Message of Monday – Senin, 16 Januari 2012
Costa Concordia, Titanic, dan Batu Nisan
Oleh: Sonny Wibisono *

"Ketika aku masih muda, bebas, dan imajinasiku tanpa batas, aku bermimpi untuk 
mengubah dunia. Saat aku tumbuh dewasa dan semakin bijak, aku sadari betapa 
sulit untuk mengubah dunia ini, lalu aku putuskan untuk mengubah negaraku. Tapi 
sama saja, aku juga tak dapat mengubahnya. Ketika usiaku semakin senja, dalam 
satu upaya terakhirku, aku berusaha untuk mengubah keluargaku, orang-orang 
terdekatku, tapi akupun tak dapat mengubahnya. Dan sekarang saat aku terbaring 
diranjang dan menyadari mungkin untuk pertama kalinya, bahwa kalau aku dapat 
mengubah diriku sendiri, kemudian dengan contoh perubahan dari diriku dapat 
mempengaruhi perubahan dikeluargaku, dan dengan dorongan dan dukungan mereka 
mungkin dapat membuat negaraku lebih baik, dan siapa tahu, aku juga dapat 
mengubah dunia ini."
-- Tertulis di batu nisan seorang Uskup Anglikan dalam ruang bawah tanah di 
Westminster Abbey, London

KEMAJUAN teknologi tak menjamin kejadian buruk bakal tidak terulang kembali. 
Bila manusia menjadi faktor penentu paling akhir dalam segala hal, maka sebaik 
dan secanggih apapun teknologi menjadi tak ada artinya. 

Kapal pesiar Costa Concordia pada hari Jumat (13/1) lalu, menabrak karang di 
dekat Pulau Isola del Giglio, sekitar 140 kilometer sebelah barat laut Roma, 
Italia. Musibah ini menyebabkan sedikitnya enam orang tewas dan lebih dari 
selusin dinyatakan hilang. Dalam penyelidikan sementara, pihak berwenang Italia 
menyatakan kapal berlayar terlalu dekat dengan daratan dan melenceng dari 
jalurnya karena sang kapten ingin menyapa seorang temannya di pinggir pantai. 

Costa Concordia dinegaranya dijuluki sebagai 'Titanic versi Italia'. Kejadian 
ini kembali  mengingatkan musibah yang terjadi atas tenggelamnya kapal mewah 
terbesar Titanic pada 1912. Bencana tenggelamnya Titanic mengakibatkan kematian 
lebih dari 1.500 jiwa. Dalam pelayarannya dari Southampton, Inggris menuju New 
York, Amerika Serikat, saat berada di Newfoundland, Titanic menabrak gunung es. 
Musibah ini dikenal sebagai bencana laut terburuk dalam sejarah yang pernah 
ada. Padahal saat itu Titanic dilengkapi dengan teknologi paling maju pada 
zamannya dan sebagian orang percaya bahwa Titanic `tidak mungkin tenggelam'. 
Toh, Titanic karam pula akhirnya. Jumlah kematian yang cukup besar saat itu 
mengagetkan banyak pihak, mengingat selain dilengkapi teknologi yang maju, 
Titanic diawaki pula petugas berpengalaman.

Kini, satu abad setelah Titanic tenggelam, kejadian yang hampir sama terulang 
kembali. Titanic dan Costa Concordia sama-sama menabrak benda mati dalam 
pelayarannya. Bila Titanic menabrak gunung es, Costa Concordia menabrak batu 
karang. Saat kapal pesiar Costa Concordia menabrak karang dan terguling di 
lepas pantai Italia, sekitar 4.000 penumpang kapal mewah itu sedang bersiap 
untuk santap malam pada Jumat waktu setempat. Sedangkan Titanic menabrak gunung 
es pada Minggu tengah malam. Dua jam setelah menabrak gunung es, Titanic 
tenggelam ke dasar lautan. Karena Costa Concordia berada dekat dengan daratan, 
maka proses evakuasi para penumpang dapat dilakukan dengan segera sehingga 
meminimalkan jatuhnya korban jiwa. Bandingkan dengan Titanic saat musibah 
terjadi berada di laut lepas pada tengah malam menjelang pagi. Dari sekitar 
2.200 lebih penumpang yang terdaftar, hanya sekitar 700 orang yang dapat 
diselamatkan, sisanya lebih dari 1.500 penumpang dinyatakan tewas.

Ukuran kedua kapal pesiar tersebut dapat dikatakan hampir sama. Bila panjang 
Titanic mencapai 269 meter dan lebar 28 meter, dengan berat mati 46 ribu ton, 
maka ukuran Costa Concordia hanya berselisih sedikit. Costa Concordia memiliki 
panjang 290 meter dan lebar 35 meter, dengan berat mati 51 ribu ton.

Tapi ada perbedaan mendasar mengenai bagaimana sang kapten menangani musibah 
ini. Costa Concordia dikendalikan oleh Kapten Francesco Schettino. Berusia 52 
tahun. Ia berkebangsaan Italia. Schettino ditahan oleh pihak berwajib setelah 
musibah terjadi. Sang kapten yang telah bekerja selama 11 tahun itu dituduh 
meninggalkan kapalnya sebelum seluruh penumpangnya dievakuasi. Seharusnya, 
ialah orang yang paling akhir menyelamatkan diri setelah semua penumpang 
dievakuasi. Beberapa penumpang yang selamat menumpahkan kemarahannya dengan 
menjuluki Schettino sebagai `Kapten Pecundang'.

Sedangkan Titanic dikendalikan oleh Kapten Edward John Smith. Ia berkebangsaan 
Inggris dan telah menjadi kapten selama 9 tahun. Smith berusia 62 tahun saat 
tewas dalam musibah ini. Tak ada yang tahu pasti bagaimana Smith meninggal. Ada 
banyak versi. Beberapa sumber mengatakan Smith berjalan menuju kemudi kapal 
sebelum tewas. Sementara yang lain mengatakan ia aktif di ruang radio 
memberitakan tenggelamnya Titanic ke dunia luar. Kisah lain menuturkan, 
saat-saat terakhir Smith masih sempat menggendong seorang anak kecil untuk 
diselamatkan. 

Untuk mengenang kematian Kapten Smith, di bawah patung memorial di Lichfield, 
Inggris terpahat tulisan: `Commander Edward John Smith, RD, RNR. Born January 
27 1850, Died April 15 1912, Bequeathing to his countrymen the memory and 
example of a great heart, a brave life and a heroic death. Be British.' Atau, 
`Komandan Edward John Smith, RD, RNR. Lahir 27 Januari 1850, wafat 15 April 
1912, mewariskan pada rakyat di negerinya, suatu kenangan dan contoh akan 
keteguhan hati, suatu keberanian hidup, dan kisah kematian yang heroik. Jadilah 
Inggris.' 

Schettino dan Smith, sama-sama menyandang kapten di kapal pesiar mewah. Tapi 
rupanya Schettino tak belajar dari Smith. Entah apa yang ditulis nantinya di 
makam Schettino bila ia telah tiada. Bagaimana dengan Anda. Apa yang Anda ingin 
orang lain tulis di batu nisan Anda? 

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday'



Reply via email to