G 30 S

Oleh: Jaya Suprana






Gerakan 30 September yang juga disebut sebagai G 30 S atau Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober), adalah tragedi
yang terjadi sejak malam hari tanggal 30 September 1965 sampai dini hari;
saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam suatu upaya kudeta.




Pada saat itu, saya masih remaja dan sekolah di Kota Semarang, belum mampu
menangkap makna yang sebenarnya sedang terjadi di Tanah Air tercinta ini.
Saya cuma mendengar berita lewat radio, bahwa di Jakarta terjadi pembunuhan
terhadap beberapa jenderal. Selanjutnya saya tidak jelas mengenai apa yang
terjadi sebab berita pun simpang-siur ke sana ke mari.




Saya baru sadar bahwa ada tragedi nasional sedang berlangsung ketika rakyat
turun ke jalan sambil bersorak-sorai anti-PKI termasuk anti-Republik Rakyat
Tiongkok dan semua yang beraroma Tiongkok di Indonesia. Kebetulan, pada
masa itu saya sekolah di Sekolah Karangturi yang mayoritas siswanya
keturunan Tionghoa. Kebetulan guru kepala sekolah Karangturi adalah anggota
Baperki yang dianggap dekat dengan PKI. Meski saya dan keluarga bukan
anggota parpol apa pun, akibat hanya fokus jualan jamu, sekolah saya dengan
mayoritas siswa keturunan Tionghoa terancam diserbu kaum demonstran
anti-PKI.




Namun, kepala sekolah langsung menghibur kami semua bahwa pasti pemerintah
RRT di Peking nun jauh di sana tidak akan tinggal diam, dan akan
mengirimkan bala tentara ABT (Angkatan Bersenjata Tiongkok) untuk
menyelamatkan warga keturunan Tionghoa di Indonesia, sesuai politik
diaspora RRT terhadap kaum keturunan Tionghoa di perantauan. Sementara bala
tentara RRT yang djanjikan ternyata tak ada kabar-beritanya, kaum
demonstran anti-PKI sudah telanjur menyerbu Sekolah Karangturi.




Para siswa, termasuk saya, terpaksa tunggang langgang melarikan diri karena
tidak berani melawan para demonstran anti-PKI. Syukur Alhamdulillah, nyawa
saya selamat meski sekolah saya hancur berantakan, hangus dibakar para
anti-PKI. Sebab masih remaja, saya masih dianggap anak bawang yang tidak
diperhitungkan untuk masuk daftar mereka yang wajib ditangkap, bahkan
dibunuh dengan alasan dianggap anggota, atau sekadar pro PKI dan
parpol-parpol yang dekat dengan PKI. Namun, apa yang terjadi setelah itu
justru luar biasa mengerikan.




Kepala sekolah saya ditangkap lalu dijebloskan ke kamp tahanan politik
tanpa proses hukum apa pun kecuali hukum rimba. Menarik tapi tragis, adalah
kenyataan Sekolah Karangturi justru dijadikan kamp tahanan politik bagi

para teranggap komunis.




Beberapa sanak-keluarga saya di Solo dan sekitarnya mendadak hilang-lenyap
diculik oleh entah siapa. Ada yang berhasil ditemukan, namun sudah dalam
kondisi sebagai jenazah termutilasi dan teraniaya, dengan cara yang tidak
layak saya kisahkan di Sinar Harapan yang beradab dan berbudaya ini. Ayah
kandung saya yang berdomisili di Denpasar, Bali juga pada suatu malam
diculik lalu diangkut truk oleh entah siapa, dibawa entah ke mana.




Sampai kini, belum diketahui bagaimana nasib ayah kandung saya. Ibu kandung
dengan beberapa saudara kandung saya kemudian melarikan diri dari Pulau
Bali untuk mengungsi ke Kota Semarang, yang dianggap relatif lebih aman
ketimbang Pulau Dewata, yang pada masa itu lebih layak disebut sebagai
“Pulau Dedemit”, akibat angkara murka yang membinasakan tak terhitung nyawa
warga bangsa Indonesia, termasuk ayah kandung saya yang sebenarnya tidak
pernah tergabung di parpol apa pun, apalagi PKI. Dapat disimpulkan
satu-satunya “dosa” ayah saya sampai diculik dan sampai kini tak jelas
nasib beliau, adalah dilahirkan di Indonesia sebagai warga keturunan
Tionghoa belaka.




Memang pada 1965 merupakan lembaran hitam dalam perjalanan hidup saya.
Namun, segenap musibah itu tidak mengurangi , malah justru memperkuat dan
memperkokoh rasa cinta saya kepada Tanah Air. Saya sadar yang melakukan
angkara murka bukanlah bangsa, negara, dan rakyat Indonesia; melainkan
segelintir orang yang pada masa itu kerasukan sukma jahat sehingga tega
membinasakan saudara-saudari sesama warga Indonesia.




Saya selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Kasih untuk senantiasa
menganugerahkan kesadaran dan kekuatan batin kepada bangsa Indonesia, demi
selalu bersatu padu mecegah tragedi angkara murka G 30 S, jangan sampai
terulang kembali terjadi di persada Nusantara. Amin. []






SINAR HARAPAN, 01 Oktober 2015
Jaya Suprana | Budayawan Indonesia






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke