Kolom IBRAHIM ISA Rabu, 15 November 2006 <Wawancara Pagi dengan Bari Muchtar dari Radio Nederland>
-- Menteri Sudibyo Ubah lagi Penamaan 'G30S' Jadi ' G30S/PKI ' -- 'Ajakan Pulang SBY' Dan -- Rencana Menkum HAM Awaluddin Bagi-Bagi Paspor WNI * * * Pagi tadi kira-kira jam 08.45 waktu Nederland, nyaring sekali dering tilpunku. 'Selamat pagi Pak Ibrahim! Maaf ya Pak, pagi-pagi begini sudah menilpun', bunyi suara dari seberang sana. 'Saya Bari Muchtar dari Radio Nederland, Pak', katanya lagi. Kukenal memang, itu suara Bari Muchtar dari Radio Nederland. Ah, kataku, untuk seorang sahabat kapan saja bisa menilpun saya. Bari Muchtar tertawa. Bapak kan orang pensiunan, kata Bari pula, pagi-pagi begini . . . . . Bari belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sudah kupotong. Saya tak pernah pensiun, kataku. Bari Muchtar tertawa lagi. Bari Muchtar kukenal sejak ia mewawancarai aku ketika Menkumdang (ketika itu), Yusril Ihza Mahendra, khusus datang ke Den Haag menyandang Instruksi Presiden (Abdurrahman Wahid) No. 1, Th 2000. Isi Instruksi Presiden itu adalah untuk mengurus kepulangan para warganegara Indonesia 'yang terhalang pulang', yang paspornya dicabut Orba, secara sewenang-wenang atas dasar tuduhan dan fitnahan keterlibatan dengan G30S. Pembicaraan pagi tadi dengan wartawan Radio Nederland itu, meliputi tiga masalah. Wartawan Bari Muchtar ingin tahu reaksi/tanggapanku terhadap ketentuan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang telah mengeluarkan kebijakan melarang penggunaan buku pelajaran sejarah yang disusun berdasarkan Kurikulum 2004. Pemerintah menetapkan bahwa setiap penulisan sejarah, singkatan G30S (Gerakan 30 September) dalam buku pelajaran sejarah harus digandeng dengan kata PKI (Partai Komunis Indonesia). Ini berarti buku-bukusejarah sebelumnya yang ditulis tahun 2004, yang tidak menulis kata PKI lagi, tidak boleh dipakai lagi. Kongkrit artinya, yang tadinya dalam pelajaran sejarah Kurikulum 2004, ---- peristiwa 1 Oktober 1965, di sebut sebagai 'G30S', harus kembali disebut menjadi 'G30S/PKI'. Pertanyaan berikutnya: Bagaimana dampak dari ketetentuan Menteri Sudibyo itu. Selanjutnya wartawan Radio Nederland itu ingin tahu apa tanggapanku terhadap rencana kedatangan Menteri Menkum Ham Hamid Awaluddin ke Den Haag. Menurut berita yang tersiar rencana kedatangan Menteri tsb adalah untuk menjelaskan sekitar UU Kewarganegaraan RI yang baru. Kaitannya dengan 'AJAKAN PULANG SBY', kepada 'orang yang terhalang pulang' , disebabkan paspornya dengan sewenang-wenang dicabut Orba. * * * Beginilah tanggapanku terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Bari Muchtar dari Radio Nederland (RANESI): 1. 'G30S' GANTI NAMA LAGI MENJADI 'G30S/PKI' Ketentuan Menteri Sudibyo ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan masalah pendidikan, sejarah atau kebudayaan. Ketetnuan Subidyo mengganti penyebutan nama 'G30S' kembali menjadi seperti penamaan yang diberikan oleh Orba, yaitu 'G30S/PKI' , --- adalah suatu kebijaksanaan yang semata-mata bertitik tolak dan bermotif politik, yaitu politik Orba. Presiden Sukarno, ketika masih formal menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerinthan RI, telah mengkoreksi penamaan 'GESTAPU' terhadap 'G30S' yang ketika itu diberikan oleh golongan militer di bawah Jendral Suharto. Presiden Sukarno menamakan gerakan tsb 'GESTOK', Gerakan Satu Oktober. Sedangkan para pelaku dari gerakan tsb, yang terdiri dari perwira-perwira Angkatan Darat dan kesatuan-kesatuan bersenjata RI lainnya, menamakan gerakan itu: 'Gerakan 30 September'. Di bawah pemerintahan Presiden Megawati, penamaan atas gerakan tsb sebagaimana yang tercantum dalam Kurikulum Orba dulu, 'G30S/PKI', telah diubah menjadi 'G30S'. <Bari Muchtar menyela bertanya: Apakah tindakan pemerintah Megawati itu, suatu tindakan politik?. Aku jawab, Ya. Namun, bukan semata-mata politik. Ada hubungannya dengan fakta-fakta seperti yang kusebut diatas.> Ditambahkannya nama 'PKI' pada kata 'G30S', 'Gerakan 30 September', itu adalah kesimpulan politik Orba. Seperti diketahui, sejak jatuhnya Suharto, ketika kebebasan pers mulai diberlakukan, begitu banyak varian analisa penulis, wartawan, pakar dan peneliti, dalam dan luar negeri mengenai apa itu 'G30S', siapa dalangnya dsb. Semua itu, termasuk apa yang disimpulkan Orba, adalah analisa dan kesimpulan mereka sendiri, bukan fakta yang sudah dibuktikan kebenarannya.. Orba dan pendukungnya bisa saja mengkaitkan nama 'PKI' pada 'G30S', tetapi seyogianya disertai dengan keterangan bahwa kesimpulan itu adalah kesimpulan mereka sendiri. Atas pertanyaan Bari Muchtar bagaimana dampak dari keputusan Mentei Sudibyo tsb, aku berikan tanggapan sbb: Saya percaya dan yakin bahwa para murid sekolah menengah apalagi mahasiswanya, belajar sejarah tidak hanya dari teks buku sejarah yang ditentukan oleh kurikulum Menteri Pendidikan Nasional. Saya percaya generasi muda kita pasti membaca tulisan-tulisan sejarah yang ada di luar sekolah. Yang ditulis oleh banyak pakar dan sejarawan dalam maupun luar negeri. Generasi muda kita punya kemampuan berfikir dan daya kritis untuk menarik kesimpulan sendiri. Jadi, Pak Ibrahim optimis, ya Pak. -- Ya, kataku. Saya optimis dan percaya pada kemampuan berfikir generasi muda kita!, kataku. 2. 'AJAKAN PULANG ' PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 'Ajakan pulang' Presiden SBY kepada orang-orang Indonesia yang terhalang pulang, yaitu kepada orang-orang yang paspornya dicabut secara sewenang-wenang oleh Orba, ADALAH TIDAK RELEVAN dengan situasi nyata orang-orang yang terhalang pulang itu. Juga kedatangan Hamid Awaludin ke Belanda untuk mengembalikan kewarganegaraan Indonesia kepada 'orang yang terhalang pulang' tsb TIDAK RELEVAN. Karena, mereka-mereka yang paspornya dicabut secara sewenang-wenang oleh Orba, atas dasar fitnah dan tuduhan keterlibatan dengan G30S, dan karena mendukung Presiden Sukarno, --- umumnya sudah pada bisa pulang ke Indonesia. Bahkan berkali-kali. Malah ada yang sudah menetap di Indonesia dan ada pula yang sudah meninggal dunia dan dikubur di tanah air tercinta Indonesia. Masalah pulang ke Indonesia, jadinya, bukanlah masalah lagi. Kapan saja mereka ingin pulang, dengan memiliki paspor Eropah, mereka bisa pulang, melepas rindu dengan sanak keluarga dan tanah air tercinta. Jadi ajakan pulang itu, benar-benar tidak relevan. Bagaimana dengan tawaran pemerintah memperoleh paspor dan dengan itu memperoleh kewarganegaraan Indonesia lagi, tanya Muchtar. Aku katakan: Teman-teman itu, pada umumnya sudah memiliki paspor dari negeri dimana mereka berdomisili sekarang. Mereka itu sudah menjadi warganegara negeri-negeri tempat mereka berdomisili sekarang ini. Umumya mereka tidak memerlukan paspor tambahan. Apalagi kebanyakan merasa lebih aman memiliki paspor asing tsb. Mereka yakin, bila 'terjadi apa-apa' dengan mereka ketika berkunjung ke Indonesia, maka pemerintah dari negeri-negeri yang memberikan kewarganegaraan itu, akan turun tangan mengurusnya. Sedangkan bila mereka memiliki paspor Indonesia, dapat paspor Indonesia, kalau 'terjadi apa-apa' dengan mereka, misalnya 'dicekal penguasa, maka mereka tidak yakin bahwa pemerintah Indonesia akan turun tangan mengurus soal mereka. Karena, kita semua tahu, bahwa hukum dan keadilan belum tegak di negeri kita. Indonesia belum merupakan negara yang benar-benar NEGARA HUKUM. Bicara soal perasaan dan kesadaran nasional teman-teman itu, mereka-mereka itu meskipun menyandang paspor asing, namun hatinya, perasaannya dan semangatnya, adalah MERAH PUTIH. Mereka tetap adalah orang-orang Indonesia yang cinta tanah air dan bangsa. Dengan memiliki paspor mereka yang sekarang ini, mereka lebih leluasa melakukan kegiatan di mancanegara demi kepentingan bangsa dan tanah air. Belum lagi bicara mengenai syarat-syarat hidup di Indonesia, bila paspor mereka dikembalikan. Dari segi keamanan maupun dari segi kehidupan sehari-hari, bagi mereka, dengan memiliki paspor asing seperti sekarang ini, hal tsb lebih terurus dan terjamin. Bagaimana kemungkinannya dengan tawaran pemerintah Indonesia untuk memberikan paspor baru. Apakah itu tidak sebaiknya diterima saja, tanya Bari Muchtar dari Radio Nederland. Kalau tidak, lalu apa yang kalian kehendaki, tanya Bari Muchtar lagi. Pertanyaan tsb diatas kutanggapi sbb: Bisa terjadi, bahwa masih ada diantara teman-teman yang dicabut paspornya, masih berstatus 'stateless', dan tinggal di negeri asing. Diantara mereka itu ada yang ingin memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia yang dicabut serwenang-wenang oleh Orba. Meskipun dengan itu belum tentu mereka ingin kembali menetap di Indonesia, atas dasar berbagai pertimbangan.. Untuk teman-teman seperti itu, kiranya, silakan untuk memanfaatkan tawaran pemerintah Indonesia itu. Lalu, apa yang Bapak ingini, tanya sahabatku wartawan Radio Nederland, Bari Muchtar. Kujawab, sbb: Yang saya dan kami inginkan ialah adanya perngakuan dari pemerintah SBY bahwa pencabutan paspor dengan sewenang-wenang, atas dasar fitnah dan tuduhan semata-mata adalah KELIRU, ADALAH SALAH, adalah suatu pelanggaran hukum, pelanggaran HAM. Pengakuan ini bisa dilakukan melalui suatu ketetapan, peraturan atau suatu STATEMENT dari SBY atau Menteri yang bersangkutan. Lalu atas dasar pengakuan salah ini, mengambil tindakan untuk mengkoreksinya. Tindakan koreksi yang terpenting, ialah dikeluarkannya pernyataan atau ketentuan pemeritah untuk MEREHABILITASI nama baik, hak-hak kewarganegaran dan hak-hak politik mereka. Mengenai masalah REHABILITASI nama baik, hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak politik, sesungguhnya pertama-tama harus diberlakukan pemerintah terhadap kurang lebih 20 juta korban Peristiwa 1965, para eks tapol dan keluarga mereka, yang sampai sekarang ini masih menderita diksriminasi, stigmatisasi dan marginalisasi. Rehabilitasi para korban Peristiwa 1965 oleh pemerintah yang sekarang ini, adalah langkah mendesak yang perlu dilakukan, bila benar-benar berkepdulian dengan usaha REKONSILIASI NASIONAL atas dasar KEBENARAN dan KEADILAN. Bari Muchtar akhirnya bertanya lagi: Di dalam intro saya nanti tentang Bapak, apa saya katakan, apakah Bapak itu seorang korban, atau bagaimana. Aku bilang, katakan saja, ini adalah wawancara dengan seorang Indonesia yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada Republik Indonesia, yang paspornya telah dicabut secara sewenang-wenang oleh Orba. <Catatan: Karena wawancaraku dengan Radio Nederland, dilakukan melalui tilpun, mungkin saja penuturan diatas, tidak persis sama dengan wawancara tadi pagi itu. Tetapi garis besarnya, dan inti sarinya adalah seperti yang ditulis diatas. Kalau tak salah Radio Nederland juga telah menyiarkan wawancara tsb. >. * * *