Dari Hidayatullah.com 
 
Minggu, 24 Desember 2006  
Sekarang, dollar sudah jatuh. Kenapa Dinar-emas belum bangkit, sebagaimana 
yang diharapkan Mahathir dan banyak orang lainnya?
 
oleh Dzikrullah W. Pramudya
 
Samurai veteran kapitalisme sudah mengakui, pedangnya sekarang tumpul, tak 
bisa lagi mengendalikan dunia. Minggu lalu, bekas direktur Federal Reserve 
Amerika Alan Greenspan menyatakan bahwa ia memperkiraqan, dollar akan 
semakin lemah dalam beberapa tahun ke depan, gara-gara defisit yang dialami 
neraca pembayaran utang Amerika Serikat.
 
"Saya kira dollar akan terus anjlok sampai ada perubahan dalam neraca 
pembayaran utang AS," kata Greenspan dalam sebuah konferensi bisnis jarak 
jauh AS-Israel. Menurutnya, keadaan pasar begitu rumitnya, bahkan susah 
meramal kondisi dollar dalam jangka pendek.
 
Dia juga menyebutkan, bangsa-bangsa yang tergabung dalam OPEC sedang 
mengalihkan cadangan uangnya dari dollar ke euro dan yen. "Adalah tidak 
bijaksana untuk menahan semua milik Anda dalam satu mata uang," katanya.
 
Yang tidak diakui secara terus terang oleh Greenspan adalah, fakta bahwa 
sudah sejak lama tidak bijaksana untuk menyimpan uang Anda dalam mata uang 
fiat apapun. Fiat money alias uang kertas adalah jenis uang yang dianggap 
legal dan bernilai oleh suatu hukum. Dollar, Euro, Franc, Mark, 
Poundsterling, Rupee, Ringgit, Peso, Rupiah, Bath tak ada satupun yang 
didukung oleh nilai nyata kertasnya sendiri. Fiat money tidak memiliki nilai 
intrinsik (instrinsic value), sebagai kebalikan dari uang komoditas 
(commodity money) seperti Dinar-emas, perak, atau perunggu.
 
Seandainya besok, karena alasan tertentu, pemerintah AS mengumumkan bahwa 
mereka akan mendevaluasi uang kertas US$ 100 menjadi bernilai US$ 10, maka 
miliaran orang di dunia tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan menerima 
'kenyataan' bahwa dalam 24 jam ke depan mereka akan jauh lebih miskin.
 
Hal seperti itu tidak akan terjadi dengan Dinar-emas. Bahkan kalau seluruh 
pemerintah di muka bumi menyatakan bahwa emas adalah "barang tidak 
berharga", orang tidak akan peduli dan tetap memburu emas. Emas tetap emas, 
orang selalu akan menganggapnya bernilai tinggi sampai kiamat.
 
Nilai sebuah koin Dinar-emas 22 karat di masa Nabi Muhammad SAW --lebih dari 
1400 tahun silam-- masih tetap sama dengan nilainya hari ini. Tidak ada 
devaluasi, tidak ada inflasi. Bakar dan cairkan sepotong emas, nilainya 
tetap sama. Cobalah bakar setas penuh dollar AS dan gunakan arangnya untuk 
beli sepiring nasi. Parahnya lagi, Anda tidak perlu membakar uang kertas 
untuk membuatnya tidak bernilai. Simpan saja semua uang Anda dalam dollar, 
rupiah, dan lain-lain; sesudah beberapa tahun nilai uang Anda pasti akan 
turun kalau tidak anjlok. Nyatanya, nilai dollar terhadap emas terus menurun 
sejak tahun 1970-an sampai hari ini.
Kebanyakan orang akan mengira bahwa itulah sifat uang, selalu mengalami 
inflasi.
 
Namun, kelompok masyarakat Amerika sendiri seperti FAME (Foundation of the 
Advancement of Monetary Education) atau GATA (Gold Anti-Trust Action 
Committee) berpikiran lain. Beberapa tahun belakangan ini mereka semakin 
keras bersuara tentang perlunya perombakan sistem moneter yang berbasis fiat 
money. Mereka mewakili masyarakat AS yang merasa dirugikan, karena nilai 
tabungan dollarnya yang didapat dengan kerja keras bertahun-tahun ternyata 
turun setiap tahun. "Karena kesalahfahaman dan tertutupnya sistem fiat 
dollar, maka ini suatu penipuan besar-besaran, " demikian pernyataan 
Lawrence Parks, direktur ekskutif FAME.
Kedua organisasi ini bekerja keras mendorong Kongres AS untuk mengubah 
sistem moneter di negeri itu (yang tentu saja berpengaruh luas kepada dunia 
internasional). Menurut lembaran fakta resmi FAME, Kongres AS telah secara 
salah memberikan sebuah kekuasaan istimewa bagi sistem perbankan AS yang 
sama sekali tidak diatur oleh konstitusi AS. Kekuasaan itu dipakai oleh 
perbankan AS untuk menciptakan kertas-kertas yang dianggap legal dan mutlak 
sebagai uang tanpa dasar atau sandaran apa-apa.
 
Sejak tahun 1946 sampai 2005, dengan modal "hanya" US$ 150 miliar, sistem 
perbankan AS telah mencetak uang fiat senilai US$ 9,4 triliun. Sekitar US$ 
700 miliar dicetak oleh the Federal Reserve, dan sisanya sekitar US$ 8,7 
triliun dicetak oleh perusahan-perusahaan swasta, dalam hal ini bank-bank. 
Parks mempertanyakan, "Kenapa perusahaan-perusahaan swasta harus diberi 
kekuasaan untuk mencetak uang?"
 
Kita biarkan saja orang Amerika berkutat dengan masalah fiat money yang 
membingungkan ini. Artikel ini ingin lebih memfokuskan diri pada jalan 
keluar dari masalah ini, yaitu commodity money. Dalam hal ini, mata uang 
Dinar-emas.
 
Kebanyakan orang di kawasan Asia Tenggara memandang Dinar-emas sebagai isu 
politik. Pada tahun 2003 Perdana Menteri Malaysia waktu itu Mahathir 
Mohammad mengangkatnya. Sesungguhnya, Mahathir angkat bicara sesudah selama 
belasan tahun berbagai kelompok Muslimin di Inggris, Spanyol, dan Afrika 
Selatan memulainya. Mahathir mengumumkan, bahwa Malaysia akan berinisiatif 
memperbaiki sistem keuangan internasional, dengan cara menjadikan Dinar-emas 
sebagai mata uang alternatif.
 
Dia mengkritik sistem keuangan masa kini karena 'sudah dipelintir oleh 
negara-negara kaya dan para spekulator'. Dia juga menyatakan bahwa Malaysia 
akan berusaha keras menggunakan Dinar-emas dalam perdagangannya dengan Iran 
sebagai langkah awal. Kalau inisiatif itu berhasil, Malaysia akan memperluas 
kerja sama ini dengan 32 negara lewat pengaturan pembayaran bilateral (BPA).
 
Sekarang, dollar sudah jatuh. Kenapa Dinar-emas belum bangkit, sebagaimana 
yang diharapkan Mahathir dan banyak orang lainnya?
Jawabannya datang dari Presiden Dinar Club di Jakarta, Muhaimin Iqbal, yang 
juga presiden direktur sebuah perusahaan asuransi tertua di negeri ini. 
Menurut Iqbal, sulit bagi Dinar-emas menjadikan dirinya mata uang alternatif 
tanpa dukungan perbankan Islam atau syariah. Dia menyatakan, "Satu-satunya 
lembaga yang bisa memfasilitasi sistem pembayaran modern, transfer, dan 
lain-lain hanyalah bank syariah."
 
Iqbal juga meyakinkan, bahwa langkah membuka rekening Dinar-emas akan 
menguntungkan bank-bank syariah karena akan lebih melindungi masyarakat yang 
hendak menabung dalam Dinar-emas dari riba. Dengan demikian tabungan mereka 
tidak akan tercampur dengan proyek pembiayaan yang masih mengandung riba. 
Bank-bank syariah juga akan mendapatkan bayaran jasa penyimpanan Dinar. Yang 
sekarang belum ada, menurut Iqbal, hanya niat dan political will dari 
perbankan syariah dan pemerintah.
 
Masyarakat sebaiknya mencermati terus jatuhnya dollar yang akan terus anjlok 
beberapa tahun ke depan. Euro dan yen juga, menurut Iqbal sama rentannya 
karena sama-sama fiat money. Yang paling bijaksana adalah menyimpan uang 
dalam Dinar-emas, karena sifatnya yang tahan gempa krisis moneter apapun. 
Dinar-emas sudah selama beberapa tahun ini diproduksi di Indonesia. 
Alternatifnya adalah emas murni batangan.
 
Bagaimanapun, Iqbal mengingatkan, bahkan Dinar-emas juga bukan tujuan akhir 
dari sistem ekonomi. Orang-orang kaya, khususnya jika mereka Muslim, 
seharusnya tidak menumpuk kekayannya dalam rekening-rekening bank dalam 
waktu yang lama. Akan lebih baik jika kekayaan itu diinvestasi ke dalam 
putaran usaha di sektor nyata sehingga membuka lapangan kerja dan lebih 
berkah. Alternatifnya adalah kekayaan yang disebarkan lewat infaq dan 
sadaqah di jalan Allah sebagai bentuk investasi yang lebih tahan krisis dan 
tidak akan bisa dirampok. Atas nama keadilan, Islam melarang kekayaan hanya 
berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Inilah jalan keluar terbaik dari 
sistem keuangan yang serba kacau.
 
* Kolomnis hidayatullah.com dan  kini sedang menulis untuk The Brunei Times  

  


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke