Mg Biasa XXXIIc: 2Mak 7:1-2.9-14; 2Tes 2:16-3:5; Luk 20:27-38
"Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di 
hadapan Dia semua orang hidup." 
"Besok kalau saya mati dikubur di tempat kelahiran saya, di samping 
makam bapak-ibu saya. Peti untuk saya sudah saya siapkan maka nanti 
peti itulah yang menjadi tempat istirahat saya, dan pakaian 
hendaknya juga pakai baju, celana dan jas yang sudah saya siapkan. 
Jangan lupa nanti pakai mobil ambulan yang baik. Setelah saya mati 
kamu semua hendaknya hidup rukun dan damai, tidak saling bermusuhan 
atau rebutan warisan dst..", demikian kurang lebih pesan seorang 
bapak yang sudah lanjut usia kepada anak-anaknya.  Rasanya ada cukup 
banyak orang yang berpesan semacam itu dalam rangka menghadapi 
kematian, yang datangnya memang tak dapat terduga, dapat terjadi 
setiap saat. Pesan macam itu hemat saya menunjukkan bahwa yang 
bersangkutan sungguh bermental materialistis, kebahagiaan atau 
keselamatan ada pada hal-hal materialistis yang kelihatan di dunia 
ini. Ia memiliki kekhawatiran : jangan-jangan ketika ia telah mati 
apa yang dikerjakan selama ini akan dihancurkan atau dimusnahkan 
oleh mereka yang ditinggalkan. Ia memiliki kekhawatiran dan 
pertanyaan sebagaimana diwartakan dalam Injil hari ini: "Guru, Musa 
menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai 
saudara laki-laki, mati sedang isterinya masih ada, tetapi ia tidak 
meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan 
membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang 
bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati 
dengan tidak meninggalkan anak.Lalu perempuan itu dikawini oleh yang 
kedua,dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh 
ketujuh saudara itu, mereka semuanya mati dengan tidak meninggalkan 
anak. Akhirnya perempuan itu pun mati.Bagaimana sekarang dengan 
perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi 
suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristerikan 
dia." (Luk 20:28-33) Ia tidak percaya akan kebangkitan orang mati 
atau hidup abadi setelah kematian atau kehancuran  phisik ini[ ia 
tidak percaya akan apa yang tidak kelihatan oleh mata duniawi ini. 

"Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya 
dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, 
Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan 
Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup." (Luk 
20:37-38) 
"Baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan."(Rm 14:8b), demikian 
kata Paulus kepada umat di Roma, dengan kata lain baik dalam keadaan 
hidup atau mati kita tergantung dari Tuhan;  Tuhanlah yang 
menghidupi kita sehingga kita dapat hidup seperti saat ini. Maka 
jika Yesus bersabda bahwa " Ia (Tuhan) bukan Allah orang mati, 
melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang 
hidup", kiranya mengajak dan memanggil kita semua agar senantiasa 
hidup dalam Tuhan, sesuai dengan kehendak dan perntah Tuhan. 
Perintah Tuhan yang utama dan pertama adalah kasih, "Inilah perintah-
Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi 
kamu"(Yoh 15:12), demikian sabdaNya. 

Kita semua diciptakan (dikandung, dilahirkan dan dibesarkan oleh 
orangtua kita) dalam dan oleh kasih; masing-masing dari kita 
adalah `buah kasih' atau `kasih', maka perintah Tuhan agar kita 
saling mengasihi kiranya merupakan tugas perutusan yang mudah. 
Karena setiap orang atau masing-masing dari kita adalah `kasih', 
maka bertemu dengan sesama atau siapapun berarti pertemuan atau 
perjumpaan `kasih': kasih bertemu dengan kasih berarti saling 
mengasihi. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. 
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.Ia tidak melakukan yang 
tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak 
pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak 
bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia 
menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala 
sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (1Kor 13:4-7), demikian 
kata Paulus kepada umat di Korintus. Dalam pertemuan atau perjumpaan 
dengan siapapun atau sesama  kita diajak dan dipanggil, antara lain 
bertindak "sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, tidak 
melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri 
sendiri, tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain serta 
berbuat adil dan berharap alias bergairah".  Keutamaan-keutamaan 
sebagai perwujudan kasih ini memang merupakan anugerah Allah alias 
berasal dari Allah, maka agar kita setia untuk saling mengasihi, 
marilah kita renungkan dan imani atau hayati kata –kata ini:"terima 
kasih", itulah kata yang sering kita ucapkan setiap kali menerima 
sesuatu dari orang lain atau  sapaan Paulus kepada umat di 
Tesalonika di bawah ini.      

"Kiranya Tuhan tetap menujukan hatimu kepada kasih Allah dan kepada 
ketabahan Kristus" (2Tes 3:5)

Tuhan yang menciptakan dan menghidupi kita dalam kasih, tidak pernah 
berhenti mengasihi kita, maka jika kita sungguh beriman atau percaya 
kepadaNya, marilah kita "tujukan hati kita kepada kasih Allah dan 
kepada ketabahan Kristus".  Kasih Allah yang terbesar adalah "Yesus 
Kristus" yang datang ke dunia ini, Allah yang menjadi manusia 
seperti kita kecuali dalam hal dosa. Maka rasanya baik jika kita 
mengarahkan hati kepada ketabahan Yesus Kristus atau meneladan 
ketabahanNya, terutama ketika Ia `menelusuri jalan salib' serta 
berada di puncak penderitaanNya,  `tergantung di kayu salib'. 
Berikut beberapa contoh sabda atau cara bertindakNya yang layak 
menjadi teladan kita:
•       "Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, 
melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!" (Luk 23:28), 
demikian sikap dan sabdaNya kepada para perempuan yang menangisi 
penderitaan Yesus, Guru dan Tuhan mereka, yang harus memikul salib 
berat. Di dalam penderitaan dan berberan berat Ia justru menghibur 
orang lain yang menangisiNya, itulah yang terjadi. Mungkin kita juga 
sering memikul beban berat, entah itu tugas, sapaan/kritikan/ejekan 
dst.., marilah kita belajar dan meneladan Yesus: tidak mengeluh atau 
menggerutu melainkan tetap tabah dan gembira sehingga dapat 
menghibur siapapun yang melihat atau bersama dengan kita. Percayalah 
bahwa dalam ketabahan dan kegembiraan beban berat apapun dapat kita 
pikul dan ringan adanya. "Belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah 
lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan" (Mat 
11:29), demikian sabdaNya kepada kita semua. .
•       "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang 
mereka perbuat."(Luk 23:34), demikian doa Yesus di puncak kayu 
salib, di puncak penderitaanNya. Ia diejek dan dilecehkan oleh orang-
orang yang menyalibkanNya, namun Ia tidak mengeluh dan marah apalagi 
balas dendam, melainkan mendoakan mereka yang menyalibkanNya, 
mengampuni mereka yang menyakiti dan memusuhiNya. Ia konsekwen 
dengan apa yang pernah Ia sabdakan :"Kasihilah musuhmu dan berdoalah 
bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:44). Dalam hidup sehari-
hari, dalam pergaulan, kesibukan atau kerja, kita kiranya sering 
menerima perlakuan yang tidak enak atau menyakitkan dari suadara dan 
sesama kita; marilah kita arahkan atau tujukan hati kita  kepada 
Yesus yang tergantung di kayu salib sambil berdoa seperti yang 
didoakan oleh Yesus :"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak 
tahu apa yang mereka perbuat". Berani mendoakan dan menghayati doa 
ini dalam derita dan sakit, kita akan tetap `hidup', bergairah dan 
bergembira. Ingatlah derita dan sakit yang kita alami tidak seberapa 
atau tidak sebanding dengan derita dan sakit yang dialami oleh Yesus 
yang tergantung di puncak kayu salib. 

"Langkahku tetap mengikuti jejak-Mu, kakiku tidak goyang.Aku berseru 
kepada-Mu, karena Engkau menjawab aku, ya Allah; sendengkanlah 
telinga-Mu kepadaku, dengarkanlah perkataanku " (Mzm 17:5-6) 
Jakarta, 11 November 2007


Kirim email ke