Idealisme H Mahbub Djunaidi

Oleh: Ahmad Halim




Tepat pada hari ini, Kamis 1 Oktober 2015, adalah adalah haul ke-20 H.
Mahbub Djunaidi. Banyak pelajaran dari anak Betawi kelahiran 1933 ini. Tapi
idealismenya yang kokoh bagaikan batu karang, susah ditiru siapa pun.




Hari ini, kita bisa saksikan sendiri dengan mata dan kepala, banyak para
politisi, seniman, wartawan, dan pemimpin di sebuah organisasi baik
kemahasiswaan, organisasi massa (Ormas) ataupun Lembaga swadaya Masyarakat
(LSM) yang terbuai akan kekuasaan, dan malah ikut dalam menyumbangkan
permasalahan yang sampai saat ini agak sulit untuk diberantas, yakni
korupsi.




Jika saat ini para politisi, seniman, wartawan dan pemimpin organisasi
sibuk untuk mendekatkan diri dalam pusaran kekuasaan. Mahbub yang juga
pernah menjadi politisi, seniman, jurnalis dan pemimpin organisasi besar
justru tidak memanfaatkan untuk ambisi politiknya atau mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya.




Saat ditawarkan kekayaan oleh Orde Baru, pria yang memiliki tradisi
Nahdlatul Ulama (NU) itu justru menolak. Sampai akhirnya pendiri organisasi
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini akhirnya dipenjarakan di
rutan Nirbaya oleh Suharto. Bersama dengan sahabat-sahabatnya Soebandrio,
Omar Dhani dan beberapa nama lain dengan alasan yang tak masuk akal yakni
dianggap menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai
Presiden RI di depan forum mahasiswa.




Namun dalam sebuah surat kepada temannya yang dikirim dari dalam penjara,
Mahbub mengatakan “Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi bukankah
ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu ibaratnya
perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri!
Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop perlu
ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya
sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti
ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008).




Hal di atas tentu tidak akan dilakukan oleh ketua DPR Setyo Novanto, dan
wakilnya Fadli Zon yang menghadiri kampanye kandidat presiden Amerika
Donald Trump, dan kunjungan  politik ketua majelis permusyawaratan rakyat
(MPR) Zulkifli Hasan ke negeri tirai bambu. Sebab, idealisme mereka sudah
pudar bahkan bisa dikatakan sudah hilang.




Oleh karena itu, wajar jika tokoh pers Jakob Oetama berani mengatakan
bahwa  Mahbub Djunaidi adalah seorang yang berprinsip, demokratis, moderat,
dan tak pernah mencerca lawan-lawannya. Berbeda dengan para politisi saat
ini.




Inilah yang saat ini sulit dicari, dimana kebanyakan orang jika sudah ada
dalam pusaran kekuasaan akan memanfaatkan kedekatannya, bahkan sudah
menjadi lumrah jika orang-orang yang dekat dengan kekuasaan ikut menimbun
harta dengan cara yang tidak wajar (korupsi).




Idealisme yang kokoh, memang membuat pria kelahiran Jakarta 27 Juli 1933
ini menjadi orang yang sederhana: penampilan dan material. Tapi itu menjadi
kekuatanya dalam mempertahankan prinsip.




Saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada
tahun 1967-1971 ia tetap mengkritik pemerintah dan mempertahankan
prinsipnya melalui kata-kata yang disusunya dengan dibumbui rasa humor
tentunya. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai “pendekar pena”.




Mahbub pernah menulis artikel, "Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak
Dini" (Kompas, 18 Maret 1981). Dalam tulisannya, pendekar pena tersebut,
mengkritik para pemimpin bangsa dengan gaya penulisan yang satire dan juga
dibumbui rasa humor.




Begini tulisannya: Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah
dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu
menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di kupingnya, "Kamu tidak mau
dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, kan? Nah, jadilah
kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya
binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia."




Mungkin mantan ketua umum PMII tiga periode 1960-1967 itu ingin berpesan
kepada publik agar kita jangan sampai seperti monyet dalam memilih
pemimpin. Kata Mahbub, "Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling
beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu.
Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa
faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi
yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling
mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah
yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem
pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan,".




Tokoh multi talenta ini, kini sudah meninggalkan kita 20 tahun lamanya,
namun bukti idealismenya sampai saat ini masih dapat kita baca dan
pelajari. Karya-karyanya dan jasa-jasanya kini telah tertoreh dalam tinta
emas dunia pergerakan dan jurnalis, sehingga kita dapat mengikuti dan
belajar dari sosok multi talenta, pemegang teguh prinsip, demokratis,
moderat dan humoris seperti Mahbub Djunaidi. Alfatihah... []




Ahmad Halim, Sekretaris PMII DKI Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke