Indonesia, 10 Besar Ekonomi 2030?

Christianto Wibisono

Pada hari Jumat 26 Januari, Sugeng Saryadi mengundang saya, Dr Chatib Basri,
dan Ichsanuddin Noorsy dalam acara Q TV membicarakan RUU Pembangunan Jangka
Panjang.

Sayang bahwa Menteri Paskah Suzetta berhalangan hadir. Sugeng dan Chatib
mencatat RUU itu sarat rumusan normatif kualitatif dan miskin kuantitatif.

Ichsanuddin malah kurang puas total. Yang digarisbawahi oleh Sugeng dan
Chatib ialah, RUU ini masih merupakan residu pola pemikiran Orde Baru dimana
Presiden Soeharto berkuasa tujuh kali masa jabatan. Karena itu ia memakai
GBHN dan pada awal Orde Baru, Ali Murtopo terkenal dengan teori Akselerasi
Modernisasi dalam 25 tahun Indonesia akan jadi seperti Jepang.

Pada 1998 orang mengatakan, rencana itu memang sukses, bahwa Indonesia jadi
seperti Jepang. Tapi yang ditiru ialah kredit macetnya dan krisis
moneternya. Karena sebetulnya setelah krismon Asia Timur yang dimulai dari
Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan, maka setelah itu Jepang sendiri juga
mengalami kredit macet dan restrukturisasi perbankan yang sangat drastis.

Ramalan The Economist Intelligence Unit, (EIU) yang dalam jangka panjang
optimis bahwa Indonesia akan masuk dalam 10 besar kekuatan ekonomi di tahun
2030.

Sekarang berdasarkan PDB berada pada peringkat 21 di bawah Taiwan.
Kadang-kadang kita memang berpenyakit hypochondria terlalu takut bahwa diri
kita sakit dan menderita, padahal dokter bilang sehat.

Cuma kekhawatiran, trauma, dan memang ada sakit tapi tidak segawat yang kita
"rasakan", ini komentar dari Cyrillus Harinowo, Komisaris BCA.

Tentu saja tidak berarti kita harus lengah dan puas diri dan kurang alert
terhadap perkembangan regional dan global. Presiden Yudhoyono baru saja
mengumumkan pembubaran CGI dengan rasa percaya diri.


Meningkatkan Kualitas Hidup

Memang posisi Indonesia ini penuh paradoks. Pertumbuhan makro 6,5 persen
tapi banyak sektor mikro dan sektor riil mengeluh. Orang juga selalu
khawatir ketinggalan dari negara ASEAN lain, padahal tidak terlalu terpuruk
dibanding misalnya Filipina dan bahkan karena kudeta, citra Thailand merosot
dibanding Indonesia.

Proyeksi jangka panjang yang kuantitatif tentu tidak hanya menyangkut
besaran PDB atau angka ekspor dan investasi yang sekarang sedang gurem.
Proyeksi nasional tentu mencakup Human Development Index (HDI) bagaimana
meningkatkan peringkat kualitas hidup manusia Indonesia.

Bagaimana penegakan HAM dan pemberantasan korupsi bisa menstimulir
pertumbuhan ekonomi dan arus investasi. Bagaimana diplomasi bisa menunjang
arus investasi bilateral maupun multilateral.

Walhasil suatu proyeksi Pembangunan Jangka Panjang RI tentu juga harus
memperhitungkan proyeksi jangka panjang negara tetangga, seperti misalnya
visi Malaysia 2020 yang singkat jelas kuantitatif, mau jadi negara maju
dengan pendapatan per kapita setara dengan OECD belasan ribu dolar AS.

Juga proyeksi RRC dan India sebagai kekuatan ekonomi raksasa dunia pada
2030. Kemerosotan pemain lama Jerman, Prancis, Inggris untuk digantikan oleh
Uni Eropa secara ter-padu juga masih memerlukan waktu.

Pelaku bisnis kelas regional dan global dibutuhkan untuk bisa memanfaatkan
globalisasi. Misalnya dapatkah fakta dan realitas unik, munculnya raja besi
dunia dari pemilik pengelola pabrik besi kecil di Surabaya PT Ispat Indo,
dimanfaatkan untuk turut mengangkat peringkat global Indonesia dan juga
memberi kontribusi lebih pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Saya mendengar dari Menteri Perindustrian Fahmi Idris, bahwa Wapres Jusuf
Kalla sudah mengundang Laksmi Mittal untuk menggarap dan membangun pabrik
besi baja di Kalimantan. Laksmi Mittal ini sekarang adalah raja besi baja
dunia yang jauh meninggalkan saingan terdekat Nippon Steel, mirip Golkar
dulu mengalahkan partai lain.

Merger lintas negara juga sebetulnya merupakan suatu metode untuk mengatasi
persaingan bila tidak mampu melakukan sendiri. Contoh merger Chrysler dan
Daimler bukti bahwa sekalipun pabrik mobil ketiga di AS tidak kuat dan harus
bersedia jadi mitra junior Daimler Jerman. Nissan Jepang harus rela bermitra
dengan Renault Prancis dipimpin CEO dari Lebanon yang menjadi kiblat dan
model sukses restrukturisasi perusahaan.

Belakangan ini memang arus merger agar di luar dugaan karena apa yang
disebut perusahaan Dunia Ketiga seperti RRC, In-dia, Dubai, dan Saudi
Arabiasecara agresif melakukan akuisisi perusahaan besar di Eropa dan
AS.

Ketakutan pencaplokan bisnis ditambah latar belakang perang geopolitik
menambah pertimbangan antipati dan veto terhadap beberapa gebrakan
perusahaan Dunia Ketiga.

Dubai Port World akhirnya melepas enam pelabuhan AS yang diambil oper dari
perusahaan Inggris P & O kepada AIG, grup asuransi AS.


Memperkuat Posisi Tawar

Kita selalu mengeluh tentang akuisisi perusahaan Indonesia oleh asing,
apakah itu dari Singapura dan Malaysia.

Kalau kita memang belum berdaya untuk mencegah atau melakukan akuisisi
sendiri, bagaimana kalau memperkuat posisi tawar dengan negosiasi yang
integral.

Misalnya kalau Singapura memang butuh banyak proyek di Indonesia, kita bisa
bilang, RI mau ikut ambil bagian dalam saham-saham BUMN Singapura seperti
Temasek.

Jadi ada semacam lintas kepemilikan saham. Memang orang bisa berdalih bahwa
itu adalah putusan pasar, mekanisme bursa, dan hanya kalau Anda punya duit
Anda bisa beli saham.

Tapi tentu profesional dan pakar yang biasa mengatur pelbagai metode Wall
Street bisa menemukan yang canggih supaya Indonesia bisa kebagian dalam
percaturan global.

Tentu memang harus rela bukan sebagai pemilik mayoritas. Tapi hasil akhirnya
bisa dinikmati dan secara kuantitatif lebih besar dari sekadar berkukuh
menguasai mayoritas.

Contoh-contoh mikro dari akuisisi perusahaan swasta Indonesia oleh MNC
dimana pemegang saham RI memang secara persentase menurun, tapi deviden yang
diterima jauh lebih besar, dan berlipat kali dibanding waktu 100 persen
dikuasai orang Indonesia.

Di zaman globalisasi ini memang harus diakui gejolak nasionalisme politik
sangat kuat, bahkan di AS dan Eropa pun yang mengalami akuisisi terbalik
oleh perusahaan Dunia Ketiga, terjadi gelombang anti-asing. Sesama Dunia
Ketiga juga pasti akan ribut, jika saling menasionalisasi.

Walhasil konfrontasi dunia bukan cuma antara kekuatan World Economi Forum di
Davos dan World Social Forum Dunia Ketiga.

Akhirnya harus ada akomodasi kompetisi global secara fair dan meritokratis
yang akhirnya menguntungkan bagian terbesar konsumen termasuk stakeholders
dan shareholders.

The Global Nexus yang resmi akan diluncurkan Maret 2007 berkonsentrasi pada
program lobi kebijakan untuk memberdayakan dan memperkuat rasa percaya diri
agar kita benar- benar bisa meraih 10 Besar 2030.


Penulis adalah pengamat masalah internasional

Kirim email ke