bismi-lLahi-rRahmani-rRahiem

Itu makin membuktikan watak asli kyai GD dan JIL yg sebenarnya.Yaitu
konsisten melecehkan dan menginjak-injak umat islam, khususnya muslim
Indonesia.

Makanya sdh sejak sekian lama saya berlepas diri dari Kyai GD and the gang,
juga konsisten membela demi kebaikan dan kejayaan islam dan muslim;
menghadapi orang2 semacam itu.


-abu ubassy-


At 09:21 02/05/2006, you wrote:

>Ikhwah sekalian,
>
>Ketahuilah redaksional kata-kata Goes Doer tentang pelecehannya terhadap
>Al Qur'an yang disebut Kitab paling Porno sudah dirubah di situs ISLAMLIB
>(Islam Liberal) tapi di situs kristen belum dirubah. Sources link-nya ada
>di email di bawah ini.
>
>Hairan dah...?:)
>
>-----Original Message-----
>From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
>Behalf Of Wido Q Supraha
>Sent: Monday, May 01, 2006 6:44 PM
>To: [EMAIL PROTECTED]
>Cc: Sugito; Mustofa (Pusri); Wilda Bachtiar; Bambang wijanarko;
>[EMAIL PROTECTED]; Ismu Hasyim; Yanthie Y.; Wiwiek (Sayidati Alwiyah);
>[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
>Subject: [INSISTS] Re: Wawancara Gus Dur telah dirubah redaksinya di situs
>ISLAMLIB
>
>Berikut seharusnya link aslinya, sepertinya ISLAMLIB ketakutan didemo.
>
>http://islamlib.com/en/page.php?page=article&id=1028
>http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1028
>
>di situs GusDur .Net juga telah dirubah :
>
>http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=2462&Itemid=1
>
>Namun untungnya di situs kristiani belum berubah :
>http://www.ladangtuhan.com/forum/viewtopic.php?t=1442&start=0
>
>Saya sudah PRINT SCREEN BARUSAN :
>
>
>
>:)
>
>--wqs
>
>Wido Q Supraha wrote:
> >
> > Ada, tapi di situsnya sudah dirubah isinya juga fotonya.
> >
> > Berikut sebelum diupdate :
> >
> >
> > Senin, 10 April 2006
> >
> >
> >
> > KH. Abdurrahman Wahid:
> >
> > Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
> >
> >
> >
> > Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka
> > keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi
> > ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri
> > ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan
> > pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku
> > dalam beragama dan bernegara di negeri ini. Berikut petikan wawancara
> > M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang (JIL) dengan Gus Dur tentang
> > pelbagai persoalan mutakhir negeri ini pekan lalu.
> >
> >
> >
> > JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang Perda Tangerang
> > tentang pelacuran dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU
> > APP). Apa komentar Gus Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa
> > pandang bulu itu?
> >
> >
> >
> > KH. ABDURRAHMAN WAHID: Menurut saya, baik Perda Tangerang maupun RUU
> > APP yang kini diributkan, harus jelas dulu siapa yang merumuskan dan
> > menentukannya. Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur
> > itu?! Jangan- jangan, yang kita tuduh pelacur justru bukan pelacur.
> > Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum
> > menetapkan undang-undang. Pertama tentang siapa yang merumuskan. Dan
> > kedua tentang apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan pihak lain.
> > Contoh paling jelas adalah soal definisi pornografi. Ketika tidak
> > jelas ini dan itu pornonya, yang berhak menentukannya adalah Mahkamah
> > Agung.
> >
> >
> >
> > Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang mendera negara
> > kita yang lebih butuh penyelesaian, seperti persoalan ekonomi. Jadi
> > prioritas kita bukan membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu
> > pelacuran itu juga sangat terkait dengan soal ekonomi. Meski kita mau
> > bikin seribu peraturan, tapi tidak ada peningkatan taraf kehidupan,
> > pelacuran tidak akan pernah bisa tersentuh, boro-boro bisa
> > dihilangkan. Jika hal ini terjadi, maka aturan tidak akan berfungsi
> > apa-apa, kecuali untuk selalu dilanggar.
> >
> >
> >
> > JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan
> > otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana?
> >
> >
> >
> > Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik.
> > Seperti salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang
> > masih melandaskan diri pada undang-undang Napoleon dari Perancis,
> > walaupun negara-negara bagian lain menggunakan undang-undang Anglo-
> > Saxon. Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam undang-undang dasar
> > mereka di sana semenjak awal, bukan ditetapkan belakangan dan secara
> > serampangan. Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa
> > memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa
> > kacau.
> >
> >
> >
> > JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?
> >
> >
> >
> > Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan
> > aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang
> > sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi
> > sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal.
> > Sikap itu tidak benar.
> >
> >
> >
> > JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT,
> > Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka
> > masing-masing dengan alasan otonomi daerah?
> >
> >
> >
> > Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah
> > ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu
> > di tahun 1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy'ari,
> > sudah ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam
> > untuk menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan
> > (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek
> > saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam
> > masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan bikin
> > aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.
> >
> >
> >
> > JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah
> > perda-perda syariat, Indonesia akan "diarabkan". Apa Gus Dur setuju
> > dengan pendapat itu?
> >
> >
> >
> > Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini?
> > Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan
> > Islam dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab.
> > Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah
> > jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi
> > kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa
> > Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.
> >
> >
> >
> > JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh,
> > bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim?
> >
> >
> >
> > Ya itulah. Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau
> > bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan
> > ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita
> > jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita
> > ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita
> > usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya
> > itu- itu saja.
> >
> >
> >
> > JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap
> > sudah akrab dalam masyarakat kita?
> >
> >
> >
> > Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu
> > hingga  sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah
> > pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu.
> > Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap
> > cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga
> > matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok
> > pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan
> > suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan.
> > Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok
> > untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir
> > yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser.
> > Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu
> > adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.
> >
> >
> >
> > JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
> >
> >
> >
> > Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu`aththar (The Perfumed
> > Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya
> > tatacara bersetubuh  dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab
> >
> > itu cabul, dong? ha-ha-ha.   Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak
> >
> > semua kitab-kitab itu dibilang cabul?
> >
> > Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-
> > lagu Ummi Kultsum-penyanyi legendaris Mesir-bisa sambil teriak-
> >
> > teriak "Allah. Allah."   Padahal isi lagunya kadang ngajak orang
> >
> > minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali
> > menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai
> > dengan Islam serta tidak boleh dibaca.
> >
> >
> >
> > Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di
> > Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al- Attas
> > untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya
> > ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di
> > Universitas Islam Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut
> > karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam.
> > Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya
> > tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel
> > sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq),
> > yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh
> > sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu
> > bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah buku itu tidak
> > bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan
> > seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang
> > beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.
> >
> >
> >
> > JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP
> > ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab
> > suci yang porno?
> >
> >
> >
> > Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah
> > Alqur'an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Maksudnya?
> >
> >
> >
> > Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur'an itu ada ayat tentang menyusui
> > anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti
> > itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini.
> > Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha.
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan
> > karena itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?
> >
> >
> >
> > Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun
> > belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak
> > baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti
> > batasan minimal itu salah.  Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu
> >
> > adalah: menyamakan batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat.
> > Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut
> > aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang
> > sufi berbeda dengan ahli syara' tentang aurat, demikian juga dengan
> > cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi;
> > kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian.
> > ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan
> > buka-buka aurat, itu, he-he-he.
> >
> >
> >
> > Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu
> > tidak benar.  Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu
> > tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah. saya tiap pagi
> > selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu
> > bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya
> > langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh
> > karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya
> > sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok
> > makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi
> > cuma aspek seksualnya.
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB itu sudah
> > disahkan.  Bagaimana tanggapan Gus Dur terhadap revisi SKB itu?
> >
> >
> >
> > Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang saling
> > bertentangan. Di satu pihak, ada keinginan mencegah dampak kegiatan
> > beragama yang belum ada aturannya.  Karena itu, diperlukan persetujuan
> > dari berbagai pihak soal jumlahnya sekian-sekian (soal quota pengaju
> > pembangunan rumah ibadah, Red). Kedua, soal memberi hak kepada
> > siapapun untuk melakukan ibadah. Di sini terjadi persinggungan.
> >
> >
> >
> > Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada birokrasi. Selama ini,
> > saya menganggap birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan agama A
> > akan disetujui oleh birokrat yang beragama A saja. Kalau begini terus,
> > negara kita akan kacau-balau. Karena itu, sebelum menetapkan suatu
> > keputusan, isu-isu perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita tahu
> > sendirilah, Departemen Agama itu adalah departemen yang paling
> > brengsek. Hal lain, pemerintah tidak boleh campur terlalu banyak dalam
> > soal-soal agama, karena itu akan menggiring kita menjadi negara agama.
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal pendirian rumah
> > ibadah yang konon serampangan?
> >
> >
> >
> > Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit, bukan keadaan
> >
> > yang benar.   Memang ada saja orang yang semau-maunya membangun rumah
> >
> > ibadah. Hal itu sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu
> > mestinya bisa ditentukan dan dimediasi oleh kepala daerah masing-
> > masing, bukan oleh peraturan. Dan, peraturan yang sudah ada saja yang
> > dijalankan. Kalau ada pelanggaran aturan, bawa ke pengadilan. Jangan
> > diselesaian sendiri-sendiri. Kita ini hidup di negara hukum.
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa mirip SK Gubernur
> > Jawa Barat yang tidak adil dong, Gus?
> >
> >
> >
> > Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut. Jangan peraturannya
> > yang dikorbankan. Masak jadi gubernur kaya gitu?!
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid
> > dibom dan antar muslim saling berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-
> > muasal sejarah konflik Syiah-Sunni?
> >
> >
> >
> > Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara
> > politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa
> > penganiaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak
> > cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki
> > pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab
> > disebut syî`ah. Selanjutnya kata syî`ah ini menjadi sebutan dan
> > identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu
> > firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan
> > pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.
> >
> >
> >
> > Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan
> > atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari
> > itu, janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan
> > seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan
> > penindasan itu, dan mereka terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin
> > merebut kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam dipimpin oleh
> > pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti
> > Khalifah Yazid bin Mu'awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia
> > adalah melakukan pembantaian terhadap Husein bin Ali berserta keluarga
> > dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein adalah
> > cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib.
> >
> >
> >
> > Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya
> > Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah, penindasan terhadap kaum Syiah
> > berlangsung selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal
> > kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan
> > bawa-bawa agama dalam persoalan politik. Dan persoalan hubungan Syiah
> > dan Sunni di Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan
> > problem agama.
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?
> >
> >
> >
> > Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau
> > ini disepelekan, akan terjadi seperti yang kita saksikan saat ini.
> > Misalnya, kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan
> >
> > (politik) hanya ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga
> > menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak lain, ada
> > pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi, bahkan memusuhi,
> > karena dianggap berpotensi merebut kekuasaan.
> >
> >
> >
> > Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di
> > atas. Saya cukup menghormati keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU;
> > dua pendapat ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki
> > tradisi mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal
> > ketertundukan (the degree of obedience) politik. Apakah harus tunduk
> > secara politik pada keturunan Nabi itu menjadi kewajiban agama atau
> > tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan itu bagian dari agama
> > disebut Syiah, sementara yang menganggapnya sebagai persoalan
> > sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar
> > sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak.
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-
> > kelompok yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman,
> > intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding
> > melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya
> > bagaimana?
> >
> >
> >
> > Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam.
> > Tidak bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain
> > atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang.
> > Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan
> > itu soal batin manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi
> > lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlawâhir walLâh
> > yatawalla al-sarâ'ir  (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan
> > Allah saja yang berhak atas apa yang ada di batin orang, Red). Sejak
> > dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim
> > diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak
> > perlu dibela!
> >
> >
> >
> >
> >
> > JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat
> > atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?
> >
> >
> >
> > Begini ya. Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam
> > melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim
> > yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri.
> > Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual
> > agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama
> > Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak
> > benar itu!
> >
> >
> >
> > Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini.
> > Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono
> > (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul;
> > ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam.
> > Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini:
> > Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda.
> > Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh.
> > selesai, kan? Gitu aja repot. []
> >
> >
> > dan berikut yang telah mereka rubah :
> >
> > source : http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1036
> >
> > *KH Abdurrahman Wahid*
> > *Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
> > *10/04/2006
> >
> >
> >
> > Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka
> > keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi
> > ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri
> > ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan
> > pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku
> > dalam beragama dan bernegara di negeri ini.
> >
> > KH Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini, kembali
> > mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, dan
> > perilaku dalam beragama dan bernegara. Berikut wawancara M. Guntur
> > Romli dan Alif Nurlambang dengan Gus Dur di Radio Utan Kayu pekan lalu.
> >
> > Akhir-akhir ini ada polemik Perda Tangerang tentang pelacuran dan RUU
> > Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa komentar Anda?
> >
> > Perda Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus jelas dulu
> > siapa yang merumuskan dan menentukannya. Pelacuran memang dilarang
> > agama, tapi siapakah pelacur itu? Jangan-jangan, yang kita tuduh
> > pelacur justru bukan pelacur.
> >
> > Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum
> > menetapkan UU. Pertama, siapa yang merumuskan. Kedua, apakah dia
> > memiliki hak antara pelaksana dan pihak lain. Contoh paling jelas
> > adalah soal definisi pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu
> > pornonya, yang berhak menentukan adalah Mahkamah Agung.
> >
> > Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan
> > otonomi daerah. Menurut Anda bagaimana?
> >
> > Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik.
> > Seperti salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang
> > masih melandaskan diri pada UU Napoleon dari Prancis, walaupun
> > negara-negara bagian lain menggunakan UU Anglo-Saxon.
> >
> > Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam UUD mereka sejak awal, bukan
> > ditetapkan belakangan dan secara serampangan. Untuk Indonesia,
> > daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan peraturan
> > sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.
> >
> > Bagaimana kalau otonomi daerah juga mengatur persoalan agama?
> >
> > Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan melaksanakan
> > aturan, bukan kebebasan menetapkan UU. Pengertian otonomi daerah itu
> > bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di
> > mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.
> >
> > Apakah beberapa daerah yang mayoritas nonmuslim seperti NTT, Papua,
> > Bali, dan lain-lain dibolehkan menerapkan aturan agama mereka
> > masing-masing dengan alasan otonomi daerah?
> >
> > Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah
> > ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu
> > pada 1935, kakek saya dari ayah (almarhum KH Hasyim Asy'ari, Red)
> > sudah ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk
> > menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran
> > Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara.
> >
> > Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan
> > agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan
> > bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.
> >
> > Ada yang berpendapat dengan RUU APP dan sejumlah perda syariat,
> > Indonesia akan "diarabkan". Anda setuju?
> >
> > Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini?
> > Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan
> > Islam dengan Arab. Padahal, menurut saya, Islam itu berbeda dengan
> > Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah
> > jauh-jauh. Semua orang tahu pesantren itu lembaga Islam, tetapi kata
> > pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa
> > Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.
> >
> > Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana
> > nasib warga nonmuslim?
> >
> > Ya, itulah... Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia
> > kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan, pihak yang berhak menetapkan
> > aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus
> > kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai
> > kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau
> > kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut melulu sih...
> > Persoalannya itu-itu saja.
> >
> > Bagaimana barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab
> > dalam masyarakat kita?
> >
> > Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu
> > hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak erotisme itu, dibuatlah
> > pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu.
> > Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap
> > cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutup hingga
> > mata kaki.
> >
> > Sekarang standar moralitas sudah berubah. Memakai rok pendek bukan
> > cabul lagi. Karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau
> > standar untuk semua, itu sudah pemaksaan. Sikap ini harus ditolak.
> > Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak lain.
> >
> > Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja
> > perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi
> > sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu tarian
> > rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.
> >
> > Jadi, erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
> >
> > Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu'aththar (The Perfumed
> > Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya
> > tata cara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu
> > cabul, dong? ha-ha-ha...
> >
> > Juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab itu dibilang cabul?
> > Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin
> > lagu-lagu Ummi Kultsum -penyanyi legendaris Mesir- bisa sambil
> > teriak-teriak "Allah... Allah..." Padahal, isi lagunya kadang mengajak
> > orang minum arak, ha-ha-ha..
> >
> > Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap
> > sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak
> > boleh dibaca.
> >
> > Bagaimana soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu
> > orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?
> >
> > Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun,
> > belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak
> > baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah, bukan berarti
> > batasan minimal itu salah.
> >
> > Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah menyamakan batasan
> > maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara
> > pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu
> > dirumuskan dulu sebagai apa.
> >
> > Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara' tentang aurat.
> > Demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian
> > melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa
> > jadi pakaian... ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan
> > ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
> >
> > Bambang wijanarko wrote:
> >>
> >> Mas wido, denger2 ada berita ttg gusdur terkait dg al-qur'an,
> >> jelasnya saya blm tahu, Cuma denger2 aja, mugnkin mas wido tahu
> >> beritanya
> >>
> >> jzkmlh
> >>



Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Rek Beyond belief Islam online
Nation of islam Media


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke