Salam,

Apa benar karya Kyai Ihsan Jampes ini dibajak, atau kesalahan editing dll? Kalu 
bener, wah keterlaluan sekali. Kawan-kawan di Timteng yang punya akses dengan 
penerbit Darul al-Kutub al-Ilmiyah Beirut tersebut bisa complain soal ini.

Nasir


Syekh Jampes, Ulama Dunia dari Kediri
By Republika Newsroom
Selasa, 04 Agustus 2009 pukul 10:15:00 Font Size A A A 
         EMAIL  
         PRINT 
Facebook 


Ia terkenal sebagai seorang ulama yang pendiam dan tak suka publikasi.

Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di 
wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad 
Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok 
Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan 
Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab 
karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga 
perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari 
karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.

Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama 
sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu 
falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu, 
karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata, 
tetapi hingga pada persoalan fikih.

Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang 
ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin 
Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes. 
Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa 
muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren 
di Jatim.

Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang 
sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif 
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali 
penyebar agama Islam di Tanah Air.

Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan 
yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri 
Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.

Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti 
dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang 
berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief, 
pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.

Membaca dan menulis
Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto 
(semboyan hidup), 'Tiada Hari tanpa Membaca'. Buku-buku yang dibaca beraneka 
ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab 
hingga bahasa Indonesia.

Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam 
dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan 
menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi 
ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh 
pondok pesantren.

Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu 
falak (astronomi) yang berjudul  Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab  
Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932, 
ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil 
mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul  Siraj Al-Thalibin . Kitab  Siraj 
Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga 
bangsa Indonesia.

Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul  Manahij Al-Amdad , 
penjabaran dari kitab  Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh 
Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 
halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.

Selain  Manahij Al-Amdad , masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes 
ini. Di antaranya adalah kitab  Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa 
Al-Dukhan , sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari 
segi hukum Islam.

Kitab yang berjudul  Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan 
(kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan 
pengalaman hidupnya saat masih remaja.

Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya 
'Bakri'. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas 
kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri 
akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat 
gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati 
berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.

Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama 
bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam 
tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan 
hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, 
lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan 
masyarakat.

Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi 
seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan 
siap dilemparkan ke kepalanya.''Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan 
kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke 
kepalamu," kata kakek tersebut.

Ia bertanya dalam hati, ''Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau 
terus, itu bukan urusan kakek,'' timpal Syekh Ihsan.Tiba tiba, sang kakek 
tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya 
pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ''Ya Allah, apa yang 
sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.''

Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai 
gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. 
Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat 
(Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan, 
Madura).

Tawaran Raja Mesir
Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama 
hingga ke mancanegara adalah  Siraj Al-Thalibin . Bahkan, Raja Faruk yang 
sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes 
hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia 
diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi 
dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air 
melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya 
sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang 
didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang 
lebih dikenal dengan sebutan 'MMH' (Madrasah Mufatihul Huda).

Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari 
berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya, 
pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah 
setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah 
Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952. 


Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf

Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar 
atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul  Siraj al-Thalibin 
karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah  Minhaj 
Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad 
pertengahan.

Kitab  Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali 
pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara 
(Syekh Salim bin Sa'ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama 
dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi. Yang terakhir 
adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama 
Islam karya ulama besar abad pertengahan.

Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman 
dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak 
oleh Darul Fiqr--sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam 
cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman 
dan jilid kedua 554 halaman.

Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang 
penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, 
seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan 
filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga, 
kitab  Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.

Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di 
Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib 
untuk kajian pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga 
perguruan tinggi tertua di dunia.

Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir 
seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf 
dan akhlak. Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs 
 NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di 
Afrika dan Amerika.

Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi 
pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di 
Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan 
Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub 
Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab  Siraj al-Thalibin 
dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar 
luas di Indonesia.

Dalam halaman pengantar kitab  Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub 
Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan 
penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang 
wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syeh Ihsan al-Jampesi yang wafat 
pada 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan 
keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit 
juga membuang  taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH Hasyim Asyari 
(Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad 
Yunus Abdullah (Kediri).

Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya, 
pengertian tentang  uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari 
kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari  uzlah di era sekarang 
adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap 
menjaga diri dari hal-hal keduniawian. dia/sya/taq


Comment & Contribute
Member Comments

Kirim email ke