Kalau urusan pornografi ini ditempatkan sesuai konteks kultural, seperti usul 
pak lisman, ya susah juga pak. soalnya nanti tiap kelompok saling meng-klaim 
diri dan kelompoknya paling benar secara kultural. Orang Bali dan Papua, pasti 
lah duluan bersuara, mengingat bagaimana pakaian daerah mereka. Tp bagaimana 
juga dengan org yang biasa berbudaya baju tertutup, seperti di sumatera, di 
aceh, dsb? atau kelompok-kelompok masyarakat lain yang rada gerah melihat 
pornografi dengan bebasnya ada dimana-mana? 
   
  kalau menurut saya, yg sekarang meributkan 'RUU Pornografi' ini sama-sama 
ekstrim: kelompok bu gadis yg ekstrim banget memperjuangkan kebebasan 
berpakaian dan batasan-batasan pornografi itu apa, dan di sisi lain ada 
"kelompok islam" yg juga tidak mau kalah galaknya sama kelompok bu gadis, 
maunya serba ketutup. 
   
  juga kenapa suara-suara masyarakat yang moderat tidak pernah disuarakan, di 
media-media massa. kenapa lagi-lagi yg nongol aliansi bhinneka tunggal ika (yg 
sebetulnya hanya mewakili segelintir kelompok), dan massa muslimah FPI, dsb. 
   
  kok bisa sesama manusia indonesia senengnya saling bentrok. heran saya.
   
  wsm

Lisman Manurung <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Di sebuah siaran TV internasional, RUU ini mulai
memperoleh tempat. Dua tokoh diwawancara, yakni Inke
Maris dan Dr Gadis dari UI. Tokoh Inke Maris
menghubungkan issue ini dengan perlindungan anak dari
tayangan pornografi. Dia setuju dengan UU ini. Bu
Gadis berbeda pandangan. Dr. Gadis mengatakan bahwa
sudah ada pengaturan untuk tindak kejahatan
pronografi. Jadi sudah ada UUnya, cuma tidak secara
langsung menyoal pornografi.Masalahnya menurut Dr
Gadis adalah lemahnya penegakan hukum. Jadi dia tidak
setuju RUU APP.

Cerita Lain: UU ini sangat disikapi dengan serius
oleh pemerhati internasional. Sementara itu di sisi
lain, UU ini sangat didukung oleh aliran agamis yang
puritan di Indonesia, baik itu Islam maupun Kristen,
tetapi yang pasti bukan Hindu Bali. Lalu peru ditanya,
macam mana pula nantinya keinginan orang-orang
internasional itu?. Tentu harus ada pemahaman mengenai
ini, sebab kita kerap tak nyangka jadinya begitu,
padahal kita tidak bermaksud begitu. Itu karena kita
kurang mendalami secara ilmiah proses budaya politik
dan sejarah kita membuat Undang-Undang.


Yang menolak UU ini termasuk saya, berpandangan bahwa
penegakan etika tidak semata-mata urusan negara, sebab
seks itu sebetulnya juga kawasan etika. Para pihak
yang memiliki otoritas, tetapi bukan pemerintah,
seperti ulama pastur, public figure dapat bekerja di
wilayah ini, dan janganlah negara lagi, menurut saya.
Logika saya, negara sudah perlu dirampingkan tugasnya,
namun tidak berarti lembaga-lembaga non pemerintah
berpangku tangan. Jadi persisnya, urusan demikian itu
harus semakin kita tempatkan dalam konteks kultural
kita saja. Sebab tidak semua nilai-nilai luhur bangsa
kita yang kita miliki sekarang ini hanya menjadi
demikian karena hadirnya agama-agama di nusantara.
Kitapun punya kearifan-kearifan yang sudah ada sebelum
agama-agama kita anut di sini.

Jadi, singkat kata, di dalam ke de-pe-eran juga perlu
diterima nilai kalah, seperti layaknya sepak bola atau
olah-raga. Cuma bedanya, jika pengusulnya ditolak,
janganlah pengusulnya merasa kehilangan muka, tetapi
yang perlu dilakukannya dalah mencari issu lain yang
lebih memperoleh tempat di hati semua warga, seperti
misalnya bagaimana agar ada ketentuan hukum untuk
menegaskan alokasi dana pendidikan, keringanan pajak
bagi perusahaan yang memberikan beasiswa atau
sumbangan sosial dan lain-lain. Ah macam-macam yang
lebih baiklah.


--- Wido Q Supraha wrote:

> 24/01/2007 12:57 WIB
> 
> 
> 
> RUU APP Jadi RUU Pornografi
> 
> Iqbal Fadil - detikcom


Web:
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/

Klik: 

http://mediacare.blogspot.com

atau

www.mediacare.biz

Untuk berlangganan MEDIACARE, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Yahoo! Groups Links





 
---------------------------------
 Get your own web address.
 Have a HUGE year through Yahoo! Small Business.

Reply via email to