Merenungkan Sejarah Alquran

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap
dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat
Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci
yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum
Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah
tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan
semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi
kebebasan.

Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran dan sekaligus merupakan bulan
puji-pujian terhadap kitab suci ini. Tanggal 17 Ramadhan dianggap
sebagai puncak dari ritual pengagung-agungan terhadap Alquran, karena
pada tanggal inilah Alquran diyakini diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad. Di bulan yang suci ini, saya ingin merenungkan sejarah Alquran
yang panjang, yang berproses, yang berjuang dengan berbagai tantangan
zaman, hingga menjadi wujud dalam bentuknya yang kita kenal sekarang.

* * *
Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama
hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya
(ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat
dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih
dari seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama
sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan
sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai
nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan,
pertentangan, intrik, dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah
sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan
pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern
dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu,
Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik
penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran
menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan
beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar
bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya
standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa
Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh
keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat
beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena
upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan
pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir
itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan
oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur
kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan
standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan
menjadi bagian dari proyek-- penguasa politik. Alasannya sederhana,
sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak
akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang
besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan
ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal
yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci.
Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan
memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan
miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi
membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan
perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar
(khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni
versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud
(entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh
mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan
seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat)
yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu
sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga
zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak
beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah,
dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi
Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini
muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat
dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa
itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau
kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu
standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan "Mushaf
Uthmani," pada masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan
ratusan-- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa
sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama
lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat
dan surah.

Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf
Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan
menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn
Mas'ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun
berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah
surah al-An'am, tapi surah Yunus.

Ibn Mas'ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah
sebagai bagian dari Alqur'an. Sahabat lain yang menganggap surah
"penting" itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi
Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini
memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan
bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan "kata pengantar"
saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai
bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama
lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah
hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an.
Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal
Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: "siapa saja yang tidak
memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah]
maka pekerjaannya menjadi sia-sia."

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat
dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin
al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: "pada
masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan
kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat]."
Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka'b, sahabat Nabi yang
lain, yang di dalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam
mushaf Uthman, yakni surah al-Khal' dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan
agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan
dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan,
tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk
buku-buku `ulum al-Qur'an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang
isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn
Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar
dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka
atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak
dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan
yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian
bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan
ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya
mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf
sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks
tertulis).

Sejarah penulisan Alqur'an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H),
al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi
Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H)
sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam
karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf
al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi
dan 11 mushaf para pengikut (tabi'in) sahabat Nabi.

Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa
mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak
sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak
pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk
kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang
otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya
varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu
umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan
kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah
kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan
harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari') dari
kata a-l-m bisa dibaca yu'allimu, tu'allimu, atau nu'allimu
atau juga menjadi na'lamu, ta'lamu atau bi'ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan
bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn
Mas'ud berulangkali menggunakan kata "arsyidna" ketimbang
"ihdina" (keduanya berarti "tunjuki kami") yang biasa
didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, "man" sebagai ganti
"alladhi" (keduanya berarti "siapa"). Daftar ini bisa
diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti
"al-talaq" menjadi "al-sarah" (Ibn Abbas),
"fas'au" menjadi "famdhu" (Ibn Mas'ud),
"linuhyiya" menjadi "linunsyira" (Talhah), dan
sebagainya.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322
H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah,
memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah
membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid
memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi
(Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim,
Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan
hadis Nabi yang mengatakan bahwa "Alquran diturunkan dalam tujuh
huruf."

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah
semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih
sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang
sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn
Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena
adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn
Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah
membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang
kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10
atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah
satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan
kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu,
varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat
dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya
sangat terbatas.

***

Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya
paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif,
merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui
secara bebas. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan
sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak
menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru.

Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi "Alquran diturunkan dalam
tujuh huruf" dengan cara menafsirkan "huruf" sebagai bahasa,
dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak
menjelaskan apa-apa. Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim
modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa
para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam
Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru
mengaburkan.

Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi),
lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja
untuk menunjukkan "banyak," ini lebih parah lagi, karena
menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda
kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa)
merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak
terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab,
karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam
yang sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah
hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada
Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma'nan)? Seperti saya
katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang
diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses
panjang pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah
yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses
"copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan,
qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada
dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum
Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.

Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada
masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim
untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang
mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan
seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci--
selalu bersifat "repressive, violent, and authoritarian."
Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.

Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan
menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran
yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat
pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan
melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.

Oleh Luthfi Assyaukanie

Reply via email to