Bung Irwan, 

Uraian seorang pendeta dan teolog di bawah ini, yg saya kutip dari
milis lain, mungkin bisa menolong kita mengerti arti pengampunan dalam
teologi Kristen, sehingga tidak dibaca sebagai sebuah sikap cetek: sok
jaim, sok mulia, bahwa manusia harus tidak punya perasaan dan semacamnya. 

"Memberi maaf yang sungguh-sungguh ... adalah perkara yang sangat,
sangat sulit. Ini bukanlah suatu pemberian "anugerah murahan" (Ya,
sudah, maafkan saja!) , melainkan sesuatu yang menuntut penggunaan
enerji rohani yang sangat besar, dan, dalam keyakinan religius saya,
juga memerlukan intervensi ilahi ke dalam kalbu seorang anak manusia,"
 tulis Pdt. Ioanes Rakhmat.

Pengampunan dimaksud tidak meniadakan hukum positif.

Silakan disimak (konteksnya tentang hukuman mati),
Ida Khouw

------------------------

  Ketika seseorang menginginkan nyawa orang lain dicabut demi
kebenciannya kepada orang itu tersalurkan, maka orang yang sedang
dikuasai kebencian ini sedang berhadapan dengan persoalan yang sangat
mendasar dan eksistensial, persoalan yang menyentuh hakikat dasar
eksistensi dan tujuan kehidupannya sendiri sebagai makhluk yang
diciptakan dalam gambar ilahiah.  Ketika orang menghendaki nyawa orang
lain dicabut, baik oleh dirinya sendiri atau oleh negara, demi
dendamnya terlampiaskan, maka orang itu sedang merongrong hakikat
dasar dan tujuan eksistensinya sendiri. Ketika hakikat dasar dan
tujuan eksistensinya digoncang dan disimpangkan, maka ia pun berhenti
menjadi seorang manusia mulia. Jadi, persoalan penjatuhan hukuman mati
adalah persoalan yang sangat serius, yang bersentuhan langsung dengan
harkat dan martabat manusia, baik manusia yang mengorbankan maupun
yang dikorbankan.     
   
  Memberi maaf yang sungguh-sungguh kepada  pelaku tindak kriminal
berat (yang bisa dijatuhi hukuman mati), adalah perkara yang sangat,
sangat sulit. Ini bukanlah suatu pemberian "anugerah murahan" (Ya,
sudah, maafkan saja!) , melainkan sesuatu yang menuntut penggunaan
enerji rohani yang sangat besar, dan, dalam keyakinan religius saya,
juga memerlukan intervensi ilahi ke dalam kalbu seorang anak manusia.
Ketika seseorang bisa memaafkan orang yang sangat sulit atau tidak
pantas untuk dimaafkan, maka orang itu telah berhasil memandang wajah
Allah. 
   
  Pada pihak lain, Allah juga memberi wewenang pada negara untuk
menjatuhkan hukuman pada pelaku tindak kriminal. Seorang individu yang
takwa dan beriman, tidak bisa atas nama imannya meminta negara untuk
tidak menghukum. Yang menjadi tugas berat seorang individu adalah
memaafkan seorang yang sudah dijatuhi hukuman mati. Dan ia juga bisa
berjuang bagi digantikannya penghukuman mati dengan penghukuman seumur
hidup.  
   
  Salam, 
  Ioanes    


--- In mediacare@yahoogroups.com, IrwanK <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Seperti yang saya katakan sebelumnya, kita harus jujur bahwa kadang
antara
> ide dan realita tidak sejalan. Mengatakan 'kita harus memaafkan' memang
> terdengar indah/muluk di telinga.. Namun teramat sulit untuk
dijalankan..
> Ini yang saya sering sebut dengan 'sulitnya untuk konsisten' atau
'klaim dan
> seolah-olah'.. Sisi manusiawi kita akan sangat sulit menerimanya..
> 
> Sederhananya gini deh:
> a. Ada yang berprinsip 'hutang nyawa harus dibayar nyawa'..
> b. Ada yang berprinsip 'maafkanlah'..
> c. Ada yang berprinsip 'hukumlah dengan yang setimpal.. namun
apabila kalian
>     (korban/keluarga korban) memaafkan, itu lebih baik bagi kalian'..
> 
> Kira" yang paling realistis untuk dijalani yang mana ya? :-)
> 
> IMHO:
> 
> poin a, adalah sisi paling manusiawi (keras/ego).. jujur aja deh..
gak usah
> sok jaim..
> sok mulia.. Ini merupakan pola berpikir yang 'cukup adil'.. :-)
> 
> poin b, ini sisi paling lembek (egaliter/sosial) dan (sok) mulia..
paling
> jaim.. seolah
> manusia itu tidak (boleh) punya perasaan.. seperti malaikat atau robot..
> tidak boleh/
> mungkin sakit hati.. Ini merupakan (pemaksaan) agar termasuk kategori
> berjiwa
> besar namun dengan mematikan potensi dasar/sifat manusiawi seseorang..
> 
> poin c, merupakan kombinasi dari sisi manusiawi (keras/ego) dan mulia
> (lembek/
> egaliter/sosial).. Ini menggambarkan suatu pemakluman atas pola
pikir yang
> cukup
> adil meskipun terbuka terhadap pola berpikir (kategori) berjiwa besar..
> Sehingga membuka peluang manusia memasuki kategori yang lebih baik tanpa
> mematikan potensi dasarnya..
> 
> Bahwa setelah dimaafkan proses hukum terus dijalankan, itu merupakan
topik
> diskusi
> lanjutan.. Gimana benernya secara kemasyarakatan aja lah.. :-)
> 
> CMIIW..
> 
> Wassalam,
> 
> Irwan.K


Reply via email to