Radio Nederland Siaran Indonesia - Ranesi.
http://www.ranesi.nl/tema/budaya/kumpulan_cerpen_ranesi/kaki_langit_cinta_cerpen061106
Di Kaki Langit Cinta
Sri Wulandari 

06-11-2006


Bandara Schiphol. Langit masih basah ketika aku mendarat di sana. Inilah 
gerbang utama memasuki negara Belanda. Sebuah negera kecil yang 350 tahun 
lampau menguasai negeriku, Indonesia.

Bertahun-tahun yang lewat, aku pernah menyimpan mimpi, kelak akan menginjak 
kaki di negeri ini, menghirup udaranya, menikmati aroma kehidupannya, 
bersanding dengan seseorang pria tinggi kurus, berkulit putih, berambut pirang, 
dan bermata coklat. Bertahun-tahun aku menyimpan harapan padanya. Aku memupuk 
mimpi melahirkan anak-anaknya dan membesarkannya di negeri ini, negeri nenek 
moyangnya. Tapi mimpi itu tinggal sekelebat, runtuh dalam hitungan waktu yang 
tak jelas. Aku kehilangan mimpi. Terkubur di dasar sanubariku, tanpa hendak 
kuinginkan lagi.

Lelaki itu bernama Ronald, dia berasal dari Vlaardingen. Aku mengenalnya dari 
sebuah ruang percakapan di dunia maya, delapan tahun yang silam. Dia menyapaku 
terlebih dahulu. Bertanya siapa  diriku dan asal usulku. Meski dunia maya 
menawarkan kebohongan dan kepalsuan, aku jujur kepadanya, mengungkapkan jati 
diriku kepadanya. Dan, kurasa dia pun demikian.

"Kamu benar dari Indonesia?" dia bertanya lagi separuh tak percaya. Kujawab 
benar bahwa aku berasal dari Indonesia, sebuah negeri kepulauan yang luas, yang 
kaya pemandangan  alam, yang kaya akan hasil bumi, sehingga nenek moyangnya 
tertarik untuk menguasai negeriku. "Bagaimana keadaan di sana sekarang?" 
tulisnya.

Aku tahu arah pertanyaannya, saat itu baru saja terjadi perubahan suhu politik 
di negeriku. Keadaan begitu panas dan sangat mencekam. Mei 1998, kejayaan Orde 
Baru tumbang dalam sekejap. Puluhan ribu mahasiswa didukung para pegiat politik 
dan masyarakat bergabung menduduki gedung DPR/MPR. Sebelumnya rentetan 
unjukrasa mahasiswa selalu terjadi, kerap kali diakhiri ricuh dengan aparat 
keamanan.

Puncaknya, saat Universitas Trisakti melakukan unjukrasa, kericuhan dengan 
aparat tak terhindari. Entah, sniper siapa yang bertindak, empat mahasiswa 
tewas tertembus peluru. Aku berada di sana, menjadi saksi atas peristiwa akbar 
itu.

Detik demi detik begitu mencekam. Kematian empat mahasiswa itu menjadi tumbal 
perlawanan rakyat yang tak terelakkan. Rusuh massal tak terhindarkan, amuk 
massa terjadi di mana-mana, bahkan diwarnai perjarahan dan pembakaran. Kepulan 
asap hitam mewarnai langit Jakarta. Serombongan orang berlari menjunjung 
barang-barang, entah milik siapa. Hari itu, nilai-nilai kemanusiaan tak lagi 
memiliki arti. Harkat dan martabat manusia melorot hingga titik nadir. Di 
gedung DPR/MPR, tokoh yang dulu mencalonkan Soeharto sebagai presiden justru 
mengeluarkan pernyataan meminta Soeharto mundur, karena terbukti rakyat tak 
menghendakinya lagi. Sementara penjabat lainnya, terpaksa mengijinkan mahasiswa 
memasuki gedung DPR/MPR. Sejak itu mereka menduduki gedung DPR/MPR dan 
menyatakan  bersedia mundur apabila tuntutan mereka dipenuhi.

Peristiwa itu kurekam dengan baik, kusajikan dalam laporan utama di tabloid, 
tempatku bekerja. Peristiwa itu telah menyedot energiku, nyaris sepanjang malam 
aku tak tidur. Detik demi detik, menunggu perubahan. Klimaksnya, Soeharto 
menyatakan mundur sebagai presiden dan BJ Habibie menggantikan dirinya. Aku 
juga mengalami klimaks, disergap keletihan yang luar biasa. Aku pun memutuskan 
untuk cuti selama satu minggu, berdiam diri di rumah dan menutup diri terhadap 
beragam arus informasi. Kuhibur diri dengan mengunjungi komunitas chat room di 
dunia maya. Hingga aku bertemu dengan Ronald.

Ronald banyak bertanya tentang situasi dan kondisi politik di negeriku serta 
dampaknya terhadap rakyat. Dia juga bertanya apa betul ada kasus pemerkosaan 
massal yang menimpa etnis minoritas. Aku tidak tahu, begitu kujawab. Itu karena 
memang aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengan salah satu korban 
pemerkosaan itu. Yang kutahu, adanya korban pemerkosaan diungkapkan oleh LSM, 
crisis center, dan para pegiat politik. Sebagai reporter, aku kesulitan 
menemukan jati diri sang korban pemerkosaan. Kalaupun ada testimoni di Komnas 
HAM atau di kantor sebuah LSM, itu bukan keluar dari mulut korban secara 
langsung, melainkan saksi kedua, saksi ketiga, dan orang-orang yang mengaku 
mendengar cerita tentang saudaranya yang diperkosa.

"Kenapa sih kamu tanya-tanya soal itu," ujarku.
"Aku hanya ingin tahu saja," dia menjawab. "Aku ingin berlibur ke Indonesia, 
tapi kalau keadaannya tak aman, aku takut juga," sambung dia.
"Jangan bernyali kecil dong, lihat dan buktikan sendiri, negaraku cukup aman 
untuk pelancong  meski terjadi gejolak politik."
"Kamu bisa menjamin itu?" dia bertanya ragu.
"Ya, kalau perlu aku yang jadi pemandu  kamu," tegasku.

Pertemuan pertama di dunia maya itu diakhiri dengan saling memberikan nomer 
telepon. Sejak itulah, aku dan Ronald saling bertukar sapa, tak hanya melalui 
telepon, tetapi juga melalui internet. Dia hadir mewarnai hidupku. Kian lama 
aku dan dirinya kian dekat. Aku dan dia bisa bertutur apa saja. Tak hanya 
obrolan politik, tetapi juga urusan hati. Kami pun berteman. "Ya, kita berteman 
dan selamanya berteman," aku berkata seperti itu. Dia pun setuju.

Aku tak tahu bagaimana hidupnya, karena dia nun jauh di sana, melintasi 
samudera dan benua. Kami berbeda bangsa. Hanya secara kebetulan dia mengagumi 
negeriku. Dia pernah berkata, tak heran jika nenek moyangnya betah bercokol di 
Indonesia. Indonesia menyebut negerinya sebagai penjajah dalam masa lampau. 
Kakekku bahkan punya cerita kepahlawanan tentang orangtuanya - yang sejatinya 
adalah moyangku - yang pernah melawan bangsanya di tanah Jawa mengikuti  jejak 
perlawanan Pangeran Diponegoro. Tetapi Ronald punya penilaian sendiri, 
negerinya memakmurkan Indonesia. Mengajar Indonesia tentang berbagai tatanan  
kehidupan. Aku menyangkalnya. Mengapa dia tak menyinggung berapa banyak hasil 
bumi Indonesia yang dibawa ke negerinya.

Ah, apalah namanya, bukankah itu sebuah masa lalu nenek moyang kita. Yang 
penting saat ini kita berteman, bersahabat. Bahkan, banyak pula orang Indonesia 
yang menetap dan makmur di Belanda, begitu juga sebaliknya. Jadi kenapa harus 
diperdebatkan. Begitu tulis dia dalam sebuah obrolan dunia maya saat  tengah 
malam.

Kami jarang sekali bercerita tentang masalah hidup masing-masing. Dia pernah 
memberiku sebuah alamat website pribadi, isinya penuh foto-foto wanita dari 
berbagai belahan dunia. Fotoku ada di situ.
"Dari mana kamu dapatkan foto aku?"
"Kamu yang memberinya."
"Kapan?"
"Kamu lupa ya.?"
"Iya."
"Kamu memberinya di awal kita bertemu"
"Aku merasa tak memberinya."

Adupendapat tentang foto itu lalu berhenti. Dia tidak bersedia membahasnya 
lagi. Katanya, terlalu dangkal jika harus diadugagaskan. Kami tak bicara 
apa-apa lagi dan kemudian kami jarang bercakap-cakap lagi. Aku sibuk dengan 
diriku, mengejar hasrat, mengejar karirku, tenggelam dalam berbagai gejolak 
peristiwa.  Mungkin dia juga mengejar dunianya.

Dalam suatu percakapan yang entah pukul berapa, karena dunia maya tak kenal 
waktu, dia mengaku merindukan seseorang yang bisa mengerti akan dirinya, 
menjadi teman untuk mencurahkan rasa hatinya dan dia mendapatkannya dariku. Dia 
ingin menjadikan diriku tak hanya sekedar teman, tetapi perekat segala 
mimpinya. Saat itu aku pikir, dia punya mimpi yang sama dengan aku. Dia punya 
bintang di langit yang berpijar menaburkan mimpi-mimpi indah, sama seperti 
bintang di langitku. Mulailah aku menyukainya. Lambat laun sesuatu mulai muncul 
di lubuk hati. Sesuatu itu bernama harapan. Tapi aku tak tahu, apakah itu juga 
bernama cinta.

Lalu dia benar-benar muncul di Jakarta. Waktu dia menelepon akan menemui 
diriku, aku resah. Berulangkali aku sibuk berdandan, menciptakan penampilan 
yang mempesona yang pantas di hadapannya. Tapi ketika, dia benar-benar ada di 
hadapanku dalam wujud nyata, ups, dia tidak sendirian. Seorang gadis manis 
mendampinginya. Rini, teman baikku, yang kupinta untuk menemaniku, tertawa 
terpingkal-pingkal. "Makanya, jangan ge-er. Apa lu kira semua yang chat sama lu 
naksir lu," urainya.

Duh, aku cuma bisa gigit jari. Apalagi ketika dia menunjukan album foto. 
Foto-foto yang kulihat lebih banyak menampilkan kemesraan dirinya dengan gadis 
itu, ketimbang panoramanya. Aku jadi patah hati! 

Pertemuan pertama sungguh sangat tak berkesan, begitu tulisku saat kami bertemu 
beberapa bulan kemudian di dunia maya. Dia tanya kenapa. Tentu saja aku tak mau 
menjawabnya. Rasanya tolol kalau aku mengaku patah hati. Lalu dia janji akan 
membingkai pertemuan kami berikutnya dalam suasana yang penuh kesan. Ups, mana 
aku percaya. Aku hanya bisa menghibur diri, dia hanya teman dan selamanya 
teman. Aku menyingkirkan harapanku sejauh-jauhnya.
Waktu berlalu, kukira aku tak akan bertemu dia dalam dunia nyata lagi. Apalagi 
kami juga jarang bercakap-cakap di dunia maya, aku sibuk dengan pekerjaanku. 
Sekali-kali dia masih berkirim kabar melalui sms, aku hanya balas sebatas yang 
kupandang perlu saja. Tahu-tahu dia muncul lagi di Jakarta, duduk manis di lobi 
kantorku. Aku sampai terperangah dibuatnya.

"Kok, nggak bilang-bilang kalau mau datang," ucapku.
"Kamu sibuk sekali. Rasanya kamu tak punya waktu lagi buat aku," dia malah 
menuntut. "SMS ku saja jarang kamu balas," sambungnya sambil bersungut.
"Ya, kamu tahu sendirilah, pekerjaan sebagai wartawan itu harus full energi, 
menyita waktu, nggak ada tempat buat main-main," jawabku.
"Apa bergaul dengan aku adalah main-main?" dia bertanya, nadanya sangat kecewa.

Aku tertawa saja. Akhirnya, hari itu juga aku mengajukan cuti. Kantorku 
mengijinkan. Selama satu minggu kubawa dia keliling Bali dan Lombok. Menelusuri 
keindahan alam Bali dan Nusa Tenggara Barat. Dan, entah siapa yang memulai 
sebelumnya, kami terlibat dalam kecupan yang romantis di kaki gunung Rinjani. 
Dalam pendakian ke kawah Segara Anak, dia tak pernah melepas genggaman 
tangannya. Ketika kami terhanyut dalam panorama telaga warna Segara Anak, dia 
memelukku.

"Tya, maukah kamu menikah denganku?" ucapnya. Aku terpana. Aku tak dapat 
berpikir panjang, suasana alam yang indah, nyanyian angin yang mempesona 
membawaku ke alam magis. Entah kekuatan darimana, kepalaku mengangguk, tak 
hanya sekali tetapi tiga kali. Inikah cinta?

Sejak itulah, atas nama cinta hari-hari kami nikmati dengan indahnya. Kami 
terbakar cinta akibat panah asmara yang melancar ke dadaku dan Ronald. Kami 
bersatu, berikrar setia selamanya. Aku merajut angan, sementara Ronald rajin 
menebar mimpi tentang kehidupan yang akan kami jalani. Aku berjanji rela 
melepas karirku dan akan mengikuti dia tinggal di negaranya. Tapi apa yang 
terjadi, mimpi itu ternyata cuma sekejap. Dua tahun berlalu, Ronald tak kunjung 
mewujudkan mimpiku. Aku dibalut letih. Kulampiaskan konsentrasiku ke pekerjaan. 
Apalagi berbagai kerusuhan besar-besaran di daerah menyita waktuku. Aku terjun 
langsung meliput berbagai peristiwa kekacauan itu. Ronald sering protes, kenapa 
aku sering meninggalkan dirinya.

"Kenapa kamu selalu membiarkan aku menunggu?" keluhnya. Aku hanya jawab dia 
harus mengerti pekerjaanku. Dia harus memahami bahwa pekerjaanku sama 
pentingnya dengan nyawaku. Kalau dia menginginkan diriku dan waktuku, dia harus 
datang memenuhi janjinya. Menikah dan memboyong diriku ke negaranya. Sejak 
itulah, hubunganku dengannya kian jauh.

Puncaknya, kebersamaanku dengan Ronald, ternyata tak cukup menambah 
keyakinannya akan cinta sejati. Dia memutuskan pergi, meninggalkan cintaku.
"Kenapa?" aku bertanya dengan getirnya.
"Maafkan aku Tya, perasaanku kepadamu tak sekuat dulu," ucapnya.

Hari itu, dalam percakapan di dunia maya, hatiku dihujani gerimis. Basah 
jiwaku. Aku merasakan perihnya sakit hati. Terlebih ketika Ronald mengaku dia 
menemukan perempuan lain dalam hidupnya. Aku terkubur dalam getirnya patah 
hati. Dua bulan kemudian, dia muncul di rumahku. Melihat dia dalam wujud nyata, 
aku tak kuasa membendung rinduku. Kusadari penuh bahwa cintaku masih lekat 
padanya. Berulangkali dia menyatakan maafnya. Bahkan dia sampai bersimpuh.

"Apa kamu masih cinta pada aku?" tanyaku.
"Iya."
"Lalu kenapa kamu meninggalkan diriku?"
"Saya tidak pernah meningglkan kamu. Saya selalu bersama kamu."
"Omong kosong apa lagi ini," sengitku.
"Aku masih bersama kamu. Aku merasa hubungan sebagai saudara lebih baik untuk 
kita."
"Aku tidak mau!"

Selama di Indonesia, Ronald menunjukan kemesraannya seperti dulu. Aku tak kuasa 
menolak dirinya. Aku marah, tapi aku masih sangat mencintainya.
"Sebaiknya kamu lupakan aku. Aku tak bisa terus menerus kamu perlakukan seperti 
ini."
"Aku tidak mau, kita harus tetap berhubungan."
"Enak di kamu, nggak enak di aku," bantahku.
Hari itu, di hari terakhirnya di Indoneia, dia memelukku erat.
"Datanglah ke Belanda, aku menunggumu di sana," bisiknya.
"Buat apa aku ke sana?"
"Mengunjungi aku. Dan, mungkin kita akan hidup bersama di sana."
"Bagaimana dengan pacar barumu?" Dia diam tak menjawab. Ketika kudesak, dia 
hanya menjawab bahwa aku gadis beruntung, karena dia memilih bersamaku daripada 
dengan pacarnya.
"Kamu akan tinggalkan dia?" Ronald menggeleng. "Aku tak bisa ingkar kepadanya."

Sempurna sudah kemarahanku, kepadaku dia bisa ingkar, tetapi kenapa tidak 
dengan perempuan lain. Jika masih cinta kepadaku, mengapa pula harus 
mengorbankan dirinya untuk bersama perempuan lain. Dasar gombal, lelaki di mana 
saja, meski berbeda budaya dan bangsa, tetap saja sama. Jadi buat apa aku 
bersamanya, jika kepedulian dirinya ditujukan untuk perempuan lain bukan 
diriku. Aku sangat kecewa. Sejak itu, aku benar-benar menutup diri untuknya. 
Itu pertemuan terakhir. Kucoret Ronald dalam kehidupanku. Tak kubalas telepon 
dan smsnya. Kuabaikan semua emailnya. Bahkan panggilannya di Yahoo Messenger-ku 
tak pernah kutanggapi. Yang kutahu aku marah. Aku kecewa. Mimpiku kandas. 
Harapanku pecah menjadi serpihan.

Kini, sekian tahun berlalu, aku menginjakkan kakiku di negerinya Ronald. Aku 
mendapat beasiswa dari Universitas Leiden untuk program masterku. Di negeri 
yang elok arsitektur bangunan dan kanal-kanalnya, keingintahuanku terhadap 
perkembangan dirinya membuncah. Setelah urusan administrasi kampus selesai dan 
aku mendapatkan tempat di asrama,  aku memutuskan untuk mengunjunginya. Aku 
menyimpan dengan baik alamat rumahnya. Setidaknya di negeri ini, aku masih 
punya teman.

Dari Amsterdam aku naik kereta ke Rotterdam. Dari sana aku lanjutkan perjalanan 
ke Vlaardingen dengan taksi. Di sebuah rumah bercat putih di Jalan 
Cipressendreef  taksi berhenti. Seorang lelaki muda membukakan pintu, ketika 
aku memencet bel. Lelaki itu tercengang. Ketika kusebut namaku dan tujuanku 
untuk bertemu Ronald, dia terdiam lama. Ketika kesadarannya pulih, dia 
beteriak. Seorang wanita tua keluar. Aku melempar senyum padanya. Wanita tua 
itu tertegun sejenak, lantas dia menuntun tanganku dan meyuruhku duduk di sofa. 
Dia tetap mengenggam erat tanganku. Matanya berkaca-kaca. Tentu saja aku 
bingung dengan sambutan seperti itu.

"Saya mencari Ronald..." kataku terbata-bata.
"Ya, nanti kita akan bertemu Ronald. Kami mengenalmu dari cerita-cerita Ronald. 
Fotomu terpampang besar di kamar Ronald." Aku terdiam. Ah, sekian waktu 
berlalu, ternyata dia tak mengenyahkan diriku. Seperti apakah dia sekarang?

"Apa dia ada di sini?" wanita itu menggeleng. Dia mengajakku naik ke lantai 
atas. Di atas sana, katanya, kamar Ronald berada. Lelaki muda yang ternyata 
adiknya Ronald membuka pintu kamar Ronald. Dia mempersilahkan aku masuk. 
Kulihat sekeliling kamar itu. Sama persis seperti yang kulihat dalam web cam, 
saat kami bercakap-cakap di dunia maya. Di salah satu sisi dinding, fotoku 
dalam bingkai besar terpampang di sana. Di bawah foto itu tertulis deretan 
kata, "My great looking Angel." Sebaris kalimat menyertainya: Engkau  mengetuk 
pintu, saat aku sedang termangu, dua pertiga hatiku kau bawa lari, hingga kini 
belum kembali.

Aku luruh, air mataku menetes jatuh. "Di mana dia?" tanyaku. Wanita itu diam, 
tapi di ekor matanya terlihat genangan air. "Ada apa?" tanyaku lagi. Keheningan 
menyergap. Tanpa kata-kata, Ibu dan adik Ronald mengajakku keluar. Mereka 
membawaku pergi ke suatu tempat dengan mengendarai mobil. Pada sebuah gereja 
kecil, mobil berhenti.  Di belakang gereja kecil itu terhampar kawasan 
pemakaman. Aku tertegun. Rasa getir dan perih mulai mencabiki hatiku.

"Di manakah Ronald?" tanyaku dengan suara dilanda kalut. Pada sebuah nisan,  
tertulis nama Ronald. Dia meninggal hampir setahun yang lalu karena kanker 
otak. "Sepanjang hidupnya, dia selalu berharap bisa bertemu dengan Tya-nya 
kembali. Dia selalu bilang di kaki langit, dia menemukan cinta. Dan, hingga 
ajal menjemput, dia tetap mencintai kamu." Wanita tua itu terisak dan merebah 
dalam pelukan anaknya.  Aku terdiam. Tanpa suara aku meluruh dalam tangisku. 
Saat aku tengadah melihat langit, samar aku melihat Ronald. Dia melambaikan 
tangan seraya tersenyum. Maafkan aku, bibirku bergetar tanpa suara.

Attachment: 12405613
Description: Binary data

Kirim email ke