Kolom IBRAHIM ISA
-----------------
08 Desember 2006

SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA? 
<Memperingati Ultah ke-58 Hari 10 Desember, 1948>
'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS'
Limapuluh delapan tahun yang lalu, dalam sidangnya di 'Palais de
Chaillot', Paris, pada tanggal 10 Desember 1948, Majlis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) mensahkan suatu DEKLARASI
UNIVERSAL. Sebuah DEKLARASI yang besejarah dan membikin sejarah.
Deklarasi tsb adalah 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS',
'Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia'. Ny. Eleanore Roosevelt,
istri mantan Presiden Amerika Serikat, Franklin D.Roosevelt, yang ikut
membuat rancangan dokumen bersejarah itu, menamakan dokumen UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS, adalah suatu MAGNA CARTA Internasional,
Magna Carta abad ke-20.

Ketika itu, tak satupun anggota PBB yang menentangnya. Namun, aneh dan
sayangnya, ada 8 negara anggota PBB yang tidak memberikan suara, alias
blanco. Lainnya, 48 negeri semuanya Acc. Yang memberikan suara blanco
itu adalah: Saudi Arabia dan 7 negeri-negeri dari blok Sovyet. Kalau
difikir-fikir sekarang, bagaimana bisa terjadi, negara seperti Saudi
Arabia (negara yang berdasarkan agama) suaranya bisa sama dengan
negara-negara blok Sovyet (negara-negara sosialis/Marxis yang
memperjuangkan keadilan sosial). 

Namun, kenyataannya demikianlah, itu sejarah. Saudi Arabia dan blok
Sovyet ada di satu barisan yang memberikan suara blanco terhadap
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS (UNO). Apakah itu suatu
kebetulan saja?! Besar kemungkinan karena kedua macam/sistim
kenegaraan tsb memberlakukan sistim pemerintahan yang totaliter. Yang
satu diktatur religius yang satu macam lagi diktatur ideologis.
Mengenai hal ini masih bisa panjang lebar pendiskusiannya.

*    *    *                   

Menggarisbawahi arti penting DEKLARASI, MU-PBB berseru kepada semua
negeri anggota PBB untuk menyebarluaskan teks DEKLARASI tsb, agar
dokumen itu dibaca dan dipelajari. Supaya isinya  dijelaskan terutama
di sekolah-sekolah dan dipelbagai lembaga pendidikan lainnya, tanpa
pembedaan yang didasarkan atas status politik negeri-negeri maupun
wilayah. Titik berat dan sasaran utama pendidikan adalah generasi
muda. Agar generasi mendatang memahami, mengkhayati dan memperjuangkan
HAM di mana prinsip itu belum diberlakukan.

*    *    *

Bisa dikatakan dengan pasti bahwa salah satu cara yang positif dan
efektif untuk memperingati tanggal 10 Desember 1948, lahirnya
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS <10 Desember 1948>, adalah
dengan memeriksa situasi kehidupan hukum di negara Republik Indonesia.
Pertanyaan berikut ini harus dengan serius mendapat jawaban: Apakah
negara RI sudah bisa dikatakan suatu negara hukum dalam arti kata yang
sesunguuhnya? Sampai di mana prinsip-prinsip HAM dan demokrasi seperti
 yang dinyatakan dalam UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS itu,
telah diberlakukan/dipraktekkan oleh lembaga-lemaga yudikatif,
legeslatif dan ekekutif di Indonesia? Seberapa serius dan seberapa
berat pelanggaran hukum yang sudah berlangsung di negeri ini, dimana
pelakunya adalah penguasa itu sendiri. Dimana korbannya adalah
warganegara sendiri yang tak bersalah? Sampai dimana pula
pelanggaran-pelanggaran HAM itu sudah diakhiri dan diatasi.

Barangkali hanya dengan cara memeriksa keadaan negara kita sendiri,
akan ada artinya setiap kali kita memperingati HARI UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS. Dengan demikian diharapkan akan
memberikan kesadaran dan dorongan baru terhadap usaha, kegiatan dan
perjuangan riil untuk memberlakukan HAM di negeri kita. Baik itu di
kalangan penguasa dan pemerintah, maupun di kalangan masyarakat, di
kalangan LSM dan ornop yang menjadikan pemberlakuan HAM dan
prinsip-prinsip demokrasi sebagai misi dan visinya.

Kita tahu bahwa pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM terbesar
dalam sejarah Indonesia, --- dimulai, segera sesudah terjadinya
peristiwa G30S, 
1 Oktober 1965. Peristiwa itu terkenal di mancanegara,
<berangsur-angsur juga mulai dikenal, dibicarakan dan ditulis  di
negeri kita sendiri>, sebagai 'Peristiwa Pembantaian Masal 1965'
terhadap ratusan ribu bahkan dikatakan sampai 3 juta orang yang tidak
bersalah (angka tiga juta korban tsb diungkapkan oleh Jendral Sarwo
Edhie dari Angkatan Darat, sebelum ia meninggal dunia). Pelanggaran
HAM terbesar tsb adalah rekayasa dan tanggungjawab langsung kelompok
militer di bawah Jendral Suharto dengan dukungan sementara parpol dan
kekuatan religius dalam masyarakat kita. Mengenai keterlibatan
kekuatan religius dalam kampanye pembantaian itu, telah dengan jujur
diungkapkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau
sebagai tokoh pimpinan NU minta maaf atas keterlibatan pemuda-pemuda
NU (Ansor) dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau diduga PKI
di Jawa Timur.

*   *   *

Mengenai pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan oleh penguasa,
oleh pemerintah ORBA, banyak yang bisa dikemukakan dan dianalisis. Ini
suatu tantangan terhadap pemerintah untuk mengkoreksi
kesalahan-kesalahan masa lampau di bidang HAM. Sudah ada janji, ada
usaha, tetapi masih jauh dari harapan dan tuntutan keadilan. Salah
satu lembaga penelitian ekonomi di bawah PBB, mengungkapkan bahwa,
dari 180 negara yang dipantau mengenai keterlibatannya dalam
pemberlakuan demokrasi, Indonesia tergolong ranking nomor 65 (lihat
penerbitan 'The Third World In 2007' – sumber: 'KabarIndonesia').

Apakah kita boleh berbangga dengan penggolongan yang mendudukkan
Indonesia nomor 65 di dunia dalam pelaksanaan demokrasi? Kiranya
tidak, mengingat pemberlakuan HAM, yang hakikatnya adalah pemberlakuan
hak-hak demokrasi bagi setiap manusia, hal tsb di negeri kita,  masih
amat jauh dari tuntutan dan harapan. Maka tidaklah pada tempatnya kita
merasa puas dengan penilaian lembaga PBB tsb.
Mengingat pula pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, dalam
'Peristiwa 1965', masih belum dijamah secara serius oleh penguasa dan
lembaga yudikatif, termasuk oleh lembaga-lembaga pembelaan HAM seperti
KOMNASHAM.

*    *    *

Pada judul Kolom ini, ditulis dengan huruf-huruf besar 'SAMPAI DIMANA
HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?'. Pada tempatnyakah, relevankah
mengajukan pertanyaan  demikian itu? 

Untuk mengambil satu dua contoh saja: Baik kita tinjau sekilas tentang
peristiwa yang baru saja terjadi belakangan ini, yaitu mengenai
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehubungan dengan UU KKR. 

Media Indonesia ramai memberitakan pernyataan Mahkamah Konstitusi,
bahwa -- UU KKR BERTENTANGAN DENGAN UUD   1945.  Kongkritnya, Pasal 27
UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU
KKR) yang berbunyi: "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan"
 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Dinyatakan selanjutnya:  Karena
seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal
tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal
berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk
dilaksanakan. 

Keputusan Mahkamah Konstitusi diuraikan a.l  sebagai berikut:

Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945
karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban
karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada
sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti. Amnesti ini sepenuhnya
merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak setelah
mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa
yang bersangkutan adalah korban. Dengan demikian adalah tidak adil
bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan
sebagai hak [Pasal  29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan
rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak.
Disimpulkan bahwa Pasal 27 UU KKR Tidak Memberi Kepastian Hukum dan
Keadilan.

*   *   *

Putusan MK tersebut merupakan jawaban atas permohonan uji materi
(judicial review) yang diajukan sejumlah korban pelanggaran HAM dan
para aktivis dari LSM. Seperti: Asmara Nababan (Elsam), Ibrahim Zakir
(Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat
Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga
Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, H.
Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan
Kebenarandan Rahardjo Waluyo Djati mewakili korban penculikan aktivis
1998. 

Pemohon sebenarnya hanya mengajukan uji atas Pasal 27, Pasal 44, dan
Pasal 1 angka 9 UU KKR (lihat grafis). Namun MK justru mencabut secara
utuh UU KKR tersebut. Maka timbulah pelbagai tanggapan dan reaksi.

Di satu fihak, adanya keputusan MK sebagai jawaban atas putusan
perkara 006/PUU-IV/2006, telah memfokuskan kembali perhatian
masyarakat terhadap kekurangan serius yang terdapat dalam UU-KKR.
Sekaligus ada pendapat keras yang mempertanyakan sebab-musabab
sesungguhnya mengapa MK memutuskan meniadakan samaekali secara utuh UU-KR.

Betapapun harus diperhatikan  dan ditanggapi reaksi dan tanggapan yang
bermunculan terutama dari kalangan masyarakat aktivis HAM. Salah
seorang aktivis pusat ELSAM, pernah menyatakan kepada Penulis, bahwa
betapapun UUKR merupakan wadah yang bisa dimanfaatkan demi perjuangan
pemberlakuan HAM di negeri kita. Untuk begitu saja membatalkan UU KKR,
dipertanyakan, apakah itu merupakan suatu keputusan yang terburu-buru
bahkan suatu tindakan yang  k e b a b l a s a n? Karena UUKR dengan
kekurangan-kekurangan serius yang diidapnya, namun, juga  mencakup
hal-hal yang memberikan syarat/memungkinkan dilakukannya perjuangan
demi kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi.

Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut secara keseluruhan
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.

Seperti kita saksikan keputusan MK untuk mencabut UU KKR secara utuh,
telah menimbulkan reaksi. Ada yang keras dan ada yang kecewa. Bukan
saja dari kalangan masyrakat, tetapi juga dari salah seorang Hakim
Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Pendapat 'orang dalam' berbeda dengan
pendapat mayoritas dalam MK. Baik diingat, pendapat minoritas belum
tentu salah, sebaliknya pendapat mayoritas tidak mesti itu yang benar.

Hakim I Dewa Gede Paliguna, misalnya,  menyatakan pendapat yang
berbeda (dissenting opinion). Tanpa UU itu, kata D.G. Paliguna, 
kebenaran akan sulit diungkap. Karena berdasar akal sehat, pelaku
(pelanggaran hukum)sulit diminta untuk mengakui perbuatannya. "Padahal
pengungkapan merupakan syarat yang harus ditemukan untuk memulihkan
hak-hak korban". 
  
Asmara Nababan (Elsam) berpendapat, putusan itu membuat masyarakat
korban pelanggaran HAM harus menunggu lama untuk hingga kebenaran
kasus mereka diungkap. "Yang menyedihkan, membuat masyarakat masih
harus lama menunggu pengungkapan kebenaran peristiwa". Putusan MK itu
membuktikan betapa buruknya kualitas UU yang dibuat DPR bersama
pemerintah. "Kalau DPR dan Pemerintah mawas diri, mereka harusnya
meminta maaf kepada masyarakat sebagai pembayar pajak, karena sudah
menghabiskan uang puluhan miliar untuk UU yang ternyata dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945".

Sedangkan mantan Wakil Ketua Pansus UU KKR DPR M Akil Mochtar menilai
putusan Mahkamah Konstitusi itu membuat prospek penyelesaian masalah
HAM suram.
"Penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi tidak jelas. Semua pihak
tidak punya komitmen untuk itu. Kalau MK menganjurkan rekonsiliasi
bangsa melalui jalur politik kan makin nggak jelas lagi".

"Putusan MK itu menutup para korban secara hukum untuk menggugat
pelaku pelanggaran HAM," kata Direktur Hukum Reform Institute, Ifdal
Kasim kepada Pembaruan, Jumat (8/12). Ifdal sangat menyayangkan MK
yang memutuskan mencabut semua isi UU KKR, padahal yang diminta
pemohon cuma tiga pasal. 


*    *    *

Walhasil, 'ceitera' mengenai perjuangan untuk diselenggarakannya
Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan, tampak masih
cukup rumit, banyak lika-likunya dan akan makan waktu lama. 

Kita tidak bicara mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya,
misalnya, kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM Munir, yang sampai di
bawa ke luarnegeri. Meminta bantuan Belanda dan Amerika. Hal mana
menunjukkan bahwa lembaga peradilan Indonesia, lembaga kepolisian
tidak mampu (atau tidak punya political will yang memadai),  sehingga
mengenai kasus Munir-pun yang sudah kongkrit dijanjikan oleh Presiden
akan ditangani, nyatanya masih jauh dari solusi yang diharapkan. Masih
gelap siapa pelaku pembunuhan terhadap Munir. 

*   *   *

Keputusan Mahkamah Konstitusi mencabut secara utuh UU KKR tersebut,
telah membuka perdebatan dan diskusi baru lagi mengenai masalah
Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan. Dibukanya
perdebatan ini bisa punya dampak positif untuk mendidik masyarakat
mengenai masalah pemberlakuan HAM di Indonesia.

Kita sebut dua kasus saja, satu yang menyangkut UUKR dan putusan
Mahkamah Konstitusi, dan yang satunya kasus Munir. Itu saja sudah
cukup memberikan gambaran sampai dimana HAM sudah diberlakukan di
negara Republik Indonesia tercinta.

Berarti bahwa perjuangan pemberlakuan HAM di Indonesia masih akan
makan waktu lama, memerlukan usaha keras dan berani, sampai tampaknya
hasil-hasil pertama yang diharapkan. 

*   *   *
  

Kirim email ke