Selamat Hari Santri: Miniatur Islam Nusantara

Oleh: H. Asmawi Mahfudz




Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden
Jokowi, sebagai apresiasi peran santri bagi perjuangan dan perkembangan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena sejak sebelum
kemerdekaan yakni pada awal penyebaran Islam di Nusantara ini, santri telah
berdialektika dengan masyarakat kita, baik yang ada di Jawa maupun yang ada
di luar Jawa. Ini dibuktikan dengan eksistensi beberapa kerajaan Islam yang
pernah ada di Tanah Air, mulai dari kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan
Demak, Banten, Cirebon, di beberapa wilayah di Jawa dan Madura. Itu
merupakan tonggak awal peran para santri dalam membangun tanah air atau
bangsa ini.






Mereka para santri membuat dasar-dasar kehidupan masyarakat yang berbasis
sosial dan keagamaan sebagai perangkat untuk merubah perilaku para
penduduk. Warga masyarakat yang kala itu masih berpegang teguh kepada
mistisisme, politeisme secara bertahap dapat merubah keyakinannya menjadi
pengikut ajaran Tauhid. Ini layaknya apa yang didakwahkan oleh Rasulullah
dahulu, yang pertama kali disampaikan adalah ketauhidan. Dalam hal ini para
santri pendahulu Islam di Indonesia dapat dikatakan sebagai para pembaharu
(mujaddid).






Seiring perkembangannya seluruh Nusantara menjadi umat Muslim setia, bahkan
menjadi umat mayoritas Muslim dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya
di muka bumi. Perjuangan para penyiar Islam mulai dahulu sampai sekarang
sehingga menjadi umat mayoritas, bukanlah kerja sulapan yang instan atau
kebetulan tetapi itu dilakukan dengan berbagai metode, cara, strategi
berdakwah yang panjang dan berliku. Baik pendakwah atau santri itu sebagai
seorang individu maupun masyarakat itu sendiri. Mereka sungguh besar
pengorbanannya sebagai modal menyebarkan ajaran-ajaran santri. Salah satu
strategi yang dipilih oleh santri penyebar Islam awal adalah aspek materi
ajaran yang disampaikan kepada masyarakat yang mendiami bumi Nusantara ini.
Taruhlah materi fikih ibadah yang mengikuti mazhab Syafi’i.






Pemilihan mazhab Syafi’i sebagai bahan ajar masyarakat Indonesia ini
bukanlah tanpa alasan, tepi memang itu sudah diperhitungkan oleh para
ulama, sehingga fikih yang disampaikan nanti dapat dipraktikkan oleh
masyarakat tanpa merasa terbebani dan terpaksa, di samping nuansa
religiusitas mazhab Syafi’i yang begitu kuatnya. Patut disyukuri akhirnya
pilihan mazhab Syafi’i sebagai praktik hukum yang diamalkan sehari-hari
membuat masyarakat menjadi lebih nyaman dan khidmah, yang menambah semakin
kuatnya Muslim di tanah Nusantara menerima ajaran ini.




Di samping itu para santri awal dulu begitu cerdiknya dalam menyampaikan
ajaran-ajaran agama Islam. Peranan perangkat dakwah saat Islam awal begitu
kentara dalam sejarah perjuangan Islam di Indonesia. Kita bisa lihat
tentang budaya wayangan, selamatan, arsitektur masjid, nama-nama bayi
penduduk Indonesia yang selalu dari kata-kata Arab, dapat dikatakan hasil
akulturasi Islam dengan budaya masyarakat kala itu. Dengan melakukan
akulturasi budaya para santri dahulu tidak usah repot-repot menjelaskan
Islam dengan pendekatan formalitas teks, tetapi dengan budaya, masyarakat
dengan sendirinya mengamalkan Islam tanpa merasa tertekan atau terpaksa.




Begitu juga strategi penyampaian Islam model santri dulu dapat dikatakan
dengan multi perspektif dan cara. Artinya para pejuang Islam tempo dulu
tidak hanya menyerah dalam satu cara saja, tetapi memakai berbagai
pendekatan dan cara sampai masyarakat  menerimanya. Sesuai dengan pepatah
Jawa,” Pring Buntet Dingge Sulingan, Ora iso metu ngarep yo metu iringan”.

Artinya para da’i dulu sebenarnya mempunyai kecerdasan sosial yang begitu
tinggi sehingga tahu bagaimana menyampaikan ajaran Islam dengan budaya
masyarakat seperti itu.  Ini mungkin dapat untuk contoh bagi penda’i masa
sekarang, dengan tantangan lebih berat dan lebih komplek dalam menyampaikan
ajaran Islam. Jangan sampai karena salah dalam memilih strategi berdampak
melemahkan Islam itu sendiri, yang didapatkan Islam bukan simpati
masyarakat tetapi Islam diklaim sebagai umat yang arogan karena sering
menampilkan kekerasan dan premanisme.




Sebenarnya yang patut kita contoh dari para santri tempo dulu lagi adalah
kemampuan retorika penyampaian ajaran yang begitu baik, memukau bahkan
kadang membius para orang-orang yang mendengarkannya. Sejak awal Islam
masuk di tanah air dulu sampai sekarang kita banyak sekali mempunyai para
mubaligh atau da’i yang menyampaikan hikmah-hikmah kehidupan. Sehingga
metode ini sampai sekarang menjadi metode yang mujarab bagi para penyiar
Islam. Bahkan tidak jarang para santri pesantren mempunyai cita-cita untuk
menjadi seorang mubaligh atau da’i. Mungkin budaya oral masih menjadi
pilihan terbaik, dikarenakan sumberdaya manusia kita yang yang juga belum
begitu baik. Ini terbukti acara di kampung-kampung ketika memperingati hari
besar Islam, mereka mendatangkan para mubaligh yang bisa melucu dan
memberikan motivasi dalam pengamalan ajaran agama. Tetapi ketika di
sampaikan dakwah Islam dengan cara yang formal, resmi, terkesan membebani
dan menekan, masyarakat kita malah tidak simpati dan meninggalkan acara
dakwah tersebut.




Tidak kalah penting santri dalam menyampaikan dakwahnya dilakukan dengan
sikap totalitas. Maknanya dia dalam menyampaikan ajaran selalu berbekal
ilmu dan amal, lahir dan  bathin, fisik dan psikis. Para kiai-kiai salaf
al-shalih dulu selalu berpesan kepada santri seniornya untuk mengajar dan
berdakwah kepada lingkungan masyarakatnya masing-masing. Para santri ketika
sudah pulang harap mengamalkan ilmu, mau mengajar, berdakwah menyampaiakan
ilmu. Dengan menyampaikan ilmu seorang santri dapat memanfaatkan ilmunya
baik untuk dirinya dan orang lain. Sesuai dengan dalil nabi Saw. “Khairu
al-Nas Anfauhum li al-Nas, sebaik-baik manusia adalah orang yang lebih
bermanfaat untuk manusia yang lain”. Bisa dipahami seorang santri harus
berusaha untuk kontekstualisasi ilmunya di lingkungannya masing-masing.




Lebih sempurna lagi para pejuang Islam dahulu  dalam mengamalkan ajaran
Islam tidak hanya berbekal ilmu-ilmu dhahir, misalnya fikih, hadits,
Al-Qur’an dan lain-lain, mereka juga mempunyai sejumlah laku spiritual
(batin-ruhani) sebagai bagian dari mengamalkan ajaran Islam dalam
perspektif yang lain. Kita tentu ingat beberapa kiai-kiai dahulu yang
menurut penilain masyarakat selalu mempunyai kemampuan linuwih dibanding
dengan orang-orang Muslim kebanyakan. Ini dikarenakan mereka tidak hanya
mengamalkan Islam secara lahir, tetapi juga mengamalkan Islam secara
ruhani-batin berdasarkan ilmu yang didapatkan dari guru-guru mereka. Ini
dapat dilacak dari biografi ulama Nusantara sebagaian besar kiai selalu
mempunyai amalan-laku spiritual yang mereka jalankan sehingga mereka diberi
oleh Allah kemampuan yang lebih dibanding orang-orang awam seperti kita.
Amalan-amalan itu dilakukan secara tertib dan disiplin, seperti bacaan
wirid, puasa sunnah, shalat malam, memperbanyak sedekah dan lain
sebagainya. Kita tentu sering melihat kisah-kisah spiritualitas Syekh Siti
Jennar, Wali Songo, KH Mahrus Ali Lirboyo, Gus Mik Ploso, KH As’ad
Situbondo, KH Hamid Pasuruan dan sejumlah kiai berpengaruh lainnya.
Mareka-mereka selain mengajarkan ilmu-ilmu dhohir juga dipersepsikan
mempunyai ilmu batin oleh mayoritas penduduk Muslim di Tanah Jawa ini.




Artinya fenomena santri dalam mengawal pertumbuhan dan perkembangan Islam
Nusantara ini, mempunyai dinamika yang komprehensif yang selalu unik,
menarik untuk dilakukan penelitian-penelitian, baik oleh sarjana dalam
negeri maupun luar negeri. Sehingga tidak heran kalau kemudian dikatakan
profil santri itulah sebenarnya pelopor Islam Nusantara melekat di bumi
Indonesia. Baik dari sisi amaliyah, ilmiyah maupun ruhaniyah ajaran Islam
dikontektualisasikan dalam bumi Nusantara. Waallahu a’lamu bisshawab. []






* Mustasyar NU, Pengajar IAIN Tulungagung dan Pengasuh PP al-Kamal Blitar






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke