Teman-teman di Kompas diam saja urusan ini, karena
mereka yang bekerja keras penuh disiplin tahu, bahwa
yang dipecat itu tidak punya etos kerja, tidak
disiplin bahkan melanggar perjanjian yang
ditandatanganinya sendiri (dan juga karyawan lain),
yang berbunyi '"...bersedia ditempatkan di mana saja
di seluruh Indonesia." Nah, ketika ia hendak
ditempatkan di daerah, lalu diperpolitikkan seakan
karena dia pengurus SP. Enak benar, kalau begitu.
Bagaimana dengan rekan-rekan wartawan Kompas lainnya
yang sejak puluhan tahun sering dipoeskan di luar
kota, bukan hanya enak-enak di Jakarta, meliput
seminar, jumpa pers, wawancara. Jadi idealisme dan
nilai-nilai Kompas yang macam-macam itu, termasuk etos
kerja dan disiplin kerja. Ini sekedar catatan yang
saya dengar sendiri dari para wartawan Kompas yang
banyak menghasilkan karya-karya.


--- dimastakha <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Bung, cobalah lebih balance. Anda kan wartawan
> senior, tidak usah
> terjadi hanya percaya satu sumber. Jika itu terjadi,
> tentu memalukan
> bukan?
> Tanya juga teman2 di Kompas, apa yang sesungguhnya
> terjadi.
> Jangan terkesan Bung ada dendam terhadap Kompas?
> Serta, apakah tempat Anda bekerja saat ini lebih
> baik dari Kompas?
> 
> 
> salam
> dimast,
> ikut prihatin juga
> 
> --- In mediacare@yahoogroups.com, Satrio
> Arismunandar
> <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> > Teman-teman,
> > 
> > Saya mendapat e-mail dari Sri Yanuarti (Yanu),
> peneliti LIPI,
> pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik
> Indonesia), dan istri dari
> wartawan Kompas Bambang Wisodo, via milis AIPI.
> Isinya berkenaan
> dengan kasus pemecatan Bambang Wisudo oleh manajemen
> Kompas, terkait
> soal serikat pekerja di Kompas. Yanu adalah rekan
> saya di AIPI,
> sedangkan Wisudo adalah juga rekan sesama pendiri
> AJI (Aliansi
> Jurnalis Independen), dan dulu juga saya pernah
> sama-sama kerja di Kompas.
> > 
> > Saya sangat terkesan, bahwa menghadapi saat-saat
> sulit dan penuh
> tekanan, Yanu, Wisudo dan keluarga tetap tenang dan
> tabah. Artinya,
> perjuangan serikat pekerja ini bukan semata-mata
> urusan Wisudo, tetapi
> sejak awal sudah disadari dan didukung penuh oleh
> istri/keluarga.
> Tentu dengan berbagai risikonya.
> > 
> > Dalam kondisi ekonomi dan politik sekarang, di
> mana nuansa
> pragmatisme dan oportunisme, kepentingan mau enak
> sendiri, masih
> sangat kuat, saya merasa salut bahwa masih ada
> orang-orang yang
> berjuang untuk idealismenya. 
> > 
> > Kalau Wisudo mau hidup enak dan nyaman di Kompas,
> perusahaan media
> yang sudah sangat mapan di Indonesia (koran terbesar
> dan paling
> berpengaruh), sebetulnya bisa saja. Kompas adalah
> salah satu dari
> sedikit media yang menyediakan pensiun buat
> karyawannya. Namun, Wisudo
> memilih jalan lain, dan kini dia menanggung risiko
> perjuangannya.
> Yakni, dipecat oleh manajemen Kompas.   
> > 
> > Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian,
> dan tidak ingin
> menduga-duga. Yang jelas, Wisudo dkk akan terus
> berjuang, di dalam
> Kompas maupun di luar Kompas. Salah satu
> alternatifnya tentu lewat
> jalur hukum (LBH). 
> > 
> > Di sini saya menilai, tindakan represif terhadap
> aspirasi karyawan
> yang sah, seperti dialami Wisudo, tidak akan
> menghasilkan dampak yang
> baik bagi perusahaan. Namun, yang jauh lebih
> merugikan Kompas
> sebetulnya adalah masalah reputasi dan image, yang
> terkait dengan visi
> dan misi Kompas, yang merupakan akar keberadaan
> perusahaan yang
> didirikan PK Oyong (alm) dan Jakob Oetama ini. 
> > 
> > Bukankah Kompas adalah perusahaan media yang
> selama ini (lihat tajuk
> rencana/editorialnya) sering mengangkat isu-isu
> demokratisasi,
> keterbukaan, hak-hak asasi, dan sebagainya? Bukankah
> Kompas menganut
> dan meyakini nilai-nilai "humanisme transendental"?
> Apakah itu sekadar
> gincu, dan bukan genuine values yang dianut Kompas,
> mengingat secara
> internal ternyata nilai-nilai itu masih
> dipertanyakan, karena tidak
> terimplementasi? 
> > 
> > Jika demikian halnya, bagaimana Kompas sebagai
> institusi dan bagian
> utama/tulang punggung KKG (Kelompok Kompas Gramedia)
> akan melangkah
> memasuki abad baru dunia informasi dan globalisasi,
> dengan segala
> dinamika perubahan, tantangan, ancaman, jika tanpa
> dukungan akar
> nilai-nilai mendasar, yang memberi makna pada
> keberadaannya? 
> > 
> > Selama ini, perekat yang mempertahankan keutuhan
> KKG adalah figur
> Pak Jakob Oetama (JO), sebagai generasi pendiri yang
> memiliki wawasan
> kuat ke depan, nasionalisme, kharisma, wibawa dan
> intelektualitas.
> Namun, dengan segala hormat atas kekuatan
> manajerialnya, JO tidak akan
> memimpin KKG selama-lamanya. 
> > 
> > Lalu bagaimana KKG dan Kompas akan melangkah jika
> nanti ditinggalkan
> JO, sementara core values yang menjadi landasan
> berdirinya dan
> suksesnya lembaga Kompas, justru mengalami erosi
> karena
> langkah-langkah "pragmatis-oportinistis" jangka
> pendek? Bukan tidak
> mungkin, langkah-langkah semacam ini akan diteruskan
> oleh para
> pimpinan Kompas/KKG pasca JO nanti. Mereka adalah
> generasi baru, yang
> mungkin kurang menghayati nilai-nilai awal yang
> ditanamkan generasi
> pendiri.
> > 
> > Mempertimbangkan hal itu, saya berharap, Pak Jakob
> dengan segala
> kearifannya, sebagai figur yang menjadi panutan dan
> dihormati di KKG
> dan Kompas, dapat ikut campur tangan melakukan
> intervensi. Karena yang
> dipertaruhkan di sini BUKAN cuma nasib Wisudo, Yanu
> dan keluarga,
> tetapi nasib dan survivabilitas dari KKG, Kompas,
> dan nilai-nilai
> luhur (core values) yang selama ini dianut,
> diyakini, dihayati, dan
> terbukti telah membesarkan Kompas.
> > 
> > Selain itu, yang dipertaruhkan bahkan juga bukan
> nasib sekian ribu
> karyawan Kompas dan KKG, tetapi jutaan stakeholders
> yang berkaitan
> dengan keberadaan institusi media besar ini,
> termasuk para pembaca
> Kompas di seluruh pelosok Indonesia. Peran media
> sangat penting untuk
> kemajuan negeri ini. Peran vital media seperti
> Kompas masih amat
> dibutuhkan, untuk ikut menggalang dukungan dari
> jutaan rakyat
> Indonesia -- yakni, mereka yang masih punya
> idealisme dan niat baik--
> untuk bersama-sama menyelamatkan Indonesia.   
> > 
> > Sekali lagi, saya berharap, agar Pak Jakob, yang
> saya anggap sebagai
> salah satu guru saya dalam ilmu jurnalistik dan
> wawasan kewartawanan,
> bersedia untuk turun tangan langsung, demi kebaikan
> dan kelangsungan
> institusi KKG dan Kompas, beserta nilai-nilai luhur
> yang selama ini
> memberi makna pada keberadannya.  
> > 
> > 
> > Wasalam,
> > Satrio Arismunandar
> > 
> > (mantan jurnalis Kompas, yang dibesarkan di Kompas
> pada 1988-1995,
> dan selama itu banyak belajar tentang ilmu
> jurnalistik dan kearifan
> dari guru-guru saya di Kompas)
> > 
> > 
> >
>
=========================================================================
> > (dari milis AIPI, ditulis oleh Yanu:)
> > 
> > Saya ucapakan Terimakasih atas dukungan yang
> > diberikan Mas Rio terhadap saya dan keluarga.
> > Perlakukan yang diberikan jajaran manajement
> Kompas
> > terhadap suami saya, adalah satu resiko yang sudah
> > kami hitung sejak lama. Perjuangan suami saya Wis
> > (Bambang Wisudo) tentang pemilikan saham karyaam
> > bukanlah perjuangan yang dilakukan dalam hitungan
> 
=== message truncated ===


 



 
____________________________________________________________________________________
Need a quick answer? Get one in minutes from people who know.
Ask your question on www.Answers.yahoo.com

Kirim email ke