Cinta di Hari Tua
  5 Mar 07 06:52 WIB
   
   
  Oleh Sakti Wibowo
   
  Saat itu saya dalam perjalanan pulang kampung. Karena trayek bis 
  hanya sampai kota Ngadirojo, sebuah kota kecil sekitar dua puluh kilo 
  dari tempat tinggal saya, saya harus nyambung angkutan lokal dari 
  Ngadirojo ke Baturetno.
   
  Matahari belum sempurna terbit saat saya memutuskan memilih 
  sebuah minibus, berbaur dengan para pedagang kerupuk, serabi, tempe, 
  bahkan kambing dan ayam. Untuk kambing, jelas tempatnya terpisah, 
  ditempatkan di bagasi. Sementara, beberapa keranjang berisi ayam yang 
  tak berhenti berkeciap berikut bau kotorannya yang memengapkan ruangan 
  minibus, tumpang tindih dengan kardus-kardus berisi kerupuk dan makanan 
  ringan lainnya, menjejali pintu utama.
   
  Setelah minibus berjalan sekitar lima belas menit, dua orang penumpang naik. 
  Seorang nenek tua yang terlihat sedang sakit, berjalan dengan menggunakan 
  tongkat bambu wulung yang dipotong seadanya. Melihat warna mengilap 
  di bagian pegangan tongkat, saya menyimpulkan bahwa tongkat itu telah 
  cukup lama dipakai sehingga meninggalkan bekas yang khas. Seorang kakek 
  di belakangnya. Tak kalah renta. Saya menaksir usianya sekitar awal delapan 
  puluhan.
   
  Minibus penuh sesak. Tak ada bangku kosong. Sang nenek tertatih-tatih 
  saat menaiki minibus. Bahkan, sang kondektur harus mengangkatnya 
  dengan susah payah, sementara si kakek menyusul di belakangnya, 
  membantu sang kondektur—kendati saya yakin, bantuan ‘tenaga’ 
  si kakek tidak berpengaruh apa-apa, malah mungkin justru merepotkan.
   
  Saya tawarkan tempat duduk saya kepada si nenek, namun ia ragu-ragu. 
  Hanya senyuman—saya merasa senyum ini begitu sedap dan ikhlas—yang 
dihadiahkannya. Saya mencoba meyakinkannya. “Silakan, Mbah! 
  Saya nggak apa-apa, kok, berdiri. ”
   
  Masih dengan ragu-ragu, si nenek kemudian bercerita bahwa ia hendak 
  periksa ke Dokter ‘X’, seorang dokter yang cukup terkenal di Baturetno.
  Ketika sekali lagi saya menawarkan bangku dengan bergegas berdiri, 
  ia menatap kedua kakinya yang terlihat kaku. “Saya tidak bisa duduk, ” 
  katanya. “Boleh untuk si Mbah saja?” ia menunjuk sang kakek.
   
  Tentu saja, saya mengangguk, mempersilakan duduk sang kakek. 
  Dan, setelah itu, yang saya lihat adalah hal yang sungguh dramatis. 
  Sang nenek, karena kedua kakinya tidak bisa ditekuk, ternyata 
  memang benar tidak bisa duduk dengan wajar. Suaminyalah yang duduk, 
  dan setengah memangku isterinya itu dengan penuh kasih. Sebelah tangan 
  renta keriputnya—yang tak bisa menyembunyikan gemetar—berpegangan 
  pada sandaran bangku, sedangkan sebelah lagi melingkar di tubuh renta 
  isterinya. Sedangkan sang nenek, berpegangan pada pundak lelakinya.
   
  Saya tak tahu pasti apa yang lintas dalam pikiran masing-masing. 
  Yang saya lihat hanyalah ‘kesempurnaan’ cinta seorang manusia. 
  Saya begitu terharu dan merasa tak akan mampu menaksir kedalaman 
  cinta keduanya. Cinta yang bertahan hingga di usia senja. Saya hanya 
  sanggup mereka-reka dialog seperti apa yang layak untuk adegan 
  semenakjubkan ini. Begini: Si lelaki, dengan bahu kokoh dan 
  lengannya yang perkasa, menawarkan rasa aman kepada isterinya. 
  “Tenanglah, Sayang, tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. 
  Kau akan aman berada di sampingku. ”
   
  Sementara si wanita, dengan kepasrahan seorang isteri, menyandarkan 
  kepalanya di dada bidang itu, “Bawalah aku ke mana kau pergi, Kekasih! 
  Sebab aku tahu, kaulah waliku di akhirat nanti. Bawalah, dan aku akan serta. 
  Tak peduli sakit ini. Tak usah khawatir, sebab aku tak mengeluhkannya. 
  Bukankah kita hanya semata berusaha mencari kesembuhan-Nya?”
   
  * *
   
  Saya masih melihat—dan tak ingin melewatkannya—saat sang kakek 
  menuntun isterinya menyeberang jalan. Ya, sementara banyak pasangan 
  yang cintanya meredup saat memasuki usia kepala lima, atau malah jauh 
  sebelumnya. Saya teringat bagaimana banyak pasangan, di hari tuanya 
  memilih hidup terpisah. Bukan bercerai. Sang ibu mengikut tinggal 
  di rumah anaknya, sedang si kakek di rumah anaknya yang lain. 
  Kalaupun ada yang lebih ‘harmonis’ dari itu, tetap saja saya akan begitu 
sulit 
  mendapatkan sepasang kakek-nenek membahasakan cinta dengan 
  begitu romantis. Sayang, saya lupa tidak menanyakan nama keduanya.
   
  <[EMAIL PROTECTED] Com>
   
   
  http://www.eramuslim.com/atk/oim/45e93ada.htm
  
 
---------------------------------
Be a PS3 game guru.
Get your game face on with the latest PS3 news and previews at Yahoo! Games.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke