"Kami Pasrah Sama Allah" sumber : eramuslim Bagi sebagian orang Jakarta, bencana banjir yang datang awal Februari lalu sudah terlupakan. Aktivitas perkantoran dan rumah tangga pun sudah berjalan seperti biasa. Jalan raya sudah mulai bersih. Kemacetan mulai kembali terlihat. Namun tidak demikian bagi Bapak Syafei (53) dan warga Bukit Duri Pangkalan, Jatinegara, Jakarta Timur. Bapak beranak delapan yang telah ditinggal isterinya setahun lalu sampai sekarang tidak bisa berbuat apa-apa. Selain penyakit herpes yang sudah diderita sebelum kebanjiran dan kini kian menyebar di kulit perutnya, Pak Syafei juga telah kehilangan tempat tinggalnya. Rumah yang lebih mirip gubuk seluas 6 meter persegi, yang hanya berdiri lima meter dari bibir Sungai Ciliwung, telah ambruk menimpa rumah di sebelahnya. Ketika Eramuslim berkunjung menemui Pak Syafei (12/2), aktivis Musholla Al-Hidayahsebuah musholla kecil di pinggir sungai dan sebelum banjir menjadi pusat kegiatan keIslaman warga sekitarnyatidak bisa bangun. Tubuhnya masih lemah. Sehari-hari ia hanya bisa tergolek di atas bilah papan yang dijadikan lantai rumah oleh anaknya dengan menahan sakit di perut. Beginilah saya ini Dik, tuturnya. Sebelum menderita sakit, lelaki asli Bukit Duri Pangkalan ini, sehari-hari berjalan kaki mengelilingi Jakarta menjajakan aneka celana hawai. Bapak biasa jalan hingga ke daerah Kota, ujarnya. Sekarang, ia hanya bisa berbaring di atas sehelai plastik tipis di lantai dua rumah salah satu anaknya yang juga terkena banjir. Istilah lantai dua sebenarnya terlalu keren mengingat hanya berupa bilah papan dengan luas tak sampai 9 meter persegi, itu pun dibagi menjadi tiga bilik dengan triplek bekas. Atapnya dari asbes, rendah, dan tanpa plafon. Belum dua menit Eramuslim duduk, keringat langsung mengucur membasahi pakaian. Gerah. Maaf ya Dik, di sini sempit dan gerah. Bapak tidak bisa apa-apa lagi, katanya dengan seulas senyum tipis yang tulus. Kalau malam, di sini gelap gulita. Sejak banjir Jumat lalu, listrik masih mati. Di ruangan yang sempit ini Bapak, anak-anak bapak, dan cucu-cucu, semuanya lebih dari sepuluh orang tidur. Ya, beginilah kita. Setelah banjir, untuk makan sehari-hari Bapak dan anak-anak bagaimana? tanya Eramuslim. Pak Syafei yang sejak muda senang menghadiri pengajian di berbagai masjid di Jakarta ini menjawab, Ya, kami hanya mengandalkan bantuan sembako itu. Sebuah kantong plastik berisi sekitar sepuluh bungkus mie instan tergolek di dekatnya. Bagi Pak Syafei, banjir kali ini luar biasa besarnya dibanding tahun-tahun lalu. Sungai mulai meluap Jumat lalu, warga di sini naik ke jembatan Bukit Duri Utara yang dekat sini. Biasanya air tidak pernah sampai menyentuh bawah jembatan. Tapi kemarin air jauh lebih tinggi, sampai sepinggang orang-orang yang ngungsi di atas jembatan. Saya sendiri tidak bisa ke mana-mana selain lari ke tingkat atas rumah anak saya ini. Air sudah sampai di anak tangga paling atas. Saya sendiri sudah pasrah sama Allah, paparnya. Ketika ditanya apakah Pak Syafei dan warga sekitarnya mau direlokasi ke rumah susun seperti yang sering dikatakan pejabat Pemprov DKI, Pak Syafei mengangguk, Kami mau saja pindah. Tapi itu (rumah susun) kan nggak gratis. Kami berat kalau harus bayar. Menurut pengakuannya, sampai saat ini belum ada satu pun pejabat pemerintah yang menjenguk warga sekitar. Di daerah itu hanya ada sedikit posko banjir yang berdiri, di antaranya Posko Pandu Keadilan yang dikoordinir oleh Rizki, seorang aktivis mahasiswa BSI yang juga mengelola sebuah rumah singgah di Jatinegara. Nasib serupa dialami Ibu Een Handayani (32). Ibu dari empat anak yang semuanya putus sekolah karena tidak punya biaya inisuaminya, Muhammad Ucok Sobari hanya bekerja sebagai tukang bor pompa panggilanmalah harus kehilangan rumahnya yang hanyut terbawa derasnya air Sungai Ciliwung. Sejak banjir Jumat lalu (2/2) hingga sekarang, Ibu Een dan empat anaknyaLapri (16), Rika (14), Asep (12), dan Reynaldi (6)tinggal di emperan Pos Polisi dekat jalan, sebuah pos kecil yang luasnya tidak lebih dari 25 meter persegi, bersama beberapa pengungsi lainnya. Kepada Eramuslim, ibu yang selalu mengenakan jilbab ini menyatakan keinginannya agar anak-anaknya bisa bersekolah lagi. Kalau ada dermawan sih saya terima kasih banget, tapi saya juga bingung, saya sudah nggak punya rumah lagi. Semua barang-barang hanyut nggak ada yang tersisa. Harta saya sekarang hanya anak-anak ini, ujarnya dengan mata yang basah menahan airmata melihat anak-anaknya yang tengah bermain di antar debu dan lumpur di pinggir jalan. Jika malam tiba, Ibu Een dan keempat anaknya tidur di emperan pos polisi atau di tempat mana saja yang bisa dijadikan tempat berbaring. Jika hujan, selain hawa dingin, mereka pun sering terkena tetesan air hujan. Yah, mau bagaimana lagi. Saya nggak bisa ngomong apa-apa, ujarnya. Siang itu, Eramuslim memang melihat banyak anak-anak dan ibu-ibu korban banjir di Bukit Duri yang berada di emperan pinggir jalan dan posko. Anak-anak bermain ke sana-kemari tanpa beban, sedang para ibu ada yang sedang duduk-duduk melihat anak-anak mereka dengan tatapan mata yang kosong, ada pula yang tengah bercerita dengan sesama pengungsi. Di antara mereka ada Ibu Itoh dengan anaknya, Tari Handayani (15), yang sedang duduk di depan Pos Polisi. Ibu Itoh yang rumahnya berdekatan dengan rumah Pak Syafei yang ambruk bercerita bahwa meski rumahnya masih berdiri tapi bagian belakangnya hancur terkena banjir. Anak saya ini sudah kelas II SMP At-Thahiriyyah. Harusnya dia sudah masuk sekolah. Tapi sekarang belum bisa, karena seragamnya semuanya hanyut, juga buku-bukunya. Tari yang duduk di samping ibunya dengan malu-malu bercerita, Saya biasanya pakai jilbab dan pakaian panjang. Kalau sekolah saya juga pakai seragam panjang. Tapi sekarang begini karena pada hanyut, ujarnya sambil menunduk. Saat Eramuslim mau pulang, mereka semua berpesan agar jika ada dermawan yang ingin memberi bantuan maka mereka lebih menyukai dalam bentuk uang. Kalau ada ya uang saja, dengan uang kita bisa beli apa-apa yang kita perlukan, buat bikin rumah baru, juga bisa buat modal usaha lagi, ujar Pak Syafei menatap langit biru lewat jendela rumah yang penuh lumpur. Entah apa yang ada di benaknya sekarang. Mudah-mudahan saja ada banyak dermawan yang membaca kisah ini dan tergerak hatinya untuk menolong sesama karena Allah semata. Amien. (Rz)
Yathie (Dalam seribu temen belum tentu wujud seorang sahabat, karena PERSAHABATAN itu memerlukan kejujuran yang merupakan kebahagiaan dalam kehidupan) --------------------------------- Sucker-punch spam with award-winning protection. Try the free Yahoo! Mail Beta. [Non-text portions of this message have been removed]