Republika
Koran  » Dialog  
 
Jumat, 16 Februari 2007
Dibalik Kesulitan Ada Kemudahan 

Dalam kehidupan manusia hidup selalu berubah. Merasakan beberapa fase yang 
pasti dilewati, kadang suka atau justru ditempa duka. Siklus ini merupakan 
sunnatullah yang telah digariskan Allah SWT. Gempa, tsunami, tanah longsor, 
atau banjir yang meluas di daerah Jakarta dan sekitarnya telah terangkum dalam 
rencana Allah yang digolongkan sebagai musibah. 

Ketua MUI Kota Bandung, KH Miftah Farid menyatakan, musibah akan datang kepada 
siapa saja, kapanpun dan dimanapun. Di segala waktu dan tempat yang disenangi 
maupun dalam kondisi yang dibenci manusia. “Musibah secara bahasa berarti 
sesuatu yang menimpa. Sedang secara terminologi yaitu penderitaan atau kerugian 
yang menimpa atau dapat pula diistilahkan sesuatu yang merugikan setiap orang,” 
paparnya saat dihubungi Republika (9/2). 

Musibah tidak pernah pandang bulu, apakah akan datang pada rakyat miskin, kaya, 
pejabat, pemulung, muslim maupun non muslim. Kata Miftah, jenis-jenisnya dapat 
ditujukan terhadap individu dan ammah (menyeluruh), bentuk penderitaanya 
disebut laknat. Musibah dapat berupa fitnah atau ujian bagi Allah yang 
ditujukan bagi orang yang beriman. Bahkan dapat pula diartikan sebagai penebus 
dosa. “Tidaklah seorang muslim tertusuk duri, melainkan ditetapkan baginya 
kifarat penghapus dosa,” tegas Miftah dengan mengutip hadits yang diriwayatkan 
oleh Muslim.

Banyak sekali ayat-ayat Allah atau hadits yang menyinggung tentang makna 
musibah bagi seorang muslim. Diantaranya, lanjut Miftah, sebuah hadits yang 
artinya “Apabila seorang ayah atau ibu yang kehilangan anaknya dan bersabar, 
maka baginya kifarat penghapus dosa.” Allah SWT menciptakan manusia untuk 
memberikan cobaan dan ujian serta menuntut sebuah konsekuensi kegembiraan dan 
kesulitan, “Yaitu rasa syukur dan sikap sabar. Hal ini selalu menimpa manusia 
guna mewujudkan bentuk ibadah kepada Allah,” katanya. 

Miftah menambahkan, dalam surat Al’ Ankabuut ayat dua Allah berfirman, “Apakah 
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan begitu (saja) dan mengatakan; kami 
telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi.” Selain itu, “Tiap-tiap yang 
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan 
sebagai cobaan,” papar Miftah menjelaskan arti ayat Allah dalam Al- Anbiyaa, 
ayat 35 .

Menurut Miftah, bencana yang menimpa Indonesia termasuk siklus banjir lima 
tahunan di Jabodetabek merupakan ujian dari Allah. “Jika kita ikhlas 
menerimanya dan bersabar, insya Allah dapat menjadi penghapus dosa,” katanya. 
Musibah apapun yang datang harus dapat disikapi dengan ketulusan hati dan rasa 
sabar yang besar. 

Dia mengatakan langkah yang patut dilakukan apabila seorang Muslim terkena 
musibah yaitu, “Dengan bersabar, mengambil pelajaran dari musibah tersebut, 
mengevaluasi sebab dan membuat langkah konkret setelah musibah berlalu. 
Kemudian kita pasrahkan semuanya pada Allah,” Miftah memberi solusi.

Lantas, setelah semua usaha telah dilakukan, sampai kapan kita harus 
bertawakal? Miftah menyebutkan, “Lamanya waktu berpasrah diri pada Allah tidak 
ada ketentuan waktu yang pasti. Ambillah hikmah dari musibah yang ada, 
renungkan dan lakukan apa yang dapat kita lakukan serta serahkan semuanya pada 
Allah.” 

Allah telah berfirman, ”Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan dan 
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah 
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang 
lain,” janji Allah dalam Al Insyrah ayat 5-7.

Musibah banjir yang baru terjadi, Miftah mencontohkan, sebenarnya mengandung 
pelajaran tentang apa yang telah kita lakukan dan apa yang harus kita perbuat. 
“Misalnya dengan membuat daya tampung air yang lebih besar dan meningkatkan 
amar ma’ruf nahyi munkar,” jelasnya.

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke