Ketika Warga Kampung PKI Adakan Tahlilan dan Slametan

Selasa, 06/10/2015 12:49






[image: Ketika Warga Kampung PKI Adakan Tahlilan dan Slametan]






Jakarta, *NU Online*
Dalam diskusi publik dan bedah buku karya Dr Wijaya Herlambang, ‘Kekerasan
Budaya Pasca 1965’, Senin (5/10) di lantai 8 Gedung PBNU Jakarta, Ketua PP
Lesbumi NU, KH Agus Sunyoto mengungkapkan, di daerah Trisula Blitar Jawa
Timur warganya 100 persen PKI, tetapi tidak ada masyarakat yang berani
datang untuk tahlil dan slametan ketika ada warga Trisula yang meninggal
atau hilang, kecuali orang-orang NU.


“Saat keluarga PKI kehilangan orangtuanya dan ingin menahlilkan atau
slametan keluarganya yang ditangkap (hilang atau dibunuh), tidak ada yang
berani untuk datang karena takut dituduh PKI, maka yang berani datang
adalah orang kampung sebelahnya yaitu orang-orang NU,” ujar Agus yang
menjadi narasumber di acara tersebut.


Agus kembali menegaskan, meskipun para kiai dan warga NU banyak yang
menjadi korban pembantaian oleh kelompok G30S/PKI, tetapi para kiai justru
banyak mengurus janda dan anak yatim keturunan PKI yang keluarganya
meninggal dalam konflik horisontal tersebut.


“Para kiai tidak politis, juga tidak terlalu ideologis, mereka paham
kewajiban agama seperti apa dalam melihat janda dan anak yatim yang
terlantar. Jadi murni kemanusiaan,” tegas Penulis Buku Lubang-lubang
Pembantaian yang terbit tahun 1990 ini.


Agus mengungkapkan, bahwa di Blitar, anak-anak yang ayahnya dibunuh atau
ditangkap karena tuduhan PKI, diangkat sebagai anak oleh para kiai. Bahkan
ada kiai yang mengangkat anak keturunan PKI hingga 30 orang dan menyandang
nama kiai di belakangnya. Di sekolahanpun orangtuanya adalah kiai tersebut.


*Komunis Siluman*


Bagi Agus Sunyoto, diskusi publik ini memunculkan fenomena baru tentang
‘Komunis Siluman’ yang selalu lolos dari tanggung jawab atas semua
perbuatan jahat mereka.


“Mereka itulah yang menegakkan Orde Baru sekaligus menumbangkannya.

Dimotori oleh seseorang, mereka selalu mengungkit kasus kekerasan terhadap

PKI dengan tangan ditudingkan ke NU, khususnya Ansor dan Banser,” ujar Agus.


Diskusi dihadiri oleh penulis buku ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965’, Dr Wijaya
Herlambang serta Budayawan Taufiq Ismail dan para aktivis kemanusiaan yang
memadati ruangan diskusi. *(Fathoni)*






Sumber:


http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62626-lang,id-c,nasional-t,Ketika+Warga+Kampung+PKI+Adakan+Tahlilan+dan+Slametan-.phpx






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke