Tujuh Tahun Menuju Mendut
http://dee-idea.blogspot.com/


Barangkali inilah artikel dengan tingkat kesulitan paling tinggi yang
pernah saya tulis, karena saya akan mencoba menuliskan sesuatu yang
sudah pasti tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Semua yang saya
tulis berikut ini ibarat setetes air laut mencoba menjelaskan samudera.
Kendati terdengar sia-sia, mudah-mudahan upaya ini masih punya makna.

Selama tiga hari, berlokasikan di Vihara Mendut – Magelang, saya
mengikuti Meditasi Mengenal Diri (MMD) di bawah bimbingan Pak Hudoyo
Hupudio. Beliau, MMD, dan milis spiritualnya, sudah saya kenal sejak
tujuh tahun yang lalu lewat internet, bahkan beliau pernah saya
"todong" untuk membuat pengantar buku pertama saya
"Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh". Namun baru
tahun inilah saya berkenalan langsung dengan Pak Hudoyo. Pertama, ketika
kami sama-sama menjadi pembicara dalam diskusi tentang meditasi di
Bandung bulan Februari lalu, dan kedua ketika saya menjadi peserta MMD
angkatan ke-99 di Mendut.

Meski berbasiskan meditasi vipassana, MMD sendiri merupakan meditasi
lintas agama, terbukti dari komposisi peserta yang beragam. Angkatan
ke-99 yang berjumlah total 31 orang ini, mayoritas peserta beragama
Katolik dan Islam, disusul Buddhis sebanyak lima orang, dan yang
beragama Protestan sebanyak empat orang.

Sekalipun sudah delapan tahun menggeluti dan merenungi masalah
spiritualitas, saya bukanlah meditator yang disiplin. Kegiatan
bermeditasi saya lakukan dengan frekuensi dan intensitas yang acak. Saya
tidak asing dengan konsep vipassana, tapi baru di Mendutlah saya secara
fokus menyelami pengalaman mengamati diri.

Hari pertama dimulai dengan pengarahan. Pak Hudoyo berpesan agar kami
meninggalkan semua pemahaman, pengetahuan, harapan, dan segala teknik
yang kami ketahui. Tidak ada doa. Tidak bicara. Tidak ada apa-apa. Tugas
kami hanya menjadi pengamat pasif. Total. Dan beliau mengingatkan,
"Kalian akan memasuki neraka." Neraka yang dimaksud adalah
segala sakit yang akan dimuntahkan oleh badan, segala resah dan bimbang
yang akan dimuntahkan oleh batin, dan sekali lagi, tugas kami hanya
mengamati.

Kami bermeditasi kurang lebih dua belas jam sehari, diselingi tiga kali
diskusi, satu kali istirahat, dan dua kali makan. Neraka itu saya alami
dalam tiga sesi pertama. Perjuangan berat untuk sekadar duduk diam satu
jam, dan perjuangan lebih berat lagi untuk mengalami apa artinya
"mengamati".

Saya mulai dengan tidak menjustifikasi dan bereaksi, tapi hanya memberi
label pada segala fenomena batin yang terungkap: "perasaan",
"memori", "gambar", "bosan", "pegal",
dan seterusnya. Hingga pada satu titik saya kelelahan sendiri dengan
proses memberi label itu. Fenomena fisik seperti rasa pegal dan
kesemutan pun enggan hilang, bahkan ketika saya pikir saya sudah
"mengamati".

Pada saat meditasi pagi hari ke-2, saya mulai mengalami sesuatu. Selagi
pikiran saya lepaskan mengembara tanpa label, tiba-tiba saya seperti
terjatuh. Tepatnya, seperti dibangunkan. Bukan oleh kehendak, melainkan
terjadi tiba-tiba di luar kendali sang "aku". Dan deskripsi
paling mendekati dari kondisi terbangun itu adalah… hening. Tak
lama, pikiran kembali lolos seperti belut licin dan mulai berkata
"Barangkali ini hening yang dimaksud. Bagaimana caranya bisa kembali
ke sini?" Seketika, hening itu hilang.

Saya merenungi pengalaman sekian detik itu dan menyadari bahwa manusia
menghabiskan hidupnya dalam bermimpi. Kita hidup dalam kuasa pikiran
yang tak pernah dibiarkan berhenti. Tak henti-hentinya tertarik ke masa
lalu dan terdorong ke masa depan. Dan kita menyangka kita sungguhan
hidup. Guru saya pernah berkata: Mind is always delayed. Evaluating is
the job description of the mind. That's why, the mind is always
slightly behind, and at the same time always trying to be slightly
forward so it can protect. Hal itu juga dikonfirmasi oleh penjelasan Pak
Hudoyo saat diskusi, pikiran adalah alat manusia untuk bertahan hidup,
tapi ketika pikiran dijadikan penuntun maka selamanya kita
terseret-seret ke masa lalu yang sudah tidak ada dan masa depan yang
belum terjadi. Kita bermimpi sekalipun kita terjaga. Kita bermimpi
tentang cinta, tentang hidup, dan tentang Tuhan. Tanpa menghentikan
pikiran, tak sekalipun kita mengalami cinta, hidup, dan Tuhan yang
sesungguhnya. Yang ada hanyalah konsep dan upaya.

Pada saat meditasi sore hari ke-2, entah bagaimana awalnya, tapi saya
sebagai subjek mendadak melemah, dan saya tersadar bahwa selama ini saya
hanya terpusat pada fenomena yang terjadi pada diri saya*pikiran,
perasaan, kenangan, fisik*tapi tidak sekalipun saya memperhitungkan
fenomena di sekitar saya seperti suara burung, suara mobil di kejauhan,
atau bunyi gesekan karpet. Pengamatan saya yang tadinya berbatas seperti
sorot senter, mendadak meluas seperti lampu ruangan. Dan saya menyadari
bahwa hal-hal kecil yang saya lewatkan ternyata fenomena yang sama rata
dengan pegal kaki atau celotehan benak saya. Setelah diberi perhatian
yang serupa, mendadak tak ada yang menetap. Label lenyap, hanya murni
mengamati. Dan pengamatan ini menghentikan semuanya, termasuk kaki saya
yang kesemutan. Satu peserta bertanya saat diskusi, apakah saya pernah
bermeditasi selama itu sebelumnya, karena dilihatnya saya bermeditasi
dua jam tanpa bergerak. Saya jujur menjawab, belum. Itulah meditasi
duduk terlama yang pernah saya lakukan.

Dari pengalaman tadi, saya menyadari betapa si "aku" menciptakan
subjek dalam setiap diri kita, membuat kita pusat yang terpenting dan
semua hanyalah objek dalam pengalaman si subjek. Namun tak sekalipun
kita menyadari bahwa si subjek, si "aku", juga rekaan. Dalam
pengamatan murni, "aku" tereduksi menjadi objek, sama-sama cuma
fenomena. Perasaan saya hanya fenomena, fisik saya juga fenomena, burung
di udara pun fenomena. Sebagai konsep, kita bisa meneriakkan "kita
adalah satu, we are one" dan membungkusnya dalam melodi indah. Namun
tanpa berhentinya pikiran, kebersatuan hanyalah semboyan manis. Kita
mengaku mengenal Tuhan dan beragama, tapi dalam mimpi kolektif kita
tentang Tuhan dan agama, perdamaian hanya akan seperti hantu yang tak
terkejar.

Pada meditasi pagi hari ke-3, saya mulai memasuki suasana hening sejak
berjalan menuju aula. Dan pagi itu, saya mengalami sesuatu yang sangat
sulit diungkap dengan kata-kata. Segalanya menjadi denyut. Timbul dan
lenyap begitu cepat. Denyut ini seperti "memakani" segala
pengalaman seperti mulut PacMan. Tak ada yang dibiarkannya bertahan
sedikit lama. Dengan ritme yang cepat dan cenderung tetap, semua
fenomena yang muncul pun padam lagi tanpa kecuali. Bahkan luapan ekstase
yang saya rasakan tak bisa bertahan lama. Pikiran yang hendak
berkata-kata putus di tengah-tengah. Rasa haru yang singgah pun pergi
lagi tanpa bisa saya cegah. Namun sebutir air mata berhasil lolos, saya
merasakannya mengalir di pipi. Dan saat mata saya akhirnya membuka, air
mata itu sudah kering tanpa bekas.

Dalam diskusi terakhir, Pak Hudoyo menjelaskannya sebagai pencerahan
akan timbul dan lenyapnya fenomena. Apa yang kita pikir sebagai
kontinuitas sesungguhnya adalah keterputusan. Seperti riil film yang
sebenarnya cuma potongan gambar yang terputus-putus, tapi tampak
bergerak kontinu ketika diputar. Para ilmuwan menelaahnya dalam fisika
kuantum. Sebuah partikel sesungguhnya tidak diam statis, melainkan
muncul dan lenyap. Anicca, atau impermanensi, adalah kata yang membersit
saat saya merenungkan pengalaman meditasi saya tadi. Konsep yang sudah
lama saya tahu dan akhirnya menjadi aktual lewat pengalaman.

Tiga hari bermeditasi di Mendut menjadi titik balik saya berikutnya.
Sesudah Five Mindfulness Trainings di Hongkong yang memberi pemahaman
segar tentang kode etik hidup, Meditasi Mengenal Diri memberi pengalaman
tentang realitas sejati dari hidup itu sendiri. Dan ada benang merah
yang menalikan keduanya: Thich Nhat Hanh dan Hudoyo Hupudio dengan
caranya masing-masing telah mampu menghadirkan ajaran universal Sang
Buddha bagi siapa saja yang ingin bebas dari penderitaan*apa pun
denominasi agama dan kepercayaannya. Vipassana sebaiknya tidak dipandang
eksklusif milik umat Buddha, tapi siapa pun yang ingin mengenal diri.
Lima Sila yang diikuti pemahaman benar dapat diterapkan dalam hidup
siapa saja, selama mereka memang berkomitmen untuk menciptakan
koeksistensi yang harmonis dengan semua makhluk.

Saya akan mengakhiri artikel ini dengan mengutip pesan Pak Hudoyo setiap
usai berdiskusi: lupakan ini semua. Lupakan cerita saya. Setiap kata
adalah upaya, bukan kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan itu sendiri
telah pergi dan berganti. Pikiran kita hanya bisa mengejar dan berujar.
Namun pada saat yang sama, kita pun bisa tersadar dan terbangun dari
mimpi panjang ini.

* Keterangan dan diskusi tentang MMD dapat disimak di
[EMAIL PROTECTED] <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
atau [EMAIL PROTECTED]
<mailto:[EMAIL PROTECTED]>

Reply via email to