Sains dalam Perspektif Agama Today at 12:49pm  oleh Roy B. Efferin *)

Selama dua ribu tahun agama Kristen menganut paham monoteisme.
Monoteisme artinya hanya ada satu Tuhan. Seluruh semesta dan isinya
diciptakan oleh Tuhan. Sehingga ada perbedaan antara Sang Pencipta dan
ciptaan-Nya. Pandangan ini tidak hanya dianut oleh agama Kristen, tetapi
juga oleh agama besar lain, seperti agama Islam dan Yahudi. Ketiga agama
Semitis/Samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) sering juga disebut agama
langit, karena Tuhan dianggap memberikan wahyu dari langit melalui para
utusan atau nabi-Nya kepada umat-Nya.

Sementara agama-agama bumi, kebalikan dari agama langit, sering juga
disebut sebagai "Kepercayaan", seperti agama Hindu, Buddha, dan
Tao menganut paham monoisme. Paham monoisme mengatakan bahwa seluruh
alam semesta saling terhubung dan tidak bisa dipisahkan. Batasan antara
Tuhan dan ciptaan-Nya atau batasan antara "yang tidak berwujud"
dan "yang berwujud" susah sekali dibedakan. Dalam agama-agama
monoisme, wujud sang nabi bukanlah suatu sosok eksternal, tetapi lebih
merupakan Kesadaran Tertinggi yang berada di dalam diri setiap makhluk,
baik berwujud maupun tidak berwujud. Dengan kata lain, semua – baik
Pencipta maupun ciptaan – adalah Satu. Ciptaan adalah wujud yang
sedang merealisasikan keberadaan Sang Pencipta.

Karena semua adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan alam semesta ini sedang
berkembang, salah satu konsekuensi dari paham monoisme adalah Tuhan pun
dianggap sedang berkembang. Hal ini merupakan salah satu hal yang tidak
bisa diterima oleh paham monoteisme. Tuhan menurut monoteisme adalah
absolut, dalam bahasa fisika disebut konstan dan sempurna, sehingga
tidak ada ruang lagi untuk berkembang.

Seperti sebuah ungkapan Zen yang terkenal dengan istilah Wu-Wei, yang
artinya upaya tanpa berupaya atau kerja tanpa bekerja, maka Fisika
Modern memberikan jawaban alternatif tanpa berusaha untuk menjawab
perdebatan ini. Jika energi tidak bisa musnah dan hanya berubah bentuk
menjadi materi dan materi menjadi energi, dan jika jumlah energi serta
materi tetap sama sepanjang masa, jelaslah bahwa di tengah ekspansi alam
semesta yang sedang terjadi, energi dan materi adalah absolut atau
konstan.

Demikian juga jika ditilik dari sudut waktu, yang sebetulnya adalah
ruang-waktu, maka alam semesta sebagai perwujudan Tuhan bisa berkembang
dan tidak berkembang tergantung dari sudut pandang kita terhadap waktu.
Jika waktu dipandang sebagai rel kereta api yang berjalan dari masa lalu
ke masa depan, maka alam semesta akan terlihat berekspansi. Tetapi, jika
dilihat dari depan kereta api, maka waktu tidak mengalami perubahan.
Artinya, waktu yang ada merupakan satu moment dan statis (absolut).
Fisika Kuantum membuktikan bahwa alam semesta ini adalah absolut meski
sedang mengalami ekspansi. Luar biasa! Bagaikan dualitas cahaya, alam
semesta pun merangkul paham monoteisme dan monoisme tanpa menjatuhkan
salah satunya.

Mungkin perbedaan terbesar antara monoisme dan monoteisme adalah masalah
tanggung jawab. Dalam monoteisme, jika seseorang mengalami
"kesialan", maka ia dapat melemparkan penyebab kesialannya itu
kepada "nasib", atau "cobaan dari Tuhan", atau perbuatan
orang lain atau apa pun kambing hitamnya. Ia akan menunjuk ke semua arah
kecuali dirinya sendiri. Dirinya adalah korban. Terciptalah secara
psikologis hubungan victim and villain, korban dan penjahat. Pandangan
ini meringankan manusia, karena ia sudah tidak perlu bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang menimpa dirinya.

Sementara itu, monoisme melemparkan tanggung jawab kembali kepada kita
semua. Jika semua adalah satu, saling terhubung dan tidak ada
keterpisahan, maka apa pun yang menimpa kita adalah karena tingkah laku
kita sendiri. Tidak ada kambing hitam, tidak ada kemudahan untuk
melemparkan kesalahan selain kepada diri sendiri.

Yang luar biasa dari Fisika Modern adalah semua fenomena kuantum yang
terjadi memaksa kita untuk menyadari bahwa kambing hitam tidak pernah
ada. Segala keadaan yang dialami oleh seseorang adalah hasil dari
perbuatannya sendiri, seperti hukum fisika yang mengatakan "setiap
aksi akan menghasilkan reaksi".

Tentu saja banyak orang akan tidak setuju dengan pendekatan Sains ini.
Mereka akan mengatakan bahwa keyakinan tidak bisa dicampuradukkan dengan
ilmu pengetahuan. Tuhan tidak bisa dinalarkan. Memang benar bahwa Tuhan
tidak bisa dinalarkan. Sayangnya, banyak dari pemuka agama justru
berusaha menalarkan Tuhan. Bahwa sosok Tuhan digambarkan sebagai seorang
raja yang tengah duduk di singgasana dan mengawasi seluruh daerah
kekuasaannya (alam semesta) adalah juga bentuk penalaran tentang Tuhan.

Sebagai contoh, seorang pendeta di Amerika mengatakan bahwa (menurut)
Injil peradaban manusia baru berusia 6000 tahun. Manusia pertama, Adam
dan Hawa, muncul 4000 tahun sebelum Masehi. Sedangkan seluruh penemuan
Sains tentang usia manusia modern menyatakan bahwa manusia telah berusia
minimal 150.000 tahun. Bahkan ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
sejak 5000 tahun SM manusia telah memiliki peradaban. Namun, sang
pendeta itu tidak menerima semua pendapat Sains dan bukti-buktinya itu.
Ia menganggap semua itu hanyalah sekedar cobaan dari Tuhan untuk menguji
iman-iman para penyembah-Nya. Ia juga menyatakan bahwa jika mereka
percaya pada Tuhan, maka mereka akan menyadari bahwa semua penemuan itu
adalah palsu. Dan jika mereka lebih percaya pada penemuan-penemuan
sains, maka hal itu berarti – masih menurut "nalar" pendeta
tadi – mereka telah terjebak untuk tidak mempercayai Injil sebagai
sebuah kitab absolut yang datang langsung dari Tuhan.

Tentu saja sang pendeta berusaha "menalarkan" apa yang terjadi.
Pada kenyataannya, perkembangan Sains tidak menyangkal keberadaan Tuhan.
Apa yang dibuktikan salah, bukanlah keberadaan Tuhan, tetapi konsep kita
tentang Tuhan dan Ketuhanan.

Selama ribuan tahun, paling tidak di belahan Barat, manusia mempunyai
kepercayaan bahwa Tuhan dan malaikat-malaikatnya selalu berwarna putih.
Warna putih menjadi simbol kesucian. Warna yang tidak tercela. Bahkan
disebut sebagai the absence of colour. Dengan alasan ini, manusia
keturunan Kaukasia menganggap dirinya sebagai bangsa terpilih dan
mengganggap ras lain dengan kulit "berwarna", terutama bangsa
berkulit hitam atau gelap sebagai subhuman, alias belum manusia dan
masih setengah binatang. Di lain pihak, setan, lawan dari Tuhan, selalu
digambarkan berada di kegelapan, tidak ada cahaya. Namun, lebih parah
lagi, "nalar" ini dijadikan alasan bagi mereka untuk melakukan
penindasan.

Fisika Modern mematahkan pandangan-pandangan sempit seperti ini. Apa
yang menjadi tujuan dari setiap agama untuk mempersatukan umat, selama
ribuan tahun justru menjadi sumber perpecahan. Dengan segala kelemahan
dan ketidakpastiannya, Fisika Kuantum mampu meruntuhkan sekat-sekat
pemisah.

Cahaya warna putih sebenarnya adalah gabungan dari seluruh spektrum
warna. Putih bukanlah kekosongan seperti yang didengungkan selama
berabad-abad. Warna hitam adalah warna kekosongan. Ternyata suatu
penelitian menunjukkan bahwa pemisahan terang dan gelap tidaklah sejelas
kertas hitam dan putih. Suatu eksperimen, yang dapat anda lakukan
sendiri di rumah, membuktikan bahwa cahaya tidak seperti yang kita duga
sebelumnya.

Ambillah sebuah kotak panjang yang tertutup. Lalu di ujung kirinya
diberi sumber cahaya (lampu senter) yang mengarah ke arah ujung kanan.
Di ujung kanan kotak diberi kaca sehingga sinar lampu senter dapat
keluar dari kotak tersebut. Di atas kotak dibuat lubang intip. Percobaan
ini dilakukan dalam ruangan yang gelap. Hasilnya cahaya lampu senter
keluar dari ujung kanan melalui kaca dan menerangi sisi kanan kotak.
Tetapi, melalui lubang intip di atas kotak, tidak terlihat cahaya apa
pun. Yang terlihat hanyalah kegelapan.

Kesimpulannya, cahaya tidak terlihat dan hanya bisa dilihat ketika
cahaya – yang merupakan partikel – bertumpukan dengan suatu
materi. Manusia dapat melihat cahaya matahari berwarna terang karena ada
partikel/materi debu yang melingkupi seluruh muka bumi. Sementara di
luar angkasa, cahaya matahari tidak menerangi seluruh tata surya, tetapi
hanya heavenly bodies, benda-benda angkasa yang terlihat.

Pada mulanya yang ada hanyalah kegelapan abadi. Ketika, menurut
agama-agama, Tuhan belum menciptakan apa pun, Tuhan pun berada dalam
kegelapan. Karena Tuhan meliputi segala sesuatu, maka Tuhan adalah
kegelapan. Pada saat tercipta alam semesta yang disebabkan dentuman
besar, maka energi berubah menjadi materi, dan muncullah partikel cahaya
yang disebut photon. Photon ini tidak kelihatan dan ketika bertumbukan
dengan materi lain, maka materi tersebut berpendar dan cahaya pun
terlihat. Dapat disimpulkan bahwa cahaya lahir dari kegelapan karena
cahaya sebenarnya adalah ilusi mata.

Dengan sekian banyak penemuan-penemuan yang terjadi semakin kelihatan
bahwa Sains mulai menuju kepada the inner working of the universe. Sains
tidak berpretensi untuk mengetahui dan memahami jalan pikiran Tuhan,
karena otak manusia memang tidak akan mampu mencerna Keberadaan Tuhan.
Patut diingat bahwa Sains melalui Fisika Kuantum mempelajari fakta-fakta
melalui probabilitas peristiwa, bukan mengejar kebenaran. Jika kebenaran
yang dikejar, maka yang dipakai adalah pendekatan filsafat.

Tetapi, di tengah kedua hal ini, ada jembatan yang disebut meditasi atau
Chan dalam bahasa Cina atau Zen dalam bahasa Jepang atau Dhyana dalam
bahasa Sansekerta atau Dien dalam bahasa Arab. Meditasi adalah State of
Being. Suatu kondisi untuk memilih "Jalan" secara sadar dan
aktif dari sekian banyak probabilitas yang diberikan oleh alam semesta
sehingga dapat bertemu "secara langsung" dengan Sang Keberadaan
itu sendiri, dengan Tuhan.


*) Tulisan ini diunggah dari buku berjudul "Sains dan
Spiritualitas", terbitan PT One Earth Media, 2006, karya Roy B.
Efferin -- seorang yang menekuni dunia Sains, Spiritualitas, dan Aikido.

Untuk berkenalan lebih jauh dengan penulis dapat melihatnya di:
http://www.facebook.com/profile.php?id=800333097
<http://www.facebook.com/profile.php?id=800333097>

Reply via email to