Muhammad Amin's NotesOrkestra Semesta Raya

Begitu meninggal, Habib Kiai Haji Ahmad Sirazy langsung membayangkan
surga di depannya. Surga yang penuh kenikmatan, dengan 72 bidadari yang
selalu perawan, dan juga sungai-sungai jernih yang mengalir.

Jumlah kebaikannya di dunia sudah tidak bisa dihitung lagi, sudah
berpuluh masjid didirikannya, sudah beratus orang ditolongnya,
berjuta-juta rupiah dikeluarkan atas namanya. Namanya harum, ketika dia
mati, ribuan orang melayat dan menangis. Koran-koran diisi mengenai
kabar kematiannya, dan juga menyatakan jasa apa yang telah dilakukannya
selama hidup.

Kebahagiaan tiada tara untuk menyambut kebahagiaan baru di akhirat yang
abadi itu. Sudah siaplah dia menyambut dan bertemu dengan
pahlawan-pahlawan Islam di surga. Menikmati hasil jerih payah selama di
bumi.

Di pintu masuk akhirat, tak terhitung jumlahnya yang mengantri untuk
masuk akhirat. Habib mengumpat-umpat, makhluk yang antri jelek-jeleknya
minta ampun. Ada yang berlendir, berkaki tiga, terus bermata tujuh. Ada
yang baunya minta ampun, rambutnya seperti kelabang kelayapan, pendek
seperti cebol. Ada yang berwajah seperti kepiting, berkaki satu,
jalannya melompat-lompat. Semua jenis ada di antrian itu, Habib sampai
muntah-muntah dibuatnya. Celakanya lagi, semua harus antri untuk masuk
akhirat. Tambah celaka lagi, karena banyaknya yang antri, semua harus
berdesak-desakan, sehingga tak ayal lagi, saling sentuh sama lain, ada
yang saling dorong, dan sebagainya.

Selain panas, suasana juga tidak enak di antrian itu. Karena bentuk yang
berbeda-beda, komunikasi pun jadi susah. Habib menjadi semakin sewot.

`Demi Allah, kalian akan mendapat laknat tidak melayaniku
secepatnya.'

Habib sambil mengacungkan tangan meminta didahulukan daripada
makhluk-makhluk jelek yang juga sedang antri.

`Itu yang teriak-teriak disana, coba dihadapkan kemari dulu.'

Tiba-tiba terdengar keras suara dari resepsionis akhirat. Habib tahu
panggilan itu untuknya, karena memang hanya dia yang teriak-teriak. Dia
langsung dengan bersemangat dan senyum penuh kemenangan maju ke
resepsionis.

`Allahu Akbar. Demi Allah…'

Sebelum Habib selesai berbicara, resepsionis akhirat menyela.

`Maaf, demi siapa..?'

Resepsionis akhirat memasang telinga lebar-lebar.

`Demi Allah, Tuhan semesta Alam. Aku adalah Profesor Doktor Habib
Kiai Haji Ahmad Sirazy, Sarjana Hukum. Aku masih keturunan Nabi Akhir
Zaman, Muhammad. `

`So what..?. Maaf, tidak pernah mendengar semua itu. Allah, siapa
lagi itu. Ok, karena namamu panjang aku panggil saja Pak Doktor
Habib..'

Sebelum resepsionis itu selesai berbicara, Habib menyela juga …

`Panggil saja Pak Kiai lebih cepet dan gampang.'

`OK, Pak Kiai. Di tempat anda dulu pasti tidak ada budaya antri,
tapi tak apalah khusus untuk Anda akan kukecualikan. Pak Kiai mau
apa..?'

`Aku sudah berbuat baik selama di dunia, aku ingin dimasukkan
surga.'

`Sebentar dulu, anda berasal dari mana…?'

`Aku berasal dari Jakarta, Indonesia. Itu letaknya di bumi'

Resepsionis akhirat menggelengkan kepala, semakin bingung dimana pula
Jakarta Indonesia itu.

`Oke, begini Pak Kiai, daripada sama-sama bingung. Pak Kiai tunggu
di kursi sebelah sana itu, anak buah saya akan mencari data Pak
Kiai.'

Dengan bersungut-sungut Pak Kiai akhirnya menurutinya. Setelah sekian
lama akhirnya Pak Kiai dipanggil lagi.

`Aduh maaf Pak Kiai, yang anda namakan Jakarta Indonesia itu tidak
kami temukan, bumi juga tidak kami temukan dalam database kami. Karena
saya mengira bahwa bumi adalah planet yang amat sangat kecil
sekali.'

Pak Kiai segera mencak-mencak gak karuan.

` Dasar kurang ajar, begini kalau bumi kurang besar, jangan-jangan
matahari kurang besar, tata surya juga kurang besar, kalau tidak salah
ingat, galaksi yang kutinggali bernama Bima Sakti, begitu yang dibilang
cucuku dulu.'

`Pak Kiai, mohon bersabar, galaksi di semesta ini ada lebih dari 100
milyar, tidak dengan gampang mencarinya. Mohon sekali lagi
bersabar.'

Resepsionis akhirat segera memerintahkan asistennya untuk mencari
galaksi bima sakti. Pak Kiai kembali ke tempat duduknya semula. Tapi
lama sekali Pak Kiai menunggu, rasanya tidak pula galaksi Bima Sakti
ditemukan. Tapi tiba-tiba asisten resepsionis itu berjingkat, dan
langsung berlari ke depan, terus berbisik kepada bosnya.

` Bos, aku ada ide, Pak Kiai brengsek itu sudah dikasih duluan,
berulah lagi, biar dia saja yang cari sendiri.'

Resepsionis akhirat mengangguk-angguk. Pak Kiai lalu dipanggil lagi.

`Pak Kiai, kami mohon maaf, kami tidak pula bisa menemukan BIma
Sakti. `

`Lho, piye iki…?, koq bisa-bisanya Anda menyepelekan saya. Saya
ini beragama Islam, Rasul saya Muhammad, Tuhan saya Allah.'

`Maaf Pak Kiai, Islam saya juga tidak pernah mendengar, apalagi
Muhammad ataupun Allah.'

Pak Kiai marah-marah, karena bukan hanya saja dia tidak dianggap
siapa-siapa di situ, bahkan bumi pun tidak tercatat di database akhirat.
Bahkan Islam yang selama hidupnya menjadi warna sehari-haripun tidak
dikenal.

` Kalau Pak Kiai tidak berkeberatan, saya masih banyak klien yang
lain, mohon beri waktu juga bagi mereka. Kalau Pak Kiai mau, silahkan di
belakang ruangan ini ada super komputer yang mungkin bisa membantu Pak
Kiai menemukan dimana letak bumi itu.

`Baik, karena ketidaksopanan Anda, saya akan menerima hinaan Anda
itu dengan mencari bumi, masak bumi segedhe itu tidak ada dalam catatan
kalian. Saya tidak akan balik sebelum saya menemukannya.'

Pak Kiai segera bergegas menuju ruangan belakang, dan langsung duduk di
depan super komputer itu.

Hari demi hari, bulan demi bulan, hampir setahun Pak Kiai duduk di depan
komputer itu, mau menyerah malu, tapi tidak menyerah kesabaran Pak Kiai
rasanya sudah habis. Petanya alam semesta saja bertahun-tahun tidak
selesai dijelajahi, apalagi yang aslinya. Pak Kiai bergumam
terkagum-kagum.

`Indah sekali ya alam semesta ini, tapi juga sangat besar sekali,
menghitung galaksi saja aku sudah tidak sanggup, apalagi menghitung
matahari, apalagi menghitung planet-planet. Baru menghitung, belum pula
mempelajari. Orkestra Semesta Raya yang menakjubkan. Mana pula surga
yang dijanjikan Allah kepadaku. `

Tepat sehari sebelum masa setahun Pak Kiai duduk mencari di depan super
komputer itu, akhirnya dia menyerah. Diapun kembali ke resepsionis
akhirat.

`Maaf Mas, saya nyerah deh. Saya tidak menemukan bumi dalam peta
semesta di komputer itu. Saya harus bagaimana sekarang…?'

Pak Kiai dengan terbata-bata seakan memohon untuk dimasukkan surga.
Resepsionis akhirat pun memang kasihan sama Pak Kiai.

`Begini Pak Kiai, karena Anda tidak punya identitas, saya tidak bisa
memasukkan Anda, baik ke neraka ataupun ke surga. Tapi begini saja, Pak
Kiai setahun menjadi tukang pel di ruang resepsi akhirat ini, setelah
setahun saya melihat kelakuan baik ataupun buruk Pak Kiai, saya baru
bisa memasukkan Pak Kiai ke surga ataupun neraka, tapi harus diingat di
surga pun, paling tinggi pangkat Pak Kiai jadi tukang kebun.'

Mata Pak Kiai terbelalak, dan kemudian pingsan. Di dalam pingsannya, dia
melihat cucu kesayangannya mendirikan partai politik di bumi untuk
menegakkan khilafat Islam.

Kirim email ke