dan percaya untuk menitipkan putra-putrinya untuk
menimba ilmu di lembaga pendidikan milik para kyai tersebut. Bukankah
beberapa Founding Father bangsa ini juga berasal dari kalangan pesantren
yaitu Wahid Hasyim, A Kahar Mudzakir, Agus Salim, dan lain-lain.




Beberapa upaya di atas bisa terwujud dengan adanya kerjasama berbagai
pihak. Gerakan “Ayo Mondok” yang dicetuskan oleh Rabithah Ma’ahid
al-Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU), lembaga yang merupakan asosiasi
pesantren seluruh Indonesia adalah upaya nyata untuk mewujudkan cita-cita
bangsa dan negara yang adil dan beradab untuk seluruh rakyatnya. Semoga. []




Ferial Farkhan Ibnu Akhmad, Ketua PC IPNU Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke