Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan akhlaq, 
meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan 
nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang 
bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual (spiritualisme), karakter 
perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. Semua 
substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal - Iman 
dan Ilmu. Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu. 

one liner Seri 399
insya-Allah akan diposting hingga no.800 
no.terakhir 928
*******************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
399. Wasilah dan Paradigma Ilmu

Wasilah berarti perantara. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ada yang 
menyembah berhala, namun ada pula yang tidak menyembah berhala melainkan 
menjadikan berhala itu sebagai wasilah dalam menyembah Allah. Masyarakat Arab 
pra-Islam sudah mengenal Allah, buktinya ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama 
Abdullah yang berarti hamba Allah. Pengenalan kepada Allah ini bersumber dari 
Nabi Isma'il AS, nenek moyang bangsa Arab. Hal berhala yang dijadikan wasilah 
ini disindir dalam Al Quran: 
-- AWLaK ALDZYN YD'AWN YBTGHWN ALY RBHM ALWSYLT (S. BNY ASRAaYL, 57), dibaca: 
Ula-ikal ladzi-na yad'u-na yabtaghu-na ila- rabbihim wasilah (S. Bani- 
Isra-i-l), artinya: 
-- Mereka yang berdoa mencari wasilah kepada Tuhan mereka. 

Biasanya pula ada yang menjadikan alim-ulama yang telah wafat sebagai wasilah 
untuk berkomunikasi dengan Allah, tidak terkecuali di Indonesia, khususnya di 
tanah Makassar ini. Masyarakat Sulawesi Selatan dan dari daerah-daerah lain 
banyak yang datang menziarahi makam Allahu yarham Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka, 
seorang ulama besar, menulis banyak buku, mujahid (pejuang) kemerdekaan 
berkaliber internasional, yang berjihad bergerilya melawan Belanda di Banten 
dan Ceribon, tetap berjuang di Ceylon dan di Tanjung Pengharapan, yang diangkat 
menjadi Pahlawan Nasional Afrika Selatan kemudian secara terlambat sekali 
disusul oleh Pemerintah Republik Indonesia yang mengangkatnya pula menjadi 
Pahlawan Nasional Indonesia. Diantara para peziarah ke makam itu tidak kurang 
yang menjadikan Syaikh Yusuf sebagai wasilah kepada Allah.

Di Indonesia ini dalam bidang politik ekonomi wasilah inipun dipraktekkan juga. 
Sepatu yang diproduksi di tanah Pasundan dikirim dahulu ke Sungapura, lalu 
dicap di sana: made in Singapore, kemudian dimasukkan lagi di Indonesia barulah 
konsumen di Indonesia tergiur membelinya. Dalam hal ini Singapura dijadikan 
wasilah. Rencana pemerintah membuka hubungan dagang dengan Israel, karena ingin 
menjadikan Israel sebagai wasilah untuk menarik minat inverstor asing. Dengan 
menjadikan bangsa asing (baca: Singapura dan Israel) sebagai wasilah dalam 
bidang politik ekonomi menunjukkan kebanyakan dari masyarakat kita masih 
bermental jajahan yang disebut kompleks rendah diri (inferiority complex). 
Apakah dengan menyewa lembaga asing PwC yang upahnya cukup tinggi (ini juga 
dari uang rakyat) disebabkan pula oleh mental jajahan tersebut, ini perlu 
direnungkan baik-baik!

                                   ***

Fuad Rumi menanggapi tulisan saya dalam kolom ini Seri 397 tentang Isra-Mi'raj, 
tatkala bertemu di Ruang Tunggu Rektor UMI beberapa hari yang lalu. Ia tidak 
dapat menerima seluruhnya bahwa peristiwa Isra-Mi'raj tidak dapat didekati 
secara ilmiyah. Dalam Seri 397 itu saya mengemukakan bahwa orang tidak dapat 
melakukan pendekatan ilmiyah terhadap Isra-Mi'raj.

Ilmu berasal dari akar kata yang dibentuk oleh 'ain, lam, mim artinya tahu. 
Dalam bahasa Indonesia dibedakan antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu adalah 
hasil olahan dari sumber informasi, sedangkan pengetahuan hanya sekadar endapan 
dari sumber informasi tanpa olahan. Olahan adalah sebuah proses dalam qalbu 
manusia. Ada tiga sektor dalam qalbu yaitu shudr, fuad dan hawa. Sumber 
informasi yang diolah oleh shudr hasilnya disebut ilmu tasawuf, sumber 
informasi yang diolah oleh fuad disebut ilmu pengetahuan (science) dan ilmu 
filsafat, sedangkan sumber informasi yang diolah oleh hawa disebut naluri 
(instinct). Yang terakhir ini dimiliki juga oleh binatang.
 
Ketiga komponen dalam qalbu manusia itu untuk setiap orang berbeda-beda 
kecerdasannya. Kecerdasan emosi dari shudr diukur dalam emotional quotient 
(EQ), dan kecerdasan berpikir dari fuad diukur dalam intelligence quotient 
(IQ). Sedangkan kecerdasan naluri (instinct) sepanjang pengetahuan saya belum 
pernah diukur sehingga belum ada yang disebut instinct quotient.

Dalam diskusi kecil-kecilan itu saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa memang ada 
kekurangan dalam uraian saya itu mengenai peristilahan ilmiyah. Sesungguhnya 
semua istilah ilmiyah yang saya tuliskan dalam bahasan itu seharusnya dibaca 
ilmiyah sekuler. Bahwa makhluk yang bernama sekuler itu bukan hanya terdapat 
dalam lapangan politik praktis belaka, melainkan terdapat dalam segala bidang 
yang memisahkan antara wahyu dengan akal serta iman dengan ilmu, alias 
dikhotomi antara dunia dengan akhirat. Ilmu sekuler (dari secula artinya dunia) 
bertumpu di atas paradigma filsafat positivisme, yaitu filsafat yang tanpa 
sadar diakui ataupun diterima oleh masyarakat ilmuan muslim untuk kelanjutan 
aktivitas keilmuan mereka. Positivisme adalah sistem filsafat yang hanya 
mengakui fakta-fakta dan fenomena yang positif, yaitu yang dapat dideteksi oleh 
pancaindera baik secara langsung maupun tak langsung melalui pertolongan 
instrumen dalam laboratorium. Dengan demikian ilmu sekuler hanya menerima 
sumber informasi dari dunia atau alam syahadah.

Saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa peristiwa Isra-Mi'raj dapat saja didekati 
secara ilmiyah apabila paradigma ilmu itu diubah, bukan lagi bertumpu di atas 
filsafat positivisme yang hanya mengenal satu jenis sumber informasi. Paket 
ayat yang mula-mula diturunkan dimulai dengan: 
-- AQRA BASM RBK (S. AL'ALQ, 1), dibaca: Iqra' bismi rabbik (S. al'alaq), 
artinya: 
-- Bacalah atas nama Maha Pengaturmu (S. Segumpal darah, 96:1).

Yang dibaca itu adalah sumber informasi berupa ayat, yang terdiri atas ayat 
qawliyah (verbal), yaitu Kitab Suci Al Quran dan ayat kawniyah (kosmologis), 
yaitu alam syahadah (physical world). Alhasil dengan mengubah tumpuan ilmu dari 
paradigma filsafat positivisme menjadi paradigma S. Al 'Alaq, ayat 1, maka 
peristiwa Isra-Mi'raj dapatlah didekati secara ilmiyah. Walla-hu a'lamu 
bishshawa-b. 

*** Makassar, 21 November 1999
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1999/11/399-wasilah-dan-paradigma-ilmu.html

Kirim email ke