1
Di akhir perang Kurusetra, Ashvatama, putra Druna, bertekad akan
membalas kematian ayahnya: "Seluruh keluarga Pandava kini harus
mati, tak akan sudi kutinggalkan dunia, hingga terbalas penderitaan
Kurava!" Ribuan tahun pun berlalu, roda karma berputar mengikuti
nafsu. Seluruh siklus kebencian itu telah mewariskan medan perang yang
baru. Hingga suatu ketika, dalam pembuangan bersama pamannya, di tengah
gurun tak bernama, mendadak ia terjaga...

2
Pak Abu, petani jagung di ujung kampung, tinggal di gubuk bambu. 30
tahun ia hidup menyepi. Anak dan istri telah lama mati, dikuburnya
sendiri di puncak gunung. Kini tak ada lagi yang musti ia cari, tak ada
lagi yang musti ia tangisi. Hanya ini: setiap pagi, bergegas ia menatap
matahari terbit di atas kuburan anak dan istri.

3
Turah, pemuda tanggung putus sekolah, tinggal di desa dengan abah yang
tak pernah sekolah. Emaknya – juga tak pernah sekolah – kata
orang: sudah lama dicerai saat ia masih orok merah. Suatu hari, ia nekat
pergi ke Jakarta, bantu emaknya jualan soto. Sebulan kemudian, mayat
Turah dikirim pulang. Kata orang: ia mati ditujah karena menang adu
panco.

4
Joni Subadra, 17 tahun umurnya, asli lanang Sumatera, anak mantan
pejuang 45, bercita-cita hendak jadi tentara. Tetapi, sayang, bapaknya
tak punya dana untuk membuatnya lulus ujian negara. Syahdan, suatu pagi,
bangkainya ditemukan mengambang di tepi kali. Menurut keterangan dari
beberapa saksi (yang tak mau disebutkan namanya), ia memang sengaja
ditembak mati setelah mencoba membegal motor polisi.

5
Harun, banci kecil umur 9 tahun, setiap hari ikut kakaknya ngamen di bus
kota. Orang tuanya telah tiada. Rumah pun tak punya. Suatu malam,
menjelang tidur – di bawah lapak pedagang kaki lima – ia nekat
bertanya: "Kakak, kapan kita pulang ke Jawa?" Sontak dijawab
kakaknya: "Nanti, kalau kita sudah kaya!" Suatu malam, menjelang
tidur, mereka dirampok segerombolan preman. Gitar kakaknya dirampas.
Uang sepuluh ribu hasil ngamen sejak pagi juga ikut ludas. Saat kakaknya
lari terbirit-birit, Harun cuma sanggup menjerit. Pagi esoknya, mayat
Harun ditemukan telanjang di tumpukan sampah, dari duburnya tercium amis
darah.

6
Sutrisno, umur 29, supir taksi omprengan, dari pagi sampai malam ngebut
ngejar setoran. Kalau capek badan, ia malah ngendon ke pelacuran. Sambil
terhuyung mabok anggur murahan, ia pun sering teriak sendirian:
"Hidup ini cuma penikmatan!" Lantas, suatu siang, mobilnya
tabrakan. Sebelum mati, ia sempat bilang: "Tuhan…."

7
"Hidupmu tinggal sebulan lagi," begitu ia divonis mati oleh
seorang dokter ahli. Karena takut mati, ia pun pergi ke lereng Himalaya.
Di sebuah kuil Buddha, ia disambut seorang Lama: "Selamat datang,
hai anak muda, di sinilah tempat yang tepat buat mati!" Dan ia
belajar meditasi. Ia belajar mengenali diri. Ia belajar memahami rasa
takutnya sendiri. Dan ajaib, setelah dua minggu, ia pun sembuh tanpa
pengobatan tubuh. Bertahun kemudian ia telah jadi Guru Kehidupan. Kepada
setiap pencari, ia selalu berkata: "Jangan takut, Kawan, sambutlah
kematian dengan senyuman."

Ahmad Yulden Erwin's Notes

Reply via email to