--- Pada Sel, 23/3/10, wencuan pandi <supandi...@yahoo.com> menulis:


Dari: wencuan pandi <supandi...@yahoo.com>
Judul: [TC16]- Fw: Bertanyalah pada Sel
Kepada: "tzuchi16" <tzuch...@yahoogroups.com>, "meiqin meiqin" 
<tomei...@yahoo.co.id>, "cristrina cristina" <tomei...@gmail.com>, "pindi 
pindi" <pindi_kis...@yahoo.com>, "pompy junus" <pompyju...@yahoo.com>, "parman" 
<zup4r...@yahoo.com>, "PT - Karly" <ka...@id.megachem.com>, "psari" 
<psari032...@yahoo.com>, "Xian Kun Pan" <invite+kp_ij...@facebookmail.com>, 
"sofia Li" <li_sofi...@yahoo.com>, "suhardi suhardi" 
<suhardi....@international.gc.ca>, "susan susan" <liong" <mahalungguj@ 
yahoo.com>; Irene <irene_l...@hotmail. com>; Jie <yeyen.h...@yahoo. com>; 
Layminto Jubilee <ljubi...@yahoo. com>; Lily Wang <pi...@centrin. net.id>; Ling 
<terajo_2109@ yahoo.co. id>; Pompy Subject: Bertanyalah pada Sel

Bertanyalah pada Sel
 
Join to : http://www.groups.yahoo.com/group/free_vegetarian
 
Adakah gizi yang terdapat pada pola makan hewani yang tak tergantikan di pola 
makan nabati? Tidak. Clueless bertanya: bisakah diverifikasi pernyataan  
tersebut dengan sumber yang akurat? Hanya mengambil sebuah contoh, 
sepengetahuan saya sumber Fe (zat besi) yang paling signifikan adalah daging 
sapi. Memang kita bisa mendapatkannya dari sayur-sayuran hijau, tapi tubuh kita 
hanya menyerap 1/5-1/3 dibandingkan bila zat besi diperoleh dari daging. Selain 
itu, sebut saja susu, protein (alpha, beta casein) yang terkandung di dalamnya 
merupakan sumber gizi yang cukup penting yang sekiranya sulit didapatkan dari 
produk lain. Secara pribadi, saya saat ini juga mengonsumsi makanan hewani 
seminimal mungkin (low fat diet), hanya saja dari sudut pandang nutrisi, saya 
belum yakin akan banyak hal. Lalu selanjutnya pertanyaan Ghazi: tapi, saya 
teringat guru biologi saya lagi, bukankah ada beberapa jenis protein yang hanya 
terdapat pada hewan?
kalau ini benar jadi bagaimana para vegetarian mencukupi kebutuhan protein yang 
ini?
 
Bila kita bertanya tentang gizi, kita bertanya tentang apa yang sebenarnya 
dibutuhkan tiap sel tubuh kita.  Tiap sendok makanan yang dipilih untuk 
dimasukkan ke dalam mulut, itulah juga yang akan sampai pada tiap sel tubuh 
kita. Sel tubuh adalah penyusun dasar tubuh kita, dinamika roda metabolisme   
menjaga fungsi kerja tiap organ yang kita kenal dengan hidup, dapur utamanya 
adalah sel. Untuk menjalankan fungsinya sel tubuh kita membutuhkan sumber 
energi  dalam porsi yang sangat besar, yang dipasok dari 90% glukosa(molekul 
terkecil dari metabolisme karbohidrat) . Beda dengan karnivora yang memperoleh 
energinya dari oksidasi 90% asam amino (molekul terkecil dari protein). Asam 
amino hanya dibutuhkan menurut WHO hanya dalam jumlah kecil (2,5-4%) atau hanya 
sekitar 25 gram, asam lemak tak jenuh(1+%), vitamin kurang dari 1%.
 
Secara sederhana kita berharap apa yang ditelan dapat memberi manfaat, dapat 
memberi kehidupan, namun bila ternyata malah memberi beban, memberi toksin yang 
akhirnya memberi resiko dan petaka apakah ‘makanan��?tersebut layak disebut 
makanan bergizi?
 
Mari menjernihkan makna gizi atau nutrien, jika suatu produk mengandung tinggi 
protein belum bisa disebut bergizi jika ternyata perannya pada tingkat sel 
justru membebani atau bahkan merusak. Selama ini kita menilai gizi hanya dari 
sisi kandungan namun abai dari sisi fungsi. Fungsi dikatakan optimal ditentukan 
dari manfaat dan kecukupan jumlah nutrien yang  dibutuhkan sel tubuh tubuh, 
tentu dengan minim resiko. Kata butuh selalu menjadi acuan karena keliru 
persepsi banyak lahir dari iming-iming ‘lebih tinggi��?pada protein, zat besi 
dan B12, namun abai mencemati faktor lain, yakni resiko.
Apa yang sampai pada sel tubuh kita atau konsumsi tingkat sel akan memberi 
kategori apa yang pas untuk makanan yang kita telan, nutrien, ampas,  atau 
bahkan toksin.  Makanan kita harapkan dapat menjaga dan memelihara kelangsungan 
hidup (living food) jika kita memilih jenis ini, kita menempatkan sel tubuh 
sebagai livingtariancell (sel pengonsumsi makanan yang memberi dan memelihara 
hidup). Namun jika apa yang sampai pada sel tak lebih dari ampas, nutrien 
berlebih atau bahkan toksin tulen bawaan makanan tersebut, karsinogen-produk 
biang masalah (trouble maker food), maka sel tubuh hanya kita tempatkan sebagai 
junkatariancell (sel pengonsumsi sampah/masalah) .
 
Mari awali dengan pertanyaan tentang kelengkapan protein atau lebih populer 
dengan istilah protein komplit. Begitu mendengar pernyataan protein hewani 
sebagai sumber protein komplit apa yang terbayang dalam benak kita? Protein 
nabati tak komplit? Diskriminasi akan kualitas protein hewani yang dilabeli 
‘lebih komplit��?ini dijernihkan  oleh Dr. Alfred Harper (Chairman of 
Nutritional Sciences at the University of Wisconsin, Madison, and of the Food 
and Nutrition Board of the National Research Council) mengatakan bahwa,”Salah 
satu kekeliruan terbesar yang masih saja dipelihara sampai detik ini adalah 
adanya istilah yang kita kenal dengan  protein komplit��?  American Dietetic 
Association menyatakan bahwa selama diet yang dikonsumsi bervariasi, kecukupan 
protein akan mudah diperoleh bahkan tanpa perlu melakukan kombinasi khusus.
Pernyataan ADA ini meluruskan ide kombinasi khusus dari berbagai macam jenis 
biji-bijian, kacang, buah atau sayur untuk memenuhi kebutuhan akan protein.
 
Tubuh kita juga memiliki sistem daur ulang 70% protein yang dikenal dengan pool 
asam amino (Arthur C Guyton, Physiology of the Body). Inilah salah satu jawaban 
mengapa kasus kekurangan protein sangat jarang terjadi. Defisiensi hanya 
terjadi pada kasus kelaparan berat, kwashioskor, busung lapar atau diet yang 
kurang dari 500 kalori. Bukankah ketakutan yang kita pelihara selama ini sudah 
sangat berlebihan?
‘Sumbangsih��?tulen diet sumber hewani
 
Sejatinya ketakutan yang mutlak ada adalah resiko yang dibonceng satu paket 
dari konsumsi protein hewani. Garis bawahilah, protein dari sumber hewani tidak 
pernah sampai sendirian sampai ke sel tubuh kita. Mengonsumsi sumber hewani 
yang kita harapkan mendapatkan protein selalu datang bersama dengan lemak 
jenuh, kolesterol, kandungan tinggi zat besi (pencetus kanker lambung, diabetes 
dan serangan jantung), sekian jumlah zat-zat kimia.
Zat-zat kimia pengawet nitrit, nitrat dan pewarna diberikan untuk menjaga 
tampilan warna daging tetap merah dan segar. Sumber hewani juga mengandung 
hormon pertumbuhan, antibiotik, herbisida dan pestisida. Kandungan pestisida 
dalam daging 13 kali lipat DDT lebih banyak daripada sayuran, buah dan 
rerumputan. Daging yang telah dimasak, kandungan asam amino, kreatin dan gula 
pada otot daging membentuk senyawa karsinogen (pencetus kanker) yang dikenal 
dengan Heterocyclic amines (Turn Off the Fat Genes, 2001). Ilmuwan di Lawrence 
Livermore National Laboratory mengadakan penelitian selama 5 tahun terhadap 
ribuan kilogram hamburger untuk mengetahui toksin apa saja yang terbentuk dalam 
daging yang dimasak.
 
Hasilnya, sedikitnya ada 8 (delapan jenis) bahan kimia yang berkaitan dengan 
kanker dan kerusakan kromosom. Seorang peneliti senior mengatakan “Anda tak 
akan memperoleh struktur seperti ini saat memasak tahu��? Senyawa lain 
diantaranya, dalam satu kilogram steak mengandung 4-5 mikrogram benzopyrene 
(karsinogen sangat kuat) setara dengan potensi kanker 600 batang rokok. 
Pemanasan pada lemak binatang mengakibatan reaksi peroksidasi dan terbentuknya 
radikal bebas.  Radikal bebas mengakibatkan terakumulasinya debris dalam sel 
yang dikenal dengan lipofuscin dan creoid yang diduga merupakan komponen 
penting terjadinya kerusakan sel.
 
Isu favorit lainnya adalah zat besi.
Sisi yang banyak disorot adalah daya serap tubuh terhadap heme (zat besi sumber 
hewani) yang lebih tinggi dibandingkan dengan non heme (zat besi sumber 
nabati). Apa yang abai diperhatikan adalah tubuh tidak mampu membuang stok zat 
besi, kecuali dengan donor darah. Dalam banyak kasus, tingginya ketersediaan 
zat besi dalam tubuh justru mempertinggi resiko kanker lambung, kanker usus 
besar, diabetes tipe 2 dan serangan jantung. Jurnal Circulation dari American 
Heart Association’s melaporkan ilmuwan Harvard University meneliti sebanyak 
45.000 pria dan menemukan bahwa semakin banyak zat besi heme dalam tubuh, maka 
resiko terkena penyakit jantung semakin tinggi. Demikian juga dengan resiko 
diabetes tipe 2 akibat ketersediaan zat besi yang tinggi dalam tubuh. 
Bagaimana  resiko ini dapat timbul? Zat besi merupakan katalis dalam 
pembentukan radikal bebas hidroksil yang sangat kuat menyerang membran lemak, 
protein dan asam nukleat. Mekanisme inilah yang diduga
 mengawali proses resistensi insulin dan mengakibatkan menurunnya pengeluaran 
insulin sehingga memicu penyakit diabetes tipe 2. (JAMA. 2004;291:711- 717).
 
Tingginya stok zat besi juga membonceng resiko pada lambung.Makanan sumber 
hewani secara umum tinggi akan zat besi yang merupakan faktor penting untuk 
pertumbuhan Helicobacter pylori. Kaitan kombinasi bakteri Helicobacter pylori 
terhadap kanker lambung telah terbukti signifikan (www.medicalnewstoda y.com)
 
Poin lain yang tidak kalah penting adalah: meski stok zat besi pada kelompok 
vegetarian lebih rendah daripada non vegetarian namun tidak pada level 
defisiensi. Kasus anemia pada kelompok vegetarian tidak lebih banyak atau lebih 
sedikit dari non vegetarian, tidak ada perbedaan yang bermakna akan resiko 
kasus anemia pada kedua kelompok.
 
Beberapa saat sebelum dijagal, produksi neurotoksin dalam tubuh hewan ternak 
meningkat tajam, dipicu oleh rasa takut, stres dan marah melihat dan mendengar 
jeritan hewan-hewan lain yang disembelih. Produksi adrenalin meningkat dan 
memuncak ketika pisau jagal memutus nadi utama mereka.    Enam menit setelah 
disembelih, molekul penyusun dalam tubuh berubah, proses pembusukan terjadi. 
Keasaman tubuh bergeser dari basa ke asam. Menurut Dr. Cousens ini adalah salah 
satu dasar mengapa pH rata-rata non-vegetarian 6,3-6,9 (lebih asam) sedangkan 
pH kaum vegetarian 6,3-7,2. Juga merupakan dasar mengapa sumber hewani dapat 
mempertinggi resiko rapuh tulang (osteoporosis) .
 
Mengetahui begitu banyaknya toksin, zat-zat kimia yang terkandung dalam 
sepotong daging, mungkin sebagian dari kita akan bertanya berapa lama tabungan 
resiko ini akan berbuah? Kanker misalnya. Salah satu alasan mengapa tubuh kita 
tidak serta merta tumbuh tumor dan berkembang menjadi kanker di mana-mana 
adalah karena adanya mekanisme pertahanan. Perubahan sifat dasar sel yang 
dipicu dari makanan kaya toksin, kaya radikal bebas, kaya karsinogen, ketika 
sel-sel ini memasuki (ikut dalam) pembuluh darah, sistem imun 50.000 : 1 sel 
kanker akan menghambat pertumbuhan lanjut sel kanker. 
 
Namun stabil tidaknya mekanisme pertahanan ini bergantung pada apa yang 
dimakan. Jika terus-menerus tubuh terpapar oleh toksin, radikal bebas, dan 
karsinogen pada ambang tertentu tubuh tidak mampu membendung pertumbuhan sel 
kanker (Nature 407:249-257 2000) Sebagai gambaran, kompilasi 15 penelitian yang 
dilakukan oleh LEMKES  Institut Karolinska, Swedia dalam jurnal National Cancer 
Institute, Amerika. Setiap konsumsi 30 gram daging selama 10 tahun beresiko 
15-38% kanker perut ( Agustus 2006).
 
Bagaimana Sahabat? Jika kita cukup fair, data-data di atas selayaknya dapat 
memberi pemahaman pada kita apa yang sejatinya sampai dari tiap kunyahan daging 
kepada tiap sel tubuh kita, kehidupan ataukah petaka. Mari belajar mendengar 
suara sel tubuh kita, apa yang enak di lidah warasnya juga selaras di dapur 
sel. Tidak membonceng bom waktu, tidak menimbun resiko. 
Semoga bermanfaat.
 
Semoga semua mahluk hidup berbahagia.

Kirim email ke