Maaf saya lebih heran lagi, mengapa saudara-saudara mempercayai dan 
memanuti seseorang yang tidak jelas sejarah maupun asal-usulnya? Saya 
benar-benar semakin mempertanyakan keyakinan teman-teman beragama Islam, 
setelah mengikuti diskusi-diskusi di milis ini. Ada yang menyebut, 
Mohammad punya istri 12, anda menyebut 7. Ada yang menyebut polygami itu 
adalah ajaran Quran, ada yang berpendapat bukan. Sebagian berkata, 
Aisyah dikawini ketika dia berusia 9 thn. Sebagian berkata, 6 thn. 
Mengapa biography Nabi besar ini sangat kabur?

Apa sebenarnya yang membedakan nabi Muhammad dari nabi-nabi lainnya? 
Semua nabi yang disebut dalam Tannah (Kitab orang Jahudi) dan Perjanjian 
Baru, (Kitab yang ditulis sesudah Yesus), masing-masing punya biograpi, 
missi dan doktrin yang jelas.

Mohon klarifikasi!!!

Roslina

Yudha P Sunandar wrote:
>
> saya masih heran kepada anda, apakah anda tidak melihat ayat tersebut 
> dengan korelasi antara artikel di atas? menurut sejarahnya yang saya 
> ketahui, ayat ini turun untuk membatasi karena terlalu banyaknya 
> poligami di lingkungan masyarakat arab pada saat itu. seperti yang 
> dituliskan di atas, setiap laki-laki memiliki 8 sampai 10 orang istri.
> saya juga merasa heran dengan para pria propoligami yang melihat bahwa 
> nabi memiliki 7 istri dan kemudian menjadi rujukan bahwa poligami 
> adalah boleh. bila dilihat lagi sejarahnya, nabi tidak memiliki 7 
> istri pada saat yang bersamaan, tetapi silih berganti. saya masih 
> mencari sumber sejarahnya kapan dan berapa banyak nabi memiliki istri 
> pada waktu yang sama. ada yang punya catatan sejarahnya? kirim via 
> email ya. thx.
> saya sempat membaca buku dari mansour fakih. dia mengatakan bahwa saat 
> ini tidak adanya perspektif gender dalam mentafsirkan ajaran2 agama. 
> saya yakin, kalau ajaran agama islam ini ditafsirkan dengan perspektif 
> gender, pasti poligami adalah tidak diperbolehkan. kepada mba dinda 
> terima kasih postingan artikelnya. sangat menambah pengetahuan saya.
> Yudha P Sunandar
> Sn
>
> On 05/12/06, *Ady Wicaksono* <[EMAIL PROTECTED] 
> <mailto:[EMAIL PROTECTED]>> wrote:
>
>     Sejauh pengetahuan saya
>
>     Hukum Poligami adalah BOLEH, bukan sunah, wajib, makruh atau HARAM
>
>     referensi Alquran (bisa search di http://quran.myquran.org/
>     <http://quran.myquran.org/>? - keyword kawin):
>
>     *[4:3]* Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
>     (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
>     *kawin*ilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
>     atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
>     ^265 , maka (*kawin*ilah) seorang saja^266 , atau budak-budak yang
>     kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
>     berbuat aniaya.
>
>
>
>
>     On 12/5/06, *Titiana Adinda* < [EMAIL PROTECTED]
>     <mailto:[EMAIL PROTECTED]>> wrote:
>
>         Dear All,
>
>         Aku peroleh ini dari milis tetangga.Semoga Bermanfaat.Selamat
>         membaca
>
>         Salam,
>
>         Dinda
>         =========
>
>         Kompas, Senin 12 Mei 2003
>
>         Benarkah Poligami Sunah?
>
>         Faqihuddin Abdul Kodir
>
>         UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran
>         poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya
>         bentuk lain
>         dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku
>         adil karena
>         pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku
>         adil sangat
>         sulit dilakukan (An-Nisa: 129).
>
>         DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena
>         sandaran kepada
>         teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah
>         dipatahkan. Satu-
>         satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak
>         mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi
>         mengapresiasi
>         poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks
>         perlindungan terhadap
>         yatim piatu dan janda korban perang.
>
>         Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh
>         Muhammad
>         Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad
>         al-Madan-ketiganya ulama
>         terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.
>
>         Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari
>         relasi
>         perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam
>         keadaan
>         darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak
>         menimbulkan kerusakan
>         dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
>
>         Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir
>         menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka,
>         perbuatan
>         itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi
>         menggelikan ketika
>         praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman
>         seseorang:
>         semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi
>         keagamaannya.
>         Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan,
>         semakin baik
>         kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan
>         misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu
>         indah", dan yang
>         lebih populer adalah "poligami itu sunah".
>
>         Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk
>         dilakukan.
>         Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang
>         dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif.
>         Alasannya, jika
>         memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak
>         pertama kali
>         berumah tangga?
>
>         Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada
>         berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah
>         masyarakat yang
>         menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW
>         bersama istri
>         tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28
>         tahun. Baru
>         kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami.
>         Itu pun
>         dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari
>         kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami
>         itu sunah".
>
>         Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah
>         penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus
>         poligami
>         Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai
>         perlindungan
>         terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri
>         kitab Jami' al-
>         Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
>         al-Atsir
>         (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
>         adalah media
>         untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga
>         sosial yang
>         ada belum cukup kukuh untuk solusi.
>
>         Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial
>         bisa dilihat
>         pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawin an
>         Nabi.
>         Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
>         Abu Bakr RA.
>
>         Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam,
>         ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang
>         sangat besar.
>         Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum,
>         tergantung
>         kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya.
>         Nikah bisa
>         wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan,
>         Imam al-Alusi
>         dalam tafsirnya, Rūh al-Ma'āni, menyatakan, nikah bisa
>         diharamkan ketika
>         calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak
>         istri, apalagi
>         sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan
>         poligami.
>         Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat
>         itu, lebih
>         memilih mengharamkan poligami.
>
>         Nabi dan larangan poligami
>
>         Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah
>         upaya
>         transformasi sosial (lihat pada Jāmi' al-Ushūl, juz XII, 108-179).
>         Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk
>         meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab
>         pada abad ke-7
>         Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda
>         sedemikian
>         rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak
>         mereka suka.
>
>         Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami,
>         mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan
>         berlaku adil
>         dalam berpoligami.
>
>         Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan
>         sampai
>         sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan
>         hanya empat.
>         Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah
>         ats-Tsaqafi RA, Wahb
>         al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan
>         eksplisit dalam
>         pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas
>         sama sekali.
>
>         Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan
>         prinsip
>         keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan:
>         "Barang siapa yang
>         mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil
>         kepada
>         keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan
>         terputus" (Jāmi' al-Ushūl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).
>         Bahkan, dalam
>         berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap
>         sabar dan
>         menjaga perasaan istri.
>
>         Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik,
>         pelurusan, dan
>         pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan
>         "poligami
>         itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan
>         Nabi. Apalagi
>         dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas
>         menolak
>         poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang
>         dimunculkan
>         kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para
>         ulama hadis
>         terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
>
>         Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah
>         binti
>         Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika
>         mendengar
>         rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik
>         mimbar, lalu
>         berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah
>         meminta izin
>         kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
>         Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
>         mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib
>         menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka.
>         Ketahuilah,
>         putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
>         menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti
>         hatiku
>         juga." (Jāmi' al-Ushūl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
>
>
>         Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir
>         setiap orangtua
>         tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi,
>         poligami
>         akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati
>         orangtuanya.
>
>         Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan
>         yang sunah
>         justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak
>         dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap
>         bermonogami
>         sampai Fathimah RA wafat.
>
>         Poligami tak butuh dukungan teks
>
>         Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah,
>         apalagi
>         sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik
>         poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.
>
>         Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris,
>         poligami dianggap
>         sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan
>         pengelolaan sumber
>         daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga
>         kerja ganda
>         tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur
>         masyarakat
>         telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak
>         lain dari
>         bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta
>         dan takhta
>         yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.
>
>         Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami
>         merupakan
>         proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli
>         pendidikan Freire,
>         dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala
>         perempuan yang
>         dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan
>         bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami
>         penderitaan lahir
>         batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap
>         penderitaan
>         itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau
>         poligami itu
>         terjadi karena kesalahannya sendiri.
>
>         Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap
>         mengemukakan argumen
>         statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti
>         untuk
>         menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang
>         antara lelaki dan
>         perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan
>         tertawaan. Sebab,
>         secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih
>         tinggi, namun
>         itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20
>         tahun.
>         Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan
>         45-49 tahun
>         jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun
>         2000; terima
>         kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).
>
>         Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana
>         prinsip yang
>         dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami
>         seharusnya dilihat
>         sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang
>         diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu
>         tindakan yang
>         dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan
>         kecuali bangkai.
>
>         Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau
>         poligami
>         dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti
>         kondisi ruang
>         dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan
>         ini bisa
>         berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena
>         itu, pilihan
>         monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip
>         adalah
>         keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar
>         syariah, yaitu
>         keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau
>         kerusakan (mafsadah).
>
>         Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai
>         prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya
>         perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini
>         prinsip karena
>         merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan,
>         untuk
>         pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris,
>         interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami
>         dalam realitas
>         sosial masyarakat.
>
>         Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan
>         Muhammad Abduh,
>         ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada
>         kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan
>         poligami.
>
>         Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak
>         dibenarkan
>         segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang
>         lain." (Jāmi'a
>         al-Ushūl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu
>         lebih prinsip
>         dari pernyataan "poligami itu sunah".
>
>         Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti
>         Fahmina Institute
>         Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah
>
>
>         
> ------------------------------------------------------------------------
>         Sekarang dengan penyimpanan 1GB
>         http://id.mail.yahoo.com/
>         <http://sg.rd.yahoo.com/mail/id/footer/def/*http://id.mail.yahoo.com/>
>
>
>
>
>
>
> -- 
> Yudha P Sunandar
> Sn
>  


Web:
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/

Klik: 

http://mediacare.blogspot.com

atau

www.mediacare.biz

Untuk berlangganan MEDIACARE, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/mediacare/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/mediacare/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke