Meneguhkan Laut Sebagai ‘Kiblat’ NU

Oleh: Didik Fitrianto*





Nadhlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di tanah air dikenal
memiliki basis pengikut di kawasan pesisir, terutama di kawasan pesisir
Pulau Jawa. Kawasan pesisir merupakan basis tradisional NU dari dulu sampai
sekarang. Kaum Nahdliyin di kawasan pesisir ini masih militan dalam
menjalankan tradisi keagamaan seperti tahlilan, sholawatan, kenduren, dan
yasinan. Mereka juga tangguh dari gempuran kelompok-kelompok yang selalu
menyesatkan, menganggap bid’ah dan haram kegiatan keagaman NU. Sayangnya
militansi dan ketangguhan warga Nahdhliyin dalam menjaga tradisi keagamaan
tidak berbanding lurus dengan ketangguhan dalam kehidupan ekonominya. Kaum
Nahdliyin di kawasan ini masih bergelut dengan kemiskinan dan rendahnya
tingkat pendidikan. Di kawasan ini mayoritas kaum Nahdliyin yang berprofesi
sebagai nelayan dan petani tambak masih miskin, lemah modal dan minim SDM
dalam pengelolaan perikanan dan fasilitas alat tangkap.




Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang dua pertiga wilayahnya
adalah lautan, Indonesia mempunyai  sumber kekayaan laut yang sangat
melimpah mulai dari terumbu karang, berbagai jenis ikan, hutan mangrove,
minyak bumi, pasir besi, dan tentunya pantai yang keindahannya tiada
tanding. Jauh sebelum Presiden Jokowi mendeklarasikan Indonesia sebagai
negara maritim, salah satu kader terbaik NU, Gus Dur saat menjadi presiden
sudah terlebih dahulu melakukan pembangunan yang berkiblat pada
kemaritiman. Bukti Gus Dur mempunyai visi kemaritiman adalah dengan
dibentuknya kementrian perikanan dan kelautan. Sayangnya sebelum Gus Dur
mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, tsunami politik lebih dahulu
menenggelamkan cita-cita beliau. Dan patut disayangkan kemudian PBNU juga
tidak menindaklanjuti impian Gus Dur tersebut. Pengurus PBNU lebih
berkiblat ke ‘daratan’ yakni persoalan politik. Kerja-kerja pemberdayaan
dan advokasi sedikit terabaikan oleh NU terutama masalah kemiskinan dan
lingkungan. Padahal kedua persoalan tersebut mayoritas dihadapi oleh warga
Nahdliyin terutama yang berada di kawasan pesisir yang merupakan basis
pengikut NU.




Muktamar ke-33 NU di Jombang yang mengangkat tema besar Islam Nusantara
telah mengingatkan kembali kepada kita tentang sejarah perjalanan Islam di
Nusantara. Sejarah Islam di Nusantara tentunya tidak bisa dilepaskan dari
laut. Laut tidak hanya dilihat secara geografis sebagai jalur penyebaran
agama Islam melalui perdagangan tetapi juga menunjukkan bahwa secara
politik, ekonomi dan potensi SDA Nusantara pada saat itu sangat
diperhitungkan oleh dunia. Sejarah kemudian mencatat kemunculan
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang berada di kawasan pesisir, salah
satunya kerajaan Demak yang tidak hanya dikenal akan ketangguhan kekuatan
militernya juga kekuatan ekonominya. Sayangnya sejarah kemudian mencatat
kehancuran kerajaan Islam tersebut akibat menjauh dari laut.  Belajar dari
sejarah terdahulu saatnya kini NU kembali meneguhkan arah ‘kiblat’nya ke
laut dengan memprioritaskan persoalan kemiskinan dan lingkungan di kawasan
pesisir sebagai tindakan nyata saat negara mulai abai mengurusi persoalan
keumatan.




Pilot project pemberdayaan pesisir




Kabupaten Demak sebagai salah satu basis NU di kawasan pesisir Jawa, selain
memiliki nilai historis sebagai tempat penyebaran agama Islam, Wali Songo
dan Kesultanan Demak. Demak juga menyimpan berbagai persoalan yang dihadapi
kaum Nahdliyin, persoalan utama yang saat ini dihadapi adalah kemiskinan
dan lingkungan. Kawasan pesisir Demak dengan mayoritas masyarakatnya
bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani tambak saat ini menghadapi
persoalan yang sangat memprihatinkan, rendahnya SDM dalam pengelolaan
perikanan, minimya akses modal, dan rendahnya tingkat pendidikan. Selain
persoalan tersebut, masyarakat juga dihantui persoalan lingkungan yang
setiap harinya harus mereka hadapi yakni ancaman abrasi, rob, krisis air
bersih, kerusakan infrastruktur, pencemaran lingkungan, dan alih fungsi
lahan dari tambak menjadi kawasan industri oleh para investor.
Masalah-masalah tersebut sampai saat ini belum teratasi dengan baik,
program untuk mengatasi masalah tersebut yang dilakukan oleh pemerintah
selama ini lebih berorientasi kepada proyek semata, dan pemberdayaan
masyarakat yang berkelanjutan hanya menjadi jargon yang tidak pernah
terwujud.




Melihat kondisi tersebut sudah saatnya NU ‘mengambil alih’ dan turun tangan
untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kaum Nahdliyin. NU
sebagai organisasi sangat dipatuhi oleh masyarakat pesisir di Kabupaten
Demak melalui para kiai dan ulama yang setiap harinya berhubungan langsung
dengan umat. Sebagai payung besar, NU diharapkan mampu memberi perlindungan
tidak hanya masalah spritualitas tetapi juga persoalan-persolan lain yang
dihadapi oleh kaum nahdliyin. NU dengan kekuatan SDM-nya bisa menjadikan
Kabupaten Demak sebagai pilot project pemberdayaan kaum Nahdliyin di
kawasaan pesisir. Potensi yang sudah dimiliki oleh NU baik dari pusat
sampai dengan Ranting akan lebih mudah menggerakkan umat untuk bersama-sama

mengatasi persoalan tersebut dengan solusi yang cerdas, berpihak kepada
umat dan berkelanjutan.




Pemberdayaan Berbasis Nahdliyin




Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh NU adalah dengan cara
memberdayakan kaum Nahdliyin yang sedang mengalami persoalan tersebut,
pemberdayaan yang dilakukan harus berprinsip pada totalitas Nahdliyin,
artinya mulai dari permasalahan, perencanaan, dan pelaksanaan, mereka yang
menentukan. Program pemberdayaan yang bisa dilakukan antara lain, pertama
Pengurangan Resiko Bencana (PRB), seperti penjelasan sebelumnya bahwa
persoalan yang dihadapi Nahdliyin di kawasan pesisir salah satunya adalah
ancaman bencana abrasi dan rob. Program PRB ini bisa mempersiapkan
kesiapsiagaan Nahdliyin apabila bencana terjadi. Untuk kasus Demak terutama
di Kecamatan Sayung, abrasi dan rob sudah sangat parah, kesiapsiagaan tidak
cukup lagi perlu upaya lain misalnya pembangunan struktur penahan abrasi,
untuk masalah ini NU bisa bekerjasama dengan NGO, pemerintah dan swasta
dengan program CSR-nya. Kedua, rendahnya SDM dalam pengelolaan perikanan
terutama tambak juga menjadi biang kemiskinan di daerah ini, pengelolaan
yang masih tradisional menyebabkan hasil yang kurang maksimal. Dengan
kondisi tersebut banyak para petani menjual tambaknya kepada pemilik modal
dan perusahaan-perusahaan perikanan. Selain rendahnya SDM, akses ke
permodalan juga menjadi kendala para petani tambak sehingga lebih banyak
membiarkan tambaknya terbengkalai tidak dikelola. Untuk itu NU melalui LPNU
(Lembaga Perekonomian Nadlatul Ulama) perlu melakukan pendampingan kepada
mereka dengan membuka jaringan akses permodalan dan pelatihan.




Masalah ketiga yang dihadapi Nahdliyin di Demak adalah masalah pencemaran
lingkungan, Demak sebagai daerah yang berbatasan dengan kota Semarang saat
ini sudah dikelilingi berbagai macam industri. Keberadaan industri tersebut
mau tidak mau membawa dampak terhadap lingkungan, terutama pencemaran
lingkungan. Dari banyak diskusi antara penulis dengan masyarakat di delapan
desa di kawasan pantura Demak, masalah pencemaran lingkungan dari limbah
pabrik selalu muncul. Masalah pencemaran limbah inilah yang menurut mereka
menyebabkan produksi tambak tidak bisa maksimal lagi, karena limbah dari
pabrik masuk mencemari tambak melalui aliran sungai. Selain itu kesadaran
Nahdliyin akan kebersihan juga menjadi faktor pencemaran semakin tinggi,
ini dibuktikan dengan sungai sungai yang dipenuhi dengan sampah rumah
tangga. Untuk itu perlu adanya advokasi dari NU untuk membantu permasalahan
lingkungan tersebut.




Terakhir, masalah yang paling mengancam eksistensi kaum Nahdliyin di
kawasan pesisir Demak adalah alih fungsi lahan, bukan rahasia lagi kawasan
tersebut sangat strategis karena berada di kawasan industri yang berdekatan
dengan kota Semarang. Saat ini ribuan hektar tambak menjadi incaran makelar
tanah untuk dijual kepada investor yang tertarik untuk membangun kawasan
industri di kawasan pesisir tersebut. Sudah ratusan hektar tambak yang
sudah dijual kepada para investor khususnya di beberapa desa di Kecamatan
Sayung. Dampak yang timbul apabila kawasan industri benar-benar diwujudkan
maka akan ada ribuan kaum Nahdliyin terkena dampak baik langsung maupun
tidak langsung. Dampak yang dikhawatirkan adalah dampak sosial, ekologi dan
budaya  yang akan dihadapi oleh Nahdliyin dengan keberadaan kawasan
industri tersebut. Sudah banyak kasus di beberapa daerah membuktikan
keberadaan sebuah kawasan industri lebih banyak sisi negatifnya daripada
sisi positifnya, sisi posistif yang diperoleh masyarakat sekitar kawasan
industri hanya sebatas pada pemanfaatan tenaga kerja saja.




Indonesia sudah dideklarasikan Presiden Jokowi sebagai negara maritim,
sebagai sebuah negara maritim tentunya tidak hanya sekedar konsep tol laut,
pembangunan pelabuhan dan pengadaan kapal-kapal besar, tetapi yang lebih
penting adalah kesejahteraan masyarakatnya terutama di kawasan pesisir. NU
bisa mengambil peran strategis dalam pembangunan negara maritim tersebut,
sebagai ormas keagamaan yang tidak bisa dilepaskan dari laut karena secara
kultural mayoritas pengikutnya berada di kawasan pesisir, maka NU harus
meneguhkan kembali arah ‘kiblat’nya ke laut. Kawasan pesisir Demak bisa
menjadi pintu masuk NU untuk berperan aktif mewujudkan Indonesia sebagai
negara maritim yang  sejahtera, berdaulat dan religius. []




Penulis adalah Gusdurian, Bekerja di Wetlands International Indonesia, saat
ini tinggal di Demak






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke