Walopun artikel ini mengulas asal-usul kata mengemis, tapi ada yang menggelitik. Benarkah kegiatan mengemis berawal dari santri? ---------------
Ngemis: Bermula dari Santri Rabu, 04 Agustus 2010 , 09:17:00 WIB Oleh: Saiful Umam KETIKA kita mendengar kata mengemis, kemungkinan besar terlintas dalam benak kita, orang miskin (atau mengaku miskin) mendatangi satu rumah ke rumah lainnya, atau anak-anak jalanan menghampiri para pengendara, meminta-minta sedekah atau sekedar uang receh dari kita. Mungkin tidak terbayang bahwa mengemis dulu dilakukan juga oleh sebagian santri yang sedang belajar di pesantren-pesantren. Bahkan kata ini kemungkinan besar bermula dari kegiatan minta-minta yang dilakukan mereka di hari Kamis (Jawa, Kemis), sehingga muncul istilah ngemis. Penjelasan ini disampaikan oleh L.W.C. van den Berg, dalam artikelnya tentang Ulama di Jawa dan Madura yang dimuat Tijdscrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (1882). Tak ada keraguan bahwa kata mengemis berasal dari bahasa Jawa, karena ia ada dalam kamus-kamus bahasa Jawa. Tapi tampaknya bukan dari Jawa kuno karena kata tersebut tidak terdapat dalam kamus-kamus Jawa kuno, seperti Old Javanese-English Dictionary (Zoetmulder, 1982) atau versi terjemahannya dalam bahasa Indonesia (1995). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991 dan 2001), kata mengemis punya dua arti, yakni "meminta-minta sedekah," dan "meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harapan." Sedang pengemis adalah orang yang meminta-minta. Menurut kamus ini, kata dasar mengemis adalah emis dan bukan Kemis. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1983) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu dan Muhammad Zain, 1994), penjelasan terhadap kata mengemis juga kurang lebih sama dengan yang ada dalam KBBI di atas, begitu juga kata dasarnya, emis. Sementara itu, Bausastra Jawa-Indonesia (Prawiroatmojo, 1981) dan Kamus Jawa-Indonesia (Purwadi, 2004) menjelaskan bahwa kata dasar ngemis adalah emis yang mempunyai arti meminta-minta. Kata Kemis, menurut dua kamus bahasa Jawa tersebut, hanya berarti hari dan tidak disebut sama sekali bahwa ia merupakan kata dasar dari ngemis. Penjelasan yang sedikit berbeda terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwardarminta, 1976). Di satu sisi disebutkan bahwa mengemis, yang berarti meminta sedekah atau meminta-minta, berasal dari kata dasar emis. Tetapi, di sisi lain, pembaca juga diminta melihat kata Kemis. Dalam penjelasan kata Kemis, selain ia berarti hari kelima, juga merupakan kata dasar dari berkemis, mengemis dan pengemis. Arti mengemis dan pengemis dari kata dasar Kemis ini sama persis dengan yang berasal dari kata emis. Informasi ini sedikit berbeda dengan kamus-kamus yang disebutkan di atas yang sama sekali tidak menyinggung kemungkinan bahwa mengemis berasal dari Kemis. Bagaimana menurut bahasa Melayu yang satu rumpun dengan bahasa Indonesia? Dalam Kamus Besar Bahasa Melayu (Safarwan, 1995), kata dasar dari berkemis, mengemis dan pengemis adalah kemis. Berbeda dengan bahasa Jawa, dalam bahasa Melayu, kemis bukanlah nama hari karena untuk hari adalah Khamis. Menurut kamus ini, berkemis dan mengemis bermakna "meminta sedekah, mendaduk, meminta-minta, membawa tempurung." Sedang pengemis adalah "orang minta-minta, pendaduk, peminta sedekah, kuru rayau." Kata emis, yang dalam kamus-kamus Indonesia dan Jawa dianggap sebagai kata dasar mengemis dan pengemis, ternyata tidak ditemukan di dalamnya. Javanese-English Dictionary (Home, 1974) menyebutkan bahwa Kemis punya dua makna, yakni hari Kamis dan juga akar kata dari meminta-minta (ngemis). Bahkan menurut kamus ini, dari kata Kemis ini lahir pula kata kemisan yang berarti "membuat laporan administratif mingguan pada hari Kamis." Sama dengan kamus Melayu di atas, kamus Jawa-Inggris ini juga tidak menyebut adanya kata emis sebagai akar kata dari ngemis. Tiga kamus terakhir ini tidak menyinggung, bagaimana Kemis yang dalam bahasa Jawa merupakan nama salah satu hari kemudian mempunyai arti meminta-minta setelah menjadi ngemis. Sedikit petunjuk terdapat dalam Javanese English Dictionary (Robson dan Wibisono, 2002). Dalam kamus terakhir ini, Kemis selain berarti hari Kamis juga merupakan kata dasar dari ngemis, ngemisi, ngemisake, dan kemisan. Kemisan diartikan dengan "laporan administratif mingguan yang dibuat pada hari Kamis," ngemisake adalah "meminta-minta sesuatu" dan ngemisi berarti "meminta-minta dari seseorang." Sedang ngemis sendiri mempunyai dua pengertian, yakni "meminta-minta pada hari Kamis malam" dan "meminta-minta" (dalam pengertain umum). Pengertian pertama dari ngemis ini sedikit memberi petunjuk adanya kaitan antara Kemis, sebagai nama hari, dan aktivitas meminta-minta, yakni aktivitias tersebut dilakukan pada hari Kamis. Penjelasan yang sedikit lebih tegas terdapat dalam Practish Javaansch-Nederlandsch Woordenboek (Jansz, 1913). Disebutkan bahwa kata dasar ngemis adalah Kemis dan ia mempunyai dua arti, yakni "meminta-minta pada Kamis petang yang dilakukan oleh santri," dan "meminta-minta dalam pengertian umum." Pernyataan ini klop dengan apa yang disampaikan Berg di atas. Mungkin kita akan curiga bahwa penjelasan ini memilik maksud tertentu karena disampaikan oleh orang Belanda yang punya sejarah menjajah kita. Tapi kalau kita lihat sejarah santri dan pesantren maka pendapat ini, menurut saya, lebih masuk akal dibanding dengan apa yang disampaikan dalam kamus-kamus bahasa Indonesia dan Jawa di atas. Sepanjang sejarahnya, terutama dalam masa penjajahan, pesantren sebagai tempat belajar para santri adalah lembaga pendidikan yang terjangkau semua orang karena sifatnya yang terbuka, murah dan bahkan gratis. Santri tidak dikenakan biaya untuk belajar dan kiyai tidak menerima gaji untuk mengajar. Santri hanya perlu mengurus keperluan dirinya sendiri, mulai dari makanan, pakaian, peralatan belajar, bahkan terkadang tempat tinggal. Bagi santri dari keluarga mampu, mereka tidak akan mendapatkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi bagi mereka yang datang dari keluarga biasa dan miskin, yang merupakan mayoritas santri pada saat itu, mereka harus bekerja di waktu-waktu sengganngnya. Ada yang kerja dengan penduduk sekitar pesantren, dalam bentuk menggarap sawah atau membantu berdagang, dan ada yang ikut ngenger di rumah kiyai dan keluarganya, membantu menyelesaikan tugas sehari-hari. Hal itu mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup di pesantren. Selain itu, ada pula yang menyambung hidupnya dengan cara meminta sedekah dari masyarakat sekitar. Tampaknya mereka yang meminta sedekah ini lebih suka melakukannya pada hari Kamis sore/petang karena itu berarti sudah masuk hari Jum'at dan Jum'at adalah hari yang mulia dalam Islam. Umat Islam disarankan melakukan lebih banyak amal baik di hari ini. Dengan meminta sedekah pada Kamis petang, para santri berharap lebih banyak umat Islam yang memberi. Karena aktivitas ini dilakukan hanya di hari Kamis, maka lahirlah kata ngemis di antara mereka. Dalam perkembangannya, kata ini mengalami perluasan makna, yakni untuk semua kegiatan minta-minta, oleh siapapun dan kapanpun. Kemudian, kata ini juga diserap dalam bahasa Indonesia. Perubahan zaman dan perbaikan ekonomi telah mengubah pola hidup santri. Saat ini barangkali tidak ada lagi pesantren yang gratis. Tidak ada pula santri yang ngemis, meminta-minta untuk sekedar menyambung hidup. Bahkan santri yang membantu petani atau pedagang juga sudah jarang ditemukan. Yang masih tersisa adalah santri yang tinggal di rumah kiyai atau keluarganya dan membantu pekerjaan sehari-hari. Namun hal itu dilakukan tidak karena alasan kemiskinan, seperti masa lalu, tapi lebih merupakan keinginan santri untuk melayani kiyai dan keluarganya, dengan harapan mendapatkan berkah dari kegiatan itu. Di sisi lain, persepsi masyarakat terhadap aktivitas meminta-minta juga berubah, menjadi negatif, karena berbagai alasan. Yang masih membuat saya masygul adalah mengapa kamus-kamus Indonesia dan Jawa yang saya sebutkan di atas menjelaskan bahwa ngemis dan mengemis berasal dari emis. Apakah memang demikian adanya menurut pakar bahasa, atau ada alasan-alasan tertentu untuk tidak mengungkap yang sebenarnya asal usul kata ngemis ini? Allahu A'lam Penulis adalah Ph.D. Candidate, History Department, University of Hawaii, Dosen Fak. Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta http://rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=296