Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan Radikalisme (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif




Institut Leimena pimpinan Jakob Tobing sangat bergiat mengadakan berbagai
pertemuan, diskusi, dialog, simposium, dan yang sejenis itu tentang
masalah-masalah yang berakaitan dengan agama, kebudayaan, pilantropi, dan
sebagainya. Institut ini punya jaringan luas dengan lembaga-lembaga luar
negeri, khususnya Amerika Serikat. Saya sering diundang untuk berbicara
dalam forum institut ini.




Demikianlah pada 4 Oktober 2015, bertempat di Hotel Phoenix Yogyakarta,
diadakan dialog dengan topik: “Indonesia’s Civilizational Heritage: Assett
to Promote Religious Freedom and Tolerance, and to Counter Religious
Radicalism” (Warisan Peradaban Indonesia: Aset untuk Mengembangkan
Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan untuk Menjawab Radikalisme Agama).
Pengantar dialog diberikan oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X
dengan pembicara Romo Prof. Dr. Barnadus Soebroto Mardiatmadja, S.J.
(Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), Prof. DR. M. Amin Abdullah (UIN
Sunankalijaga), dan saya sendiri. Enam penanggap dari Amerika Serikat
dengan berbagai profesi adalah: David Melilli, Darrellyn Melilli, Howard F.
Ahmanson, Roberta G. Ahmanson, Paul Marshall, dan Ralph D. Veerman.




Diskusi terbatas di atas cukup intensif yang juga dihadiri oleh beberapa
peserta lain dari Indonesia. Berikut ini adalah terjemahan bebas dari
makalah yang saya sampaikan  dengan sedikit perubahan di sana-sini:




Untuk berbicara tentang kemerdekaan agama dan toleransi dalam peta
agama-kultural di Indonesia, kita perlu melacak sedikit latar belakang
sejarah keagamaan yang meliputi era Hindu-Buda, Islam, Kristen, sampai masa
sekarang. Dengan pengatahuan yang sedikit memadai kita akan tahu bahwa
masalah kemerdekaan agama dan toleransi ternyata punya suatu raison de’tre
(alasan keberadaan) yang kuat sekali dalam kehidupan bangsa ini.




Adalah penyair-filosuf Majapahit Mpu Tantular yang membuat formulasi
penting tentang kemerdekaan agama dan toleransi sebagai fondasi filosofis
Kerajaan Besar Hindu Majapahit (1293-1520) yang terletak di Jawa Timur itu.
Frasa Bhinnêka tunggal ika (secara harfiah bermakna “sekalipun beraneka,
tetapi Satu”) berasal dari pengarang Jawa kuno itu. Terjemahan modern
dalam bahasa Indonesia adalah “Persatuan dalam Keberagaman” (Unity in
Diversity), yang telah ditetapkan sebagai sasanti dan motto nasional resmi
negara ini.




Sekalipun Mpu Tantular seorang penganut agama Budha, elite Majapahit sangat

menghormatinya. Berikut ini adalah kutipan terjemahan dari Kakawin Sutasoma
karya Tantular di dalamnya ungkapan Bhinnêka itu ditemukan, yaitu dalam
canto 139 bait 5:




Disebutkan bahwa Budha yang kesohor dan Syiwa adalah dua hakekat yang
berbeda.




Memang berbeda, tetapi mana mungkin untuk mengenal perbedaannya sambil
lalu, karena kebenaran Jina (Budha) dan kebenaran Syiwa adalah tunggal.




Benar keduanya berbeda, tetapi sama jenisnya, sebagaimana tidak ada
dualitas dalam Kebenaran (Dharma).




Bait terakhir ini adalah terjemahan dari ungkapan bahasa Jawa kuno yang
berbunyi: “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Lih. Soewito
Santoso, Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana. New Delhi:
International Academy of Culture, 1975, hlm. 578).




Doktrin Kebenaran Tunggal membuka pintu lebar-lebar bagi orang untuk
memahami dan melihat masing-masing agama dari sisi dan perspektif yang
berbeda. Hal ini hanya mungkin jika orang punya minda dan hati yang terbuka
untuk berbagi dengan orang lain. Sikap mau memonopoli kebenaran adalah
hambatan nyata untuk berbagi dengan berbagai aliran keagamaan yang ada.
Peperangan yang meledak antara pemeluk agama harus dilihat dari sisi sikap
yang mau menang sendiri ini. []






REPUBLIKA, 06 Oktober 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,

menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
  • [keluarga-islam] Buy... Ananto pratikno.ana...@gmail.com [keluarga-islam]

Kirim email ke