POLITIK PEMIKIRAN

 

Ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi    

Monday, 16 April 2007 

Ketika segelintir ulama dan cendekiawan Muslim menolak RUU APP, mereka
tidak hanya membenarkan gambar-gambar dan tarian atau goyang tabu (baca
porno), atau bicara halal haram, moralitas atau akhlak bangsa. Mereka
tengah memasarkan paham relativisme, hedonisme dan kebebasan
(liberalisme). Ketika Aminah Wadud menjadi imam Jumat di sebuah gereja
di Amerika, ia tidak sedang mengaplikasikan ijtihad Fiqhiyyahnya. Ia
tengah memasarkan paham gender dan feminisme. Pernyataan seorang anak
muda Muslim "semua agama sama benarnya", "tidak ada syariat Islam, tidak
ada hukum Tuhan", bukan pernyataan tentang teologi atau syariat Islam,
tapi pelaksanaan proyek globalisasi biaya tinggi. Buku berjudul "Fiqih
Lintas Agama" yang terbit dua tahun silam, bukan buku bacaan tentang
Fiqih, tapi buku "pesanan" untuk proyek pluralisme agama. 

Betulkah mereka bermaksud begitu? Tentu tidak menurut mereka. Tapi betul
menurut teori pemikiran Barat postmodern. Dalam bahasa Gadamer itu
disebut effective historical consciousness (kesadaran kesejarahan yang
efektif). Mereka memahami realitas segala sesuatu sebatas ruang dan
waktu kekinian saja. Mungkin, secara pejoratif bisa disebut ghirah
tarikhiyyah, yang tidak sejalan bahkan menggeser dan menggusur ghirah
diniyyah.. 

Menurut bacaan Habermas memang betul begitu. Sebab segala sesuatu harus
dipahami berdasarkan motif kepentingan sosial (social interest) yang
melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest). Pemahaman seperti ini
sudah sangat jamak dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka
sendiri memahami Islam dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah
produk dari sebuah kepentingan dan kekuasaan. Dan karena itu mereka
tidak merasa bersalah jika memahami Islam juga untuk kepentingan
tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan, politik pemikiran. 

Benarkah pemikiran liberal itu sarat kepentingan? Benar ! sebab liberal
adalah posmodernis dan posmodernis, tulis Akbar S Ahmed, adalah
pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes terhadap
tradisi, dan cara berfikirnya eklektik (Akbar S. Ahmed, Postmodernism).
Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi untuk kepentingan (kekuasaan
atau politik). Buktinya dari pemikiran mereka tiba-tiba menggalang
komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma menjadi pressure group.
Demi "memasarkan" paham pluralisme agama, misalnya, pertama-tama mereka
menolak adanya kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif.
Kepentingannya adalah untuk menghilangkan fundamentalisme dan sikap
merasa benar. Inilah politik pemikiran.

Politik Pemikiran 

Karena itu adalah politik pemikiran, tak heran jika aktifisnya pun
menjadi militan dan terkadang emosional. Substansi pemikirannya sarat
dengan muatan politik, buktinya ia bersifat responsif dan akomodatif
terhadap suatu kepentingan ideologi tertentu (baca: Barat). Niatnya,
nampak  tidak tulus karena sikap apriori dan kritis mereka terhadap
tradisi pemikiran Islam lebih menonjol ketimbang terhadap Barat.
Konsep-konsepnya sulit untuk dikategorikan ke dalam gerakan pembaharuan
pemikiran Islam karena sifatnya lebih cenderung destruktif daripada
konstruktif. 

Ketika suatu pemikiran bernuansa politik, aktifitasnya hampir tidak beda
dari gerakan politik. Media grafis, media elektronik, film, musik, aksi
sosial dan berbagai media lainnya menjadi kendaraan.  Pemikiran bukan di
dakwahkan, tapi "dijual" ketengah masyarakat untuk suatu kepentingan.
Ketika pemikiran bernuansa politik, pernyataan tentang suatu gagasan
selalu bermakna ganda. Antara ucapan, ungkapan atau pernyataan bisa
berbeda dari makna yang dimaksud. Bahkan terkadang, mengikuti gaya
Derrida, makna yang sudah mapan di dekonstruksi sehingga menjadi
bermakna baru. 

Untuk mendekonstruksi institusi agama, diperkenalkanlah teori dualisme
dan relativisme: agama dan pemikian keagamaan adalah dua hal yang
berbeda. Yang pertama absolut dan yang kedua relatif. Pemikiran ini
secara politis ditujukan untuk memberantas sikap-sikap keagamaan
ekslusif, fundamentalis dan absolutis. Jika dualisme pemikiran dianut,
maka semua pemikiran keagamaan akan menjadi relatif, yang mutlak
hanyalah agama dan yang tahu agama hanya Tuhan. Siapapun boleh berfikir
tentang apapun dalam soal agama. Tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada
yang berhak menyalahkan pemikiran orang lain, tidak ada yang bisa
mencegah kemunkaran. Tidak ada lembaga atau kelompok yang boleh
mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Baik buruk, salah benar tergantung
kepada individu. Semua bebas. Inilah politik pemikiran. Jika target ini
tercapai, maka paham teologi global (global theology) atau teologi dunia
(world theology) akan menemukan jalannya menembus semua agama. Inilah
kepentingan politik pemikiran itu. 

Kalaupun tidak dengan teori dekonstruksinya Derrida, mereka menggunakan
metode aliran sophist (indiyah, la adriyah dan inadiyah). Ketika
argumentasi mereka tentang kebebasan menafsirkan agama dengan
sebebas-bebasnya mulai nampak lemah, misalnya mereka berkelit dan
berlindung dibawah prinsip-prinsip HAM. Ketika ide feminisme tidak bisa
mendekonstruksi Fiqih, mereka menggunakan dalih perlunya persamaan dan
pemberantasan penindasan dan pelecehan terhadap wanita.  Targetnya sama,
agar di masyarakat tidak ada lagi yang mempunyai otoritas. Tidak ada
yang bisa berkuasa karena agama dan agar agama tidak mengisi ruangan
publik. 

Jika dibaca dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations,
karya S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions
Become Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya Fukuyama,
Islam Unveiled: Disturbing Question About the World's Fastest-Growing
Faith, karya Robert Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta
pemikiran yang berimplikasi politik. Yang kurang kritis bisa saja
menilai buku-buku itu dengan sikap positif. Mungkin alasannya karena
asumsinya baru, analisasnya tajam, argumentasinya valid,
pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk dijawab dan lain sebagainya.
Tapi jika ia mencermati implikasi politik dalam semua asumsi, analisa
dan argumentasinya maka ia akan menilai dengan sikap sebaliknya. 

Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara pemikiran dan
target politis dibaliknya, maka tidak heran jika diantara umat Islam ada
yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran yang dikenal
"liberal" itu.  Padahal pemikiran yang politis itulah yang menjadi bahan
kekibijakan strategis. 

Dari Pemikiran ke Strategi 

Untuk mengetahui bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan
strategis, kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam,
Partners, Resources and Strategies, (2003), ditulis oleh Cheryl Bernard.
Buku ini membahas tentang politik perang pemikiran atau strategi dan
taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam
pasca 11 September. Targetnya untuk melawan sesuatu yang tidak jelas
"terorisme dan fundamentalisme" dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku
ini ia menulis buku lain berjudul "U.S. Strategy in the Muslim World
After 9/11 (2004),  The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years
After: Next Steps in the War on Terror (2005). Sudah tentu
tulisan-tulisannya itu merujuk kepada pemikiran, pandangan dan gambaran
tentang ummat Islam yang ditulis oleh cendekiawan sebelumnya. Jargon
science for science, yang konon dipegang Barat secara konsisten ternyata
tidak.  Karya-karya tentang Islam yang diwarnai oleh bias kultural dan
sentimen keagamaan, misalnya digunakan untuk kepentingan eksploitasi dan
bahkan kilonialisasi. Pemikiran sekularisme, demokrasi, liberalisme yang
di suntikkan kedalam pemikiran ummat Islam bukanlah murni pemikiran, ia
telah berubah bentuk menjadi politik pemikiran. Pemikiran ini tidak
menjadi ilmu tapi menjelma menjadi kebijakan politik.

Cheryl Bernard adalah sosiologis yang pernah menulis novel-novel feminis
yang memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas.
Jilbab menurutnya diambil dari pemahaman yang salah terhadap al-Qur'an,
dan merupakan simbol pemaksanaan dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay
Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi asisten khusus Presiden
George W Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security
Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu
ia pada tahun 1980 bekerja dibawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning
Council. Pada saat terjadi perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay
menjadi sekretaris menteri pertahanan. 

Cheryl Bernard menulis ini dibawah proyek penelitian sebuah lembaga
swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand Corporation.
Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang
membuat "analisa obyektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat ataupun individu diseluruh dunia". Lembaga ini
dibiayai oleh Smith Richardson Foundation. Di lembaga ini Cheril menulis
untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research
Division) dimana suaminya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk
membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan
pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan
pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses
demokratisasi. Yang jelas divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada
pemerintah Amerika bagaimana menghadapi "fundamentalisme" dalam Islam
dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam.  

Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran
tertentu. Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan
kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia memberi masukan kepada
pemerintah Amerika, pertama tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang
bisa diseret kedalam nilai-nilai Amerika. Kedua tentang peta
masalah-masalah umat Islam dalam konteks nilai-nilai Amerika. Dan
akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM,
poligami, hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah minoritas,
pakaian wanita, hak-hak suami-istri dsb. masuk kedalam pemikiran umat
Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan lihat dibawah ini,
dilaksanakan dengan baik di Indonesia. 

Strategi Politik Pemikiran 

Politik pemikiran Cheryl nampak jelas ketika ia mengemukakan suatu
strategi yang bertujuan untuk merobah dunia Islam agar sesuai dengan
"tatanan" dunia internasional kontemporer, Amerika Serikat dan Barat.
Tujuannya adalah:

To encourage positive change in the Islamic world toward greater
democracy, modernity, and compatibility with the contemporary
international world order, the United States and the West need to
consider very carefully which elements, trends, and forces within Islam
they intend to strengthen (hal x)

Karena tujuannya untuk mem-Barat-kan umat Islam, maka ia hanya memilih
elemen-elemen dan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan Barat saja untuk
dikembangkan. Ini tentu untuk memuluskan jalannya modernisasi,
westernisasi dan Amerikanisasi. Bahkan lebih praktis lagi Bernard
menyarankan agar Barat memberikan "bantuan" bagi pengembangan
nilai-nilai Barat tersebut kedalam pemikiran ummat Islam. Bantuan itu
kini telah mengucur ke berbagai LSM-LSM di Indonesia.

Tidak hanya menyeret nilai-nilai Islam kedalam nilai-nilai Barat, Cheryl
Bernard juga membuat kategori kelompok-kelompok umat Islam dengan bahasa
kultural Barat. Kelompok Islam dalam laporan itu dibagi menjadi Muslim
sekularis, Tradisionalis, fundamentalis dan modernis (dalam kelompok
terakhir ini termasuk Muslim liberal). Muslim modernis misalnya,
dinisbahkan kepada Muslim yang bekerja untuk Barat dan yang mendukung
masyarakat demokratis modern. Sementara itu Muslim fundamentalis radikal
(the radical fundamentalists) adalah mereka yang anti demokrasi Barat,
nilai-nilai Barat secara umum, dan Amerika Serikat khususnya; pokoknya
tujuan dan visi kelompok ini tidak sesuai dengan Barat. Jadi standar
klasifikasi ini adalah Barat, dan bukan berdasarkan realitas umat Islam.
Memang, inilah strategi pemikiran. 

Dari pemikiran dan gambaran tentang umat Islam yang salah itu Cheryl
mengusulkan saran-saran strategi pemikiran kepada pemerintah AS.
Saran-saran strategis itu dibagi menjadi dua A. Dasar-dasar strategis
dan B. akifitas khusus untuk mendukung strategis tsb

Saran-saran strategis yang diberikan Cheryl kepada pemerintah AS adalah
sbb: 1) Ciptakan tokoh atau pemimpin panutan yang membawa nilai-nilai
modernitas 2) Dukung terciptanya masyarakat sipil (civil society)
didunia Islam.3) Kembangkan gagasan Islam warna-warni, seperti Islam
Jerman, Islam Amerika, Islam Inggeris dst. 4) Serang terus menerus
kalompok fundamentalis dengan cara pembusukan person-personnya melalui
media masa. 5) Promosikan nilai-nilai demokrasi Barat modern 6) Tantang
kelompok tradisionalis dan fundamentalis dalam soal kemakmuran, keadilan
sosial, kesehatan, ketertiban masyarakat dsb. 7) Fokuskan ini semua
kepada dunia pendidikan dan generasi muda Muslim.  

Untuk memperkuat dan mempercepat pembangunan masyarakat sipil Islam yang
demokratis dan modern Cheryl Bernard mengusulkan strategi sbb: 1)
Dukunglah kelompok modernis, perluas visi mereka tentang Islam sehingga
mengungguli kelompok tradisionalis. Kemudian angkat mereka secara publik
sehingga menjadi figure Muslim kontemporer. 2) Dukunglah kelompok
sekularis kasus per kasus. 3) Kembangkan lembaga-lembaga dan
program-program sekuler  dibidang sosial dan kultural 4) Dukung kelompok
tradisionalis secukupnya sekedar dapat berlawanan dengan fundamentalis
dan dapat menghindari persatuan kedua kelompok ini. 5) Musuhi kelompok
fundamentalis secara energik dengan menyerang kelemahan mereka dalam
pemahaman dan ideologi keislaman mereka, seperti membuktikan korupsi,
kebrutalan, kebodohan, bias mereka dan kesalahan mereka dalam
mengamalkan Islam serta ketidak mampuan mereka dalam memimpin dan
memerintah. 

Untuk mendukung mendukung langkah-langkah strategis tersebut Cheryl juga
memberikan saran-saran taktis sbb:

1) Pertama-tama dukung kelompok cendekiawan modernis (liberal). Dorong
mereka menulis untuk publik dan anak muda. Terbitkan dan sebarkan
kerja-kerja mereka dengan bantuan biaya. Masukkan ide-ide mereka ini
kedalam kurikulum pendidikan Islam. Usahakan agar pandangan mereka
tentang masalah-masalah mendasar dalam penafsiran agama dapat dibaca
oleh masyarakat dan agar berkompetisi dengan kelompok fundamentalis dan
tradisionalis. 

2) Dukung kelompok tradisionalis dalam menghadapi fundamentalis.
Publikasikan kritik-kritik kelompok tradisionalis terhadap tindak
kekerasan dan ektrimisme kelompok fundamentalis. Pupuk terus
perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis, dan jangan sampai
mereka bersatu. Upayakan agar pemikiran tradisionalis mendekati
modernis. Kalau perlu didiklah kelompok tradisionalis agar dapat melawan
fundamentalis. Fundamentalis biasanya lebih superior dalam retorika,
tapi tradisionalis masih agak tertinggal. Tingkatkan jumlah kelompok
modernis (liberal) dalam institusi tradisionalis.

3. Hadapi dan lawan fundamentalis. Tantanglah penafsiran mereka tentang
Islam dan tunjukkan ketidakakuratannya. Bongkar jaringan mereka dengan
kelompok-kelompok illegal. Publikasikan segala konsekuensi dari tindak
kekerasan mereka. Tunjukkan juga ketidak mampuan mereka untuk memimpin,
untuk mencapai perkembangan positif bagi Negara dan masyarakatnya.
Kemudian sebarkan hal ini kepada generasi muda, kepada masyarakat
tradisionalis yang taat, minoritas Muslim di Barat dan kepada para
wanita. Hindarkan rasa respek atau pemujaan terhadap kekerasan yang
dilakukan kelompok fundamentalis, ekstrimis dan teroris. Juluki mereka
sebagai pahlawan jahat, penakut dan tidak waras. Doronglah para wartawan
untuk menginvestigasi korupsi, kemunafikan dan tindak amoral dalam
kelompok fundamentalis dan teroris. Pecah belahlah kelompok
fundamentalis. 

4. Dukunglah kelompok sekularis dengan secara hati-hati. Dorong kelompok
ini agar mengakui fundamentalisme sebagai musuh bersama. Hindarkan agar
kelompok sekularis ini tidak beraliansi dengan kekuatan anti AS yang
didorong oleh nasionalisme atau ideologi kiri. Dukunglah ide bahwa dalam
Islam agama dan Negara dapat dipisahkan dan ini tidak membahayakan
keimanan tapi malah memperkuat keimanan. Posisikan sekularisme dan
modernisme sebagai pilihan bagi ummat Islam. Upayakan agar dikalangan
ummat Islam tumbuh kesadaran dan ketertarikan kepada sejarah dan kultur
pra-Islam dan non-Islam. Bantulah kelompok ini  dalam mengembangkan
organisasi sipil yang independent agar mereka dapat mengembangkan diri
melalui proses politik. (hal.48)

Lebih lanjut Cheryl Bernard memberi masukan tentang langkah praktis yang
perlu dilakukan untuk mendukung strategi dan taktik diatas.
Kegiatan-kegiatan yang ia usulkan adalah sbb: 1) Rebut atau rusaklah
"monopoli" kelompok fundamentalis dan tradisionalis dalam menjelaskan
dan menafsirkan Islam. 2) Cari kelompok modernis / liberal yang dapat
membuat website yang menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan
perilaku harian dan kemudian menawarkan pendapat Muslim modernis tentang
hukum-hukumnya. 3) Doronglah cendekiawan Modernis / liberal untuk
menulis buku teks dan mengembangkan kurikulum dan berilah bantuan
finansial. 4) Gunakan media regional yang populer, seperti radio, untuk
memperkenalkan pemikiran-pemikiran Muslim modernis / liberal agar
membuat dunia internasional melek tentang apa arti Islam dan dapat
berarti apa Islam itu.

Meski disini tidak dapat dihadirkan bukti bahwa Amerika menerima dan
melaksankan saran-saran Cheryl Bernard, tapi kita bisa saksikan
saran-saran Cheryl Bernard di implementasikan di Indonesia secara
perlahan-lahan tapi pasti. Fenomenanya jelas. Muslim pendukung Barat
dipromosikan media masa menjadi tokoh baru. Kini istilah civil socity
sudah sering keluar mulut cendekiawan Muslim dan akrab ditelinga
mahasiswa.  Konsep civil socity pun dianggap sepadan dengan konsep
masyarakat madani. Modernis dan Liberal Muslim pendukung Barat adalah
pembela aliran "sesat", atau aliran-aliran sempalan. Muslim yang tidak
sejalahn dengan liberal, sekuler, demokrasi Barat, akan segera dicap
teroris, fundamentalis dan anti Barat. LSM-LSM kini tidak lagi
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, tapi lebih kepada pembaratan
masyarakat. Proposal proyek untuk "mengekspor" kemiskinan masyarakat ke
Negara-negara Barat tidak laku lagi. Sementara proposal untuk menjual
paham masyarakat sipil, demokrasi, gender, liberalisme, pluralisme
agama, multikulturalisme dan semacamnya tidak lagi mencari bantuan
Barat, tapi dicari-cari Barat untuk dibantu. Bahkan yang paling keras
mengkritik ajaran Islam dan tradisi pemikiran Islam serta membawa
gagasan-gagasan "aneh" kini mudah mendapat dana dan biasiswa dari Barat.
Inilah barangkali yang disindir al-Baqarah (Q.S. 2:41, 79, 173), Ali
Imran (Q.S. 3:77,187, 199), al-Mai'dah (Q.S. 9:44),  al-Tawbah (Q.S.
9:9) dan al-Nahl (Q.S. 16: 95).  sebagai "menjual" ayat-ayat Tuhan
dengan harga murah. Well done Mrs. Cheryl !!

 

Sumber: http://www.insistnet.com/

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to