Bergesernya Karakteristik Haji

Oleh: Ali Mustafa Yaqub






Imam al-Khatib al-Baghdadi dan Imam al-Dailami meriwayatkan hadis dari Anas
bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Akan datang suatu masa bagi
manusia, orang kaya dari umatku pergi haji untuk berwisata, kelas menengah
pergi haji untuk berbisnis, ulama pergi haji untuk riya' dan popularitas,
serta orang fakir pergi haji untuk minta-minta."






Prediksi Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu tersebut tampaknya sudah
terwujud pada saat ini. Tiga musibah berturut-turut yang terjadi di Mekkah
musim haji ini telah membuat kita terperenyak sekaligus membuat kita
berpikir ulang apa yang salah dalam pelaksanaan ibadah haji selama ini?






Tragedi jatuhnya menara derek (crane) di Masjidil Haram tampaknya lebih
disebabkan oleh faktor cuaca buruk. Sementara tragedi kebakaran di sebuah
hotel di Mekkah dan terinjak-injaknya anggota jemaah haji sampai meninggal
hingga mencapai 769 orang, sangat didominasi oleh faktor manusia itu
sendiri.






Ketika kita berbicara tentang faktor manusia, maka yang paling mendominasi
dari munculnya tragedi tersebut adalah kepadatan jumlah manusia yang sudah
melampaui batas kewajaran daya tampung Mina. Ini diperparah egoisme
sebagian anggota jemaah yang lebih mementingkan diri sendiri tanpa melihat
bahaya yang akan menimpa, baik dirinya maupun orang lain.






Hadis di atas, kendati berupa prediksi, sejatinya merupakan sebuah
peringatan dari Nabi agar umat Islam jangan menjalankan ibadah haji karena
faktor tersebut. Peringatan Nabi ini tampaknya berlalu begitu saja tanpa
menjadi perhatian umat Islam. Kenyataannya, ibadah haji yang semestinya
tidak perlu dipromosikan karena ia merupakan kewajiban setiap Muslim yang
mampu dalam melakukan perjalanan ke Mekkah, telah dipromosikan dengan
dahsyat.






Alhasil, banyak umat Islam yang terkecoh dengan promosi tersebut, yang
akhirnya banyak yang berulang-ulang pergi haji ke Mekkah kendati hal itu
tak wajib dalam agama Islam dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Kami sering menanyakan kepada anggota jemaah haji, berapa kali ia
ingin menjalankan ibadah haji. Ternyata tidak satu pun yang menjawab dia
ingin berhaji cukup sekali, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Di
antara mereka ada yang menyatakan minimal ingin berhaji tiga kali. Ada juga
yang menjawab minimal tujuh kali.






Kami amati dari belahan dunia sebelah barat, di Maroko dan Aljazair sampai
di semua wilayah Amerika Serikat, bahkan tidak lupa di negeri kita,
Indonesia, promosi haji dan umrah sangat luar biasa. Musim haji sekarang
belum selesai, tetapi kita lihat koran-koran sudah memuat promosi haji dan
umrah untuk tahun depan. Di AS, apabila kita masuk ke sebuah restoran halal
dan atau toko halal food, kita akan dengan mudah (dan gratis) mendapatkan
aneka tabloid. Semula kami heran mengapa tabloid itu dibagikan secara
gratis, padahal hal tersebut terjadi di AS. Ternyata tabloid itu hanya pada
halaman pertama yang memuat berita, selebihnya memuat iklan tentang haji
dan umrah.






Menjadi sebuah industri






Maka, tidak mengherankan jika keberhasilan promosi haji dan umrah ini telah
membuat Mekkah dan sekitarnya tidak mampu menampung anggota jemaah haji. Di
sisi lain, jemaah menuntut fasilitas yang berlebihan dengan alasan agar
ibadah dan istirahatnya nyaman. Maka, para penyelenggara haji pun menyambut
permintaan itu dengan menyiapkan segala fasilitas yang luar biasa, baik
penginapan, akomodasi, transportasi, kuliner, maupun tempat-tempat belanja.






Maka, sangat pas apabila disebut bahwa karakteristik ibadah haji telah
bergeser dari sebuah ibadah yang seyogianya memiliki karakter kekhusyukan,
tidak mementingkan diri sendiri, dan sebagainya, menjadi sebuah industri
produk kapitalisme yang cenderung untuk memikirkan kepentingan sendiri
dengan menikmati fasilitas yang luar biasa.






Di sisi lain, kuota haji yang ditetapkan oleh Organisasi Kerja Sama Islam
(OKI) dengan porsi dari 1.000 penduduk boleh mengirimkan 1 orang calon haji
tampaknya perlu ditinjau ulang. Penetapan kuota ini sudah berlangsung lebih
kurang 35 tahun dan tidak pernah mengalami perubahan. Tentu saja kondisi 35
tahun lalu dengan saat ini sangat berbeda. Maka, sangat mendesak, OKI perlu
mengubah kuota ini menjadi, misalnya, dari setiap 5.000 orang boleh
mengirim 1 orang untuk berhaji.


Adapun untuk mencegah orang-orang yang memiliki penyakit sosial, yaitu
mereka yang suka berulang-ulang berhaji, perlu dikeluarkan fatwa yang
bersifat internasional. Bahwa, berhaji ulang dalam kondisi perhajian yang
karut-marut, seperti saat ini, adalah haram, kecuali ada unsur kewajiban
syariat.






Seorang ulama dari Arab Saudi, Dr Syeikh Ahmad bin Nafi' al-Muwarra'i,
dalam bukunya Nazharat fi Haj al-Tathawwu' menyebutkan bahwa berhaji ulang
dalam kondisi perhajian seperti sekarang ini adalah perbuatan zalim yang
besar. Dan, kezaliman yang besar adalah sebuah perbuatan yang diharamkan.
Pemerintah Arab Saudi telah berupaya semaksimal mungkin untuk melayani
jemaah haji dengan membangun fasilitas yang luar biasa. Semua itu agar para
tamu Allah mendapatkan kenyamanan ketika beribadah, beristirahat, dan
ketika bertransportasi.






Namun, upaya yang luar biasa itu akan selalu sia-sia kalau tidak dibarengi
upaya-upaya mengurangi jumlah orang yang beribadah haji. Juga upaya itu
akan sia-sia jika tak dibarengi upaya memperbaiki mentalitas anggota jemaah
agar tidak egois dengan mementingkan diri sendiri dalam beribadah,
melainkan memberikan kesempatan kepada orang lain dalam beribadah serta
menjauhi bahaya yang mungkin menimpa dirinya dan atau orang lain. []






KOMPAS, 7 Oktober 2015


Ali Mustafa Yaqub | Imam Besar Masjid Istiqlal dan Ketua Umum Pimpinan
Pusat Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM)






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke