SBY dan Muhammadiyah

            
Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa hubungan antara Ketua Umum PP 
Muhammadiyah dan Presiden SBY sejak setahun terakhir terasa agak dingin 
sebagaimana dinginnya hubungan Dr Hasyim Muzadi, mantan ketum NU dengan 
presiden. Dari sisi kepentingan bangsa dan negara, situasi beku serupa ini 
jelas tidak sehat.

Akarnya tidak sulit untuk dilacak, pasti berkaitan dengan sikap kedua tokoh 
organisasi di atas pada pilpres tahun lalu. Keduanya mendukung pasangan 
JK-Wiranto. Bukankah politik kekuasaan itu cenderung membuat garis demarkasi 
antara kawan dan lawan, kecuali jika semua pihak mampu mengedepankan jiwa besar 
dan sikap kenegarawanan, demi menjaga tujuan jangka panjang yang lebih 
strategis. Jika dua nilai ini tidak ada maka yang terjadi adalah spekulasi liar 
yang dapat memicu keretakan sosial, sesuatu yang sangat merugikan persatuan 
nasional.

Namun, jika orang mau becermin kepada sikap Barack Obama terhadap lawan 
politiknya sekalipun dari partai yang sama di situ jelas terlihat kebesaran 
jiwa seorang politikus yang sedang bergerak menjadi negarawan. Perseteruan 
dengan Hillary diatasinya dengan merangkul yang bersangkutan menjadi menteri 
luar negeri, posisi ketiga teratas di Amerika. Semestinya, SBY sebagai pengagum 
berat Amerika mau belajar pada Obama. Seorang mantan komandannya mengatakan 
kepada saya bahwa presiden Indonesia sekarang sudah Americanized sejak usia 
mudanya. Jika memang demikian, apa sukarnya meniru sikap politik akomodatif ala 
Obama itu.

Kepada beberapa elite Muhammadiyah, pernah saya sampaikan agar presiden tetap 
diminta membuka Muktamar Muhammadiyah Satu Abad pada 3 Juli 2010 di kota 
kelahirannya, Yogyakarta. Alhamdulillah, PP Muhammadiyah telah menemui presiden 
beberapa waktu yang lalu. Hasilnya, muktamar akan dibuka presiden melalui 
telekonferensi dari Madinah karena yang bersangkutan lagi berumrah.

Maka itu, demi keutuhan bangsa, orang jangan lagi berspekulasi bahwa presiden 
lagi gondok dengan ketum Muhammadiyah. Sudahlah, tafsirkan saja apa salahnya 
presiden menggunakan media komunikasi modern untuk menyapa peserta muktamar 
dari jarak jauh. Bukankah Muhammadiyah sudah satu abad menyebut dirinya sebagai 
gerakan modern? Selebihnya, semua kita berharap agar muktamar berjalan mulus, 
aman, dan bebas dari segala macam bentuk kooptasi, dari mana pun datangnya.

http://koran.republika.co.id/koran/28


Kirim email ke