Maaf-memaafkan PKI

Oleh: Ali Mustafa Yaqub






Tragedi berdarah Gerakan 30 Sep tember Partai Komunis Indonesia
(G-30-S/PKI) sudah terjadi 50 tahun yang lalu. Namun, tampaknya, luka-luka
akibat peristiwa seputar itu masih belum sembuh total sampai sekarang.




Untuk menyembuhkan luka-luka itu, muncul wacana, bahkan tuntutan agar
negara meminta maaf kepada anak-cucu anggota PKI. Sementara, di sisi lain
muncul juga tuntutan agar anak-cucu anggota PKI meminta maaf lebih dahulu
karena merekalah yang memulai perbuatan yang lazim disebut agresi sepihak
PKI.




Ada yang mencoba menganalogikan pemberian maaf itu kepada perilaku Nabi
Muhammad SAW ketika membebaskan Kota Makkah dari kontrol kaum musyrikin
dalam operasi Fath Makkah pada Ramadhan, 8 Hijriyah. Selama tinggal di
Makkah, Nabi SAW selalu diteror dan dizalimi oleh kaum musyrikin, sehingga
beliau bersama umat Islam diperintahkan Allah untuk hijrah ke Madinah.




Delapan tahun kemudian, umat Islam menguasai Kota Suci Makkah. Pada saat
itu, kaum musyrikin merasa ketakutan apabila Nabi SAW menghukum mereka dan
ternyata Nabi Muhammad memaafkan dan tidak menghukumnya.




Analogi ini tampaknya tidak tepat karena baik Nabi SAW sebagai pihak yang
dizalimi maupun kaum musyrikin sebagai pihak yang menzalimi, semuanya masih
hidup. Sementara, untuk kasus PKI, baik yang dizalimi maupun yang
menzalimi, saat ini sudah tidak ada di dunia.




Tampaknya, kejadian yang mungkin dapat menjadi acuan dalam kasus PKI ini
adalah apa yang terjadi antara Huyay bin Akhthab al-Quradhy, tokoh Yahudi
Bani Quraizhah, dengan Nabi Muhammad SAW. Huyay bin Akhthab sangat memusuhi
dan menzalimi Nabi SAW.




Sementara, putrinya, Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay, adalah seorang
Muslimah yang menjadi istri Nabi SAW. Suatu saat, Nabi SAW berkata kepada
istri beliau, Shafiyyah, "Hai Shafiyyah, ayahmu itu sampai mati selalu
memusuhi dan meneror aku."




Shafiyyah yang bergelar Ummul Mukminin itu dengan cerdas menjawab,
"Bukankah Allah telah berfirman bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa
orang lain?" (QS al- An'am: 164). Tampaknya, Shafiyyah bermaksud bahwa
kesalahan yang dilakukan oleh ayahandanya tidak secara otomatis menjadi
tanggungannya.




Karenanya, Shafiyyah tidak meminta maaf kepada Rasulullah SAW atas
kesalahan yang dilakukan oleh orang tuanya. Nabi SAW juga tidak memberikan
pengarahan agar Shafiyyah meminta maaf kepada Nabi atas kesalahan
ayahandanya.




Memang, dalam Hadis Riwayat Imam Muslim, Nabi SAW berkata, "Siapa di antara
kalian yang pernah menzalimi saudaranya, baik menzalimi dirinya atau
hartanya, maka hendaklah ia minta dihalalkan (dimaafkan) sebelum datang
kematian."




Dalam hadis ini, permintaan maaf atau memberi maaf pada kesalahan sesama
manusia adalah ketika masing-masing masih hidup. Apabila yang bersangkutan
sudah meninggal dan belum saling maaf-memaafkan maka urusan selanjutnya
adalah diselesaikan dalam pengadilan akhirat.




Pengadilan akhirat ini, dalam HR Imam Muslim lazim disebut dengan Hadis al-
Muflis (orang yang pailit). Sekiranya, anak- cucu dari orang-orang yang
zalim dan atau menzalimi itu dibenarkan untuk maaf- memaafkan atas
kesalahan orang tua mereka yang sudah mati, niscaya Nabi SAW sudah
mengajarkan hal itu dan HR Imam Muslim tadi tidak diperlukan.




Kasus PKI tampaknya lebih pas diselesaikan dengan pendekatan ini. Apabila
ada anggota PKI yang menzalimi orang Islam dan ia sudah mati maka
anak-cucunya tidak menanggung kesalahan orang tuanya, sehingga ia tidak
perlu minta maaf kepada umat Islam. Sebaliknya, apabila ada orang Islam
yang menzalimi anggota PKI dan ia sudah mati maka anak-cucunya juga tidak
menanggung kesalahan yang dilakukan orang tuanya, sehingga ia tidak perlu
meminta maaf kepada anak-cucu anggota PKI.




Hal itu karena masing-masing tidak memiliki kesalahan atas orang lain dan
masing-masing tidak akan menanggung kesalahan orang tua mereka.




Dalam ajaran Islam, negara adalah sebuah lembaga atau institusi dan tidak
disebut sebagai mukalaf (yang dibebani kewajiban dan tanggung jawab).
Mukalaf adalah manusia, bukan institusi. Maka, apabila negara melakukan
kezaliman, yang dikenai tanggung jawab adalah manusia (mukalaf) yang
mengelola negara itu.




Yang kelak masuk surga atau neraka adalah manusia, bukan institusi. Oleh
karena itu, negara tidak akan mendapatkan balasan surga atau neraka,
melainkan adalah manusia yang mengelola negara itu.




Memang Islam juga mengajarkan agar kita meminta ampun kepada Allah SWT
untuk diri kita, orang tua kita, dan orang lain. Namun, konteksnya adalah
kesalahan atau dosa kepada Allah. Sementara, kesalahan kepada sesama
manusia sudah diatur dalam dua HR Imam Muslim tadi.




Membicarakan maaf-memaafkan kepada PKI adalah membicarakan tentang fosil.
Orang yang dizalimi atau yang menzalimi, semuanya telah mati. Alquran
menyebutkan, "Mereka adalah orang-orang masa lampau.




Mereka akan mendapatkan balasan dari apa yang mereka kerjakan dan kamu
semuanya akan mendapatkan balasan dari apa yang kalian kerjakan. Dan, kamu
semuanya tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan." (QS
al-Baqarah: 134).




Anak-cucu anggota PKI dan anak-cucu orang Muslim yang hidup semasa dengan
anggota PKI, seyogianya tidak membicarakan fosil, tapi berbicara masalah
kekinian yang dilandasi oleh sama-sama bersih tanpa memiliki kesalahan
antara satu dengan yang lain. []






REPUBLIKA, 03 Oktober 2015
Ali Mustafa Yaqub | Imam Masjid Istiqlal








-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke